Minggu, 01 Juli 2012

Cerpen-Pelarian


PELARIAN
Lantai 6.
Sore itu kota terlihat kabur. Tertutup tirai hujan yang menjuntai membasahi bumi. Aku tidak peduli hujan sedang lebat-lebatnya dan aku sudah basah kuyup diguyur hujan di teras atas ini. Ngomong-ngomong, ini baru pertama kalinya aku berdiri di balkon dalam keadaan hujan. Aku merasa kedinginan. Bahkan tulang-tulangku serasa dihunus pedang super dingin. Uh… dinginnya. Aku bergidik kedinginan. Tapi sepertinya rasa dingin ini tidak cukup mampu membunuhku.
Aku lalu melongokkan kepala di bibir balkon. Pemandangan kota di bawah sana semakin jelas terlihat. Para pejalan kaki yang berteduh di bawah payung beraneka warna di jalan sana terlihat kecil. Pohon-pohon, rumah-rumah, mobil-mobil, angkutan-angkutan umum, dan semua benda yang biasanya terlihat besar kini terlihat kecil dari lantai 6.
Aku sudah pernah mengamati hal-hal itu sebelumnya. Dan aku selalu bersyukur aku memiliki apartemen di lantai 6. Lalu sekarang aku juga bersyukur akan hal itu. Lantai 6 kurasa cukup tinggi. Dari lantai 6 ini pula kurasa cukup untuk melakukan aksi bunuh diri. Jika aku jatuh dari sini, pasti tulang-tulangku remuk seketika. Kemudian jiwaku bisa menyeruak dari tulang-tulang yang selama ini mengurungku, kemudian aku bisa bebas dari dunia yang bangsat ini.
Oke kalau begitu.
Aku memejamkan mata. Kucengkeram besi balkon dengan kesepuluh jariku. Kaki kananku mulai naik memanjat teralis balkon. Lalu disusul kaki kiriku. Kemudian aku tinggal mencondongkan tubuhku ke depan. Ya seperti ini.
Aku bisa merasakan jantungku berdebar. Tapi kunikmati saja. Ini saat-saat terakhirku merasakan detak-detak itu. Setelah ini aku tidak akan merasakannya lagi.
 “Selamat tinggal,” ucapku parau.
Aku semakin mencondongkan tubuhku ke depan. Aku mulai merasa seluruh berat badanku sudah beralih ke depan. Kesempatanku memilih semakin kecil. Hidup atau mati? Aku menelan ludah susah payah. Mati. Aku memilih mati.
Dan kesepuluh jemariku serta kedua kakiku mulai terasa seperti tergelincir dari pijakan. Kemudian aku memejamkan mata, lalu aku benar-benar terbang. Kesepuluh jemariku serta kedua kakiku tidak merasa menyentuh apa pun lagi. Beberapa detik lagi aku akan mati. Ah… ternyata mudah sekali untuk mati.
“Miauw….!”
Tunggu! Bunyi apa itu? Kucing? Ale? Kenapa aku masih mendengar ngeongannya? Oh… mungkin itu hanya Ale yang terkejut melihatku terjatuh dari balkon.
“Miauw….!”
Kali ini aku merasa kakiku dibelai bulu basah yang hangat. Apa ini? Sedetik sebelumnya aku merasa terbang. Tidak menyentuh apa-apa. Tapi kenapa sekarang…
Tunggu!
Aku membuka kedua mataku. Kemudian aku mengerjap cepat. Yang kulihat masih sama. Pohon-pohon, rumah-rumah, mobil-mobil, angkutan-angkutan umum, serta payung warna-warni yang terlihat kecil di bawah sana. Semuanya masih terlihat kecil.
Aku belum terjatuh. Aku belum mati. Aku masih hidup.
“Aku… aku… aku masih…”
Tanpa sadar aku menegakkan tubuhku. Tanpa sadar pula aku menurunkan kedua kakiku dari teralis balkon. Aku menjauh dari balkon. Aku  bisa merasakan langkahku gemetar. Sekujur tubuhku gemetar. Lalu aku merasa benar-benar tidak bisa berjalan lagi. Aku terduduk lemas di tengah balkon.
“Apa yang kupikirkan?! Bodoh!” aku bertanya pada diriku sendiri seperti memarahi diri sendiri.
Apa yang kupikirkan tadi?! Bodoh sekali aku! Berpikir mati akan lebih baik hanya karena dia sudah menghancurkan hidupku? Oh… ya ampun! Argh… ini semua gara-gara dia! Memangnya siapa dia? Aku benci dia! Jelas-jelas selama ini dia yang salah. Tapi dia selalu melempar kesalahan itu padaku. Siapa suruh membawa-bawa orang ketiga dalam hubungan ini? Dasar lawyer payah!
“URGH! BRENGSEK!” teriakku mengalahkan riuh rinai hujan. Aku ingin merasa melempar sesuatu. Aku butuh pelampiasan!
Aku memandang sekeliling. Ale. Kucing persia berbulu putih itulah yang hanya ada di sebelahku. Kugendong kucing yang basah kuyup itu dan… dan…
“ARGGGHHH…!” Aku justru menangis meraung-raung. Aku benar-benar terlihat seperti orang gila! Apalagi yang baru saja kupikirkan? Membanting kucing? Melempar kucing dari lantai 6? Bodohnya aku!!!!!
Semua ini memang karena dia. Erik. Hubungan yang sudah kami bangun susah payah selama tiga tahun. Hubungan yang sudah menghasilkan cincin pertunangan. Hubungan yang sudah memperkenalkan orang tuaku dan orang taunya. Hubungan yang kubilang sempurna. Tapi kemudian semuanya berantakan. Di bulan-bulan terakhir ini ternyata dia menemukan cinta yang lain. Lalu hari ini, tadi pagi, dengan teganya dia mendeklarasikan perpisahan kami. Dia bilang kami tidak cocok. Sama-sama keras kepala, sama-sama pemberontak. Dia bilang aku akan menemukan laki-laki yang lebih baik. Bullshit! Non-sense! Omong kosong! Bilang saja dia tertarik wanita lain yang lebih cantik dan sexy itu!
“AARGH…. AKU BENCI KAMU!!!!” teriakku lagi. Aku tidak mau mati hanya karena dia! Tidak! Aku masih memiliki karir cemerlang, teman-teman yang menyenangkan, dan keluarga yang sangat menyayangiku. Kenapa aku harus mati hanya karena dia?!
xOx

Aku menggigil kedinginan di trotoar di depan apartemenku. Sore masih berlumuran hujan. Dan aku dengan cerdasnya baru saja menerobos hujan hanya untuk ke rumah Erik. Ya, aku baru saja dari sana untuk mengembalikan semua barang-barang pemberiannya. Baju, perhiasan, DVD-DVD, semuanya. Tapi ketika aku menyerahkan Ale, dia tidak mau menerimanya. Dia bilang dia mau aku merawatnya. Ah… untuk apa aku merawat kucing?!
“Selamat sor—” Pemilik toko hewan peliharaan yang berada tepat di depan gedung apartemenku terlihat bingung melihatku datang basah kuyup.
“S-s-saya… mau… menj-menjual kucing i-ini,” ucapku terbata. Aku menggigil hebat. Bayangkan saja. Sudah berjam-jam aku berada di bawah guyuran hujan yang tak kunjung reda ini. Ketika merenung di balkon, perjalanan ke rumah mantanku, balik lagi ke apartemenku, dan sekarang aku keluar ke toko hewan di depan apartemenku.
“Anda yakin mau menjual kucing ini?” Laki-laki itu keluar dari meja kerjanya dan mendekatiku.
Aku mengangguk tegas sambil masih gemetar.
“Emm… sebentar!” Laki-laki itu menggaruk rambut sesaat lalu malah menghilang ke ruang di balik ruangan ini.
Entah apa yang dilakukannya. Aku duduk di satu-satunya kursi plastik hijau di ruang yang penuh kandang kucing itu. Ruangan ini sedikit ramai oleh ngeongan kucing. Lalu kuletakkan kandang kucing putih berisi Ale si kucing persia yang basah kuyup di sampingku. Sepertinya kucing itu juga menggigil kedinginan. Tapi apa peduliku?!
“Ini.” Laki-laki itu datang lagi. Membawa dua lembar handuk tebal. Satu handuk berwarna pink muda berukuran kecil, dan satu lagi handuk kuning berukuran besar. “Ini untuk Anda, dan kucing Anda.”
Sebenarnya aku enggan mengambil handuk itu. Aku mau cepat-cepat menjual kucing ini dan kembali ke apartemenku.
“T-terima kasih!” Tapi akhirnya kuambil juga handuk itu.
Laki-laki itu lalu berjongkok mengeluarkan Ale dari kandang dan membalutnya dengan handuk pink.
“Kenapa Anda mau menjual kucing ini?” tanyanya.
Aku masih menggigil. Aku malas menjawab karena kesusahan bicara dan karena aku memang tidak ingin membahas banyak.
Laki-laki itu lalu berdiri sambil menggendong Ale. Ale terlihat nyaman berada dalam pelukan laki-laki itu. Baguslah kalau begitu. Berarti aku tidak salah memilih tempat menjual Ale.
“Apa Anda benar-benar membutuhkan uang?” Laki-laki itu kembali bertanya. Aku melihat dahinya berkerut dan ia memperhatikanku dari atas sampai bawah.
Dengan kondisiku yang basah kuyup seperti ini memang tidak menutup kemungkinan dia berpikir aku benar-benar membutuhkan uang. Mana ada orang tidak kepepet yang mau menerobos hujan lebat begini? Tapi nyatanya memang ada. Aku.
“Kucing Anda bagus,” kata laki-laki itu tanpa menunggu jawabanku atas pertanyaannya tadi. “Bulunya, matanya, giginya, telinganya. Semuanya sehat dan terawat. Selama ini Anda merawat sendiri kucing ini?” tanyanya lagi.
Aku merasa mulai ingin marah. Kenapa laki-laki itu terus bertanya? Tentu saja aku merawat sendiri. Kucing itu adalah hadiah dari mantanku yang waktu itu masih kucintai setengah mati. Tentu saja aku rela melakukan apa saja hanya untuk kucing itu!
“Ya.” Aku tidak bisa marah. Aku masih punya harga diri. Akhirnya aku hanya menjawab satu kata itu.
“Oh…” Laki-laki itu mengangguk-angguk. Lalu kembali memeriksa Ale yang beberapa kali mengeong. “Berapa lama kucing ini Anda miliki?”
Diamlah! Aku meremat handuk kuning itu. Aku ingin segera kembali ke apartemen.
“Tiga tahun,” jawabku setelah berhasil menenangkan batinku.
“Hmm… tiga tahun, dan Anda merawatnya sendiri. Anda yakin mau menjual kucing ini?”
“YA! DAN SAYA TIDAK BUTUH UANG! TERIMA KASIH!” Aku melempar handuk kuning itu ke lantai dan langsung keluar dari toko hewan itu. Aku tidak peduli si pemilik toko itu menganggapku tamu aneh atau tidak sopan sekali pun. Aku hanya ingin membuang Ale di tempat yang tepat. Itu saja! Aku tidak mau ditanya-tanyai!
xOx

“ALEEEE!” Aku berteriak keras sambil berlari cepat menerobos orang-orang yang berlalu lalang di sepanjang trotoar.
Masih dengan piyama putih bergaris biru, ditambah sandal boneka Piglet, malam itu aku langsung berlari ke luar apartemen. Aku terus berlari, berlari, dan berlari menyusuri trotoar menuju toko hewan peliharaan itu. Sudah bisa ditebak. Ya, aku menyesali kebodohanku tadi sore. Membuang Ale? Yang benar saja!
CKRAK… Pintu kaca toko hewan itu kubuka secara kasar. Aku langsung berhadapan dengan laki-laki tadi sore. Dan lagi-lagi laki-laki itu belum selesai mengucapkan salam ketika menatapku.
“Selamat ma—Hey, Anda yang tadi sore, kan?” Keningnya langsung berkerut dan ia memperhatikanku dari atas sampai bawah persis seperti tadi sore.
Sejenak aku menduga-duga. Apa yang dipikirkan laki-laki itu kali ini. Melihat wanita datang malam-malam mengenakan piyama, sandal boneka, wajah dan rambut acak-acakkan, serta napas terengah-engah yang kentara sekali menunjukkan bila aku terus berlari di sepanjang perjalananku menuju toko ini.
“Anda datang kemari ingin mengambil kucing Anda lagi?”
Aku tercekat. Laki-laki itu tahu maksud kedatanganku.
“Emm… ya,” aku menjawab takut. Kuremat gagang pintu yang baru kusadari ternyata masih kugenggam.
Laki-laki itu lalu bangkit dari duduknya dan keluar dari mejanya.
“Datang di saat hujan lebat, lalu pergi begitu saja sambil berteriak Anda tidak butuh uang.” Laki-laki itu berjalan mendekatiku. “Sekarang, dengan kostum pajamas party, Anda datang lagi untuk mengambil kucing Anda. Hmm… Anda pikir ini lucu?” Laki-laki itu menaikkan sebelah alisnya.
Aku merasa tenggorokanku mengering seketika. Aku menelan ludah sebanyak yang kubisa dan menunduk menghindari tatapannya.
“Saya… saya minta maaf,” ucapku takut. Tapi sebenarnya kurasa aku tidak perlu meminta maaf. Ya, mungkin sedikit perlu untuk sikapku yang tidak sopan tadi. Tapi kemudian apa salahku? Aku tidak meminta uang darinya. Hanya menitipkan kucingku dari jam 5 sore tadi sampai sekarang jam 8 malam. Hanya tiga jam.
Aku mendengar laki-laki itu menghela napas. “Anda mungkin berpikir tindakan Anda tadi tidak merugikan, kan?”
Apa? Aku merasa ingin menyuruh laki-laki itu untuk mengulang kalimatnya lagi. Kenapa laki-laki itu seperti bisa membaca pikiranku?
“Kucing Anda demam dan flu,” kata laki-laki itu. “Anda pikir itu tidak merugikan? Karena kucing Anda, beberapa kucing saya ikut terkena flu!”
Heh? Masa? Spontan aku mengangkat wajah dari ketertundukkanku. Tadi sore Ale memang menemaniku merenung di balkon, di bawah hujan. Tapi, tunggu aku bisa membela diri.
“Sebagai pemilik toko hewan peliharaan yang cukup sukses seperti ini, bukannya Anda seharusnya dari awal tahu kucing saya sakit, sehingga Anda harus melakukan tindakan preventif agar kucing-kucing Anda yang lain tidak tertular?” Kalimatku mengalir lancar. Sebagai lawyer otakku berpikir cepat mengadakan pembelaan.
“Oh… begitu? Jadi Anda menyalahkan saya?”
“Oke, oke. Sebenarnya saya yang salah. Membuat kucing saya demam, lalu membawa kucing saya ke toko ini. Tapi Anda juga tetap salah. Sebagai pakar kucing seharusnya Anda tahu apa yang harus Anda lakukan?”
Laki-laki itu diam. That’s it. Dia baru kali ini berhadapan dengan lawyer sepertinya.
“Oke. Saya tidak mau berdebat dengan Anda. Tapi asal Anda tahu, kedatangan Anda tetap mendatangkan bad luck di toko saya!”
Aku berdecak. Aku hanya ingin mendapatkan Ale lagi dan pulang. Urgh… untuk kedua kalinya aku merasa tidak betah di toko ini. Dan untuk kedua kalinya pula orang ini menyebalkan. Tadi sore banyak bertanya, sekarang banyak berdebat.
“Oke begini saja,” aku mengarahkan satu tanganku ke hadapan laki-laki itu. “Anda butuh berapa untuk biaya pengobatan kucing-kucing Anda?”
“Saya tidak butuh uang!”
Oh… oke. Sekarang dia meniru gayaku.
“Lalu apa yang Anda butuhkan?” tanyaku hampir menyerah.
“Saya mau kucing-kucing saya sembuh.”
“Lalu apa yang bisa saya lakukan?”
“Menjauh dari toko ini.”
Keningku langsung berkerut rapat. “Anda mengusir saya? Saya mau mengambil kucing saya.”
“Tapi saya mau kucing saya sembuh.”
“Ya itu urusan Anda. Saya cuma mau mengambil kucing saya!”
“Masalahnya, sekarang kucing ini milik saya. Bukan milik Anda! Dan saya mau kucing saya sembuh. Keberadaan Anda di toko ini membawa bad luck untuk kucing-kucing saya!” Laki-laki itu menenteng kandang Ale yang menampakkan Ale sedang tertidur di dalamnya.
Kontan aku terbelalak tidak terima. “Tidak bisa! Anda tidak bisa berlaku seperti itu. Itu kucing saya!”
“Anda yang memberikannya pada saya tadi sore. Tiga jam yang lalu. Anda sudah lupa?”
“Arghhh…. sh*t!” Aku menjambak rambutku geram. Orang ini menyebalkan! Sejenak aku berjalan mondar-mandir di toko itu. Mencari akal dan menentramkan pikiran. “Oke… oke. Begini saja. Saya beli kucing ini,” kataku. Aku hampir tidak percaya. Aku membeli kucingku sendiri. Yang benar saja?!
“Anda mau membeli kucing ini?”
“Ya!” Aku mengangguk tegas.
“Maaf. Tapi saya tidak menjual kucing yang sedang sakit.”
“ARGHH…. Anda ini benar-benar… Argh!” Aku semakin ingin marah. Kenapa laki-laki ini selalu mempersulit semuanya? Apa dia tidak tahu aku sedang mengalami masa-masa sulit sekarang ini?
“Oke, kalau begitu saya rasa Anda tidak butuh apa-apa lagi. Jadi Anda bisa keluar,  sekarang.” Laki-laki itu berjalan tenang dan membukakan pintu untukku.
Argh! Apa-apaan ini??? Sepertinya aku tidak punya pilihan lain. Akhirnya aku hanya bisa menelan kemarahanku mentah-mentah dan berjalan ke luar toko itu.
Tapi tunggu! Aku punya satu senjata lagi untuk membawa pulang Ale! Aku pun segera berbalik lagi menghadap pemilik toko menyebalkan itu.
“Kenapa balik lagi?” Laki-laki itu langsung menyambutku sengak. Urgh!
“Anda bilang Anda tidak menjual kucing sakit, kan?”
“Ya.”
“Kalau begitu saya akan membeli kucing itu begitu kucing itu sembuh! Terima kasih. Selamat malam!”
xOx

Pagi itu sebelum berangkat ke kantor, aku menghentikan mobil di depan toko hewan kemarin. Terlihat jelas dari pintu kaca, laki-laki si pemilik toko itu langsung mendesah malas begitu melihatku. Tapi apa peduliku? Aku hanya ingin menemui Ale.
“Bukannya Anda bilang Anda akan membeli kucing ini begitu sembuh?”
“Saya hanya ingin memastikan kucing saya sudah sembuh atau belum.”
“Ini butuh waktu tiga sampai empat hari. Bahkan mungkin seminggu.”
Aku mendengarkan kata-kata laki-laki itu sambil lalu. Aku berjalan mondar-mandir di toko itu mencari kandang putih Ale. Dan ah… itu dia! Aku langsung berjongkok di depan kandangnya.
“Hey! Kalau Anda mau berinteraksi dengan kucing sakit Anda harus mengenakan sapu tangan dan masker dulu!”
“Tapi aku tidak bawa!”
“Ah… sehurusnya aku tahu itu dari awal!” Laki-laki itu menggaruk rambut asal-asalan dan malah menghilang ke ruang di balik ruang ini. Seperti kemarin. Entah apa yang dilakukan.
“Pakai ini!” Laki-laki itu sudah datang lagi dengan sepasang sarung tangan plastik dan masker.
Well, oke. Dari pada aku tidak bisa membelai Ale, lebih baik aku mengenakan semua yang diinginkan laki-laki itu.
“Oh… sini-sini sayang!” Aku langsung memeluk erat kucing yang selama tiga tahun sudah menemaniku itu.
 “Sepertinya Anda akan datang terus ke toko ini sampai kucing ini benar-benar sembuh. Benar atau tidak?”
Aku berbalik. Laki-laki itu menatapku dengan tatapan jengahnya.
“Oh… ternyata aku boleh datang ke sini setiap hari? Oke aku akan datang ke sini setiap hari. Terima kasih!” Aku tersenyum menang di balik masker. Terserah dia mau berkata apa.
“Sial!” Laki-laki itu menggeram. “Jadi saya justru memberi Anda ide, ya?” gumamnya lebih kepada diri sendiri.
Aku mengedikkan bahu acuh tak acuh. “Sudahlah. Kau tidak perlu berbicara formal lagi karena aku akan datang setiap hari. Kita bisa jadi teman, Tuan!”
“Hah… terserah!” Laki-laki itu mendengus kesal. “Seharusnya Anda tidak putus cinta!”
“Maaf, tadi kau bilang apa?” Aku langsung menoleh terkejut.
“Seharusnya Anda tidak putus cinta!” laki-laki itu berkata tenang. Lalu arah pandangannya tertuju pada Ale. “Kucing Anda yang memberi tahu saya tentang itu.”
“Oh, jadi selain kau bisa membaca pikiranku, kau juga bisa bahasa kucing? Orang yang aneh!”
“Kalung di leher kucing itu yang membuat saya tahu kalau Anda putus cinta.”
Aku berhenti bermain-main dengan Ale. Kutatap kalung merah berbandul hati di leher Ale. Bandul hati itu di dalamnya bertuliskan namaku dan nama Erik. Ada juga kata ‘love’ di dalamnya. What a disgusting thing! Langsung saja kulepas kalung itu dengan tenang dan kulempar kalung itu ke tong sampah.
Sementara itu, si pemilik toko mengeluarkan kotak berisi suntikan dan botol-botol berisi cairan.
“Bast! Come here!” Laki-laki itu menjentikkan jari tiga kali.
Lalu tanpa diduga, Ale melompat dari gendonganku dan menghampiri laki-laki itu.
Good boy, Bast!” Laki-laki itu tersenyum serta membelai Ale singkat kemudian menyuntikkan cairan-cairan itu ke tubuh Ale.
“Bast? Kau memanggilnya Bast? Dia punya nama! Namanya Ale!” seruku.
“Ini kucing saya. Terserah saya mau menamainya apa. Ada masalah?”
“Oh, oke. Aku lupa dalam beberapa hari Ale bukan kucingku.”
“Lagi pula nama Bast lebih bagus,” laki-laki itu bergumam pelan. “Dari pada A-L-E. Arlen Love Erik. Itu kepanjangannya, kan?”
“Hey!” Aku langsung melotot dan laki-laki itu justru tertawa lebar. “Memangnya “Apa arti nama Bast?” tanyaku sambil melepas masker dan duduk di kursi plastik di depan laki-laki itu.
“Arti nama Bast?” Laki-laki itu menatapku sebentar lalu kembali fokus pada Ale. “Bast adalah nama dewi berbentuk kucing menurut mitologi Mesir kuno. Dia melindungi rumah, kucing, dan ladang dari serangan hama tikus. Di zaman itu, orang-orang menganggap kucing sudah menyelamatkan mereka dari bencana kelaparan. Keberadaan kucing menyebabkan tikus semakin jarang. Akibatnya panen tidak pernah gagal.”
Aku mengangguk-angguk (sok) mengerti. Ini baru pertama kalinya laki-laki itu berbicara banyak dengan nada yang tidak sengak kepadaku. Ini momen-momen langka menurutku. Makanya aku memilih diam saja untuk menikmati suara dan gayanya.
Hmm… sepertinya aku baru saja berhasil membaca karakter laki-laki ini. Dia penyuka binatang, dan dia tahu mitologi-mitologi seperti itu. Dia punya karakter lembut, perhatian, dan filosofis. Orang seperti itu kadang agak membosankan. Tapi sikapnya cenderung selalu hangat dan menyenangkan untuk semua orang. Tidak seperti Erik. Keras kepala!
Ya, mungkin karena pekerjaan kami sama-sama lawyer, jadi kami sama-sama keras kepala. Lalu apa jadinya ya kalau orang keras kepala bertemu orang lembut, perhatian, dan filosofis seperti laki-laki ini? Apa si keras kepala itu akan luluh? Apa si keras kepala itu bisa merasa bahagia? Dan apa si keras kepala itu bisa melupakan mantannya karena bertemu orang lembut, perhatian, dan filosofis seperti laki-laki ini?
Hmm… Diam-diam aku mengamati laki-laki itu yang sedang merawat Ale. Dan satu ide gila muncul di benakku. Dia bisa kujadikan pelarian untuk melupakan Erik.
“Siapa namamu?” tanyaku kemudian.
Laki-laki itu mengangkat wajah dari Ale. “Kau menanyakan namaku? Itu penting bagimu?”
“Oh ayolah! Apa ruginya memberi tahu namamu?”
“Haah…” Laki-laki itu mendesah panjang. Ia melepaskan masker dan sarung tangannya lalu mengulurkan tangan kanannya padaku. “Namaku Rendra. Senang berkenalan denganmu, Arlen!” ucapnya tanpa senyum sama sekali.
Tapi aku tetap tersenyum lebar dan menjabat tangan laki-laki itu. “Senang berkenalan denganmu, Rendra!”
xOx

Perkenalan yang unik. Dan aku merasa Rendra benar-benar cocok untuk perlarianku. Hari-hari selanjutnya aku selalu datang ke toko itu. Rendra mulai terbiasa dengan kedatanganku. Tatapan jengahnya juga perlahan-lahan tergantikan dengan tatapan bersahabat. Dia juga mulai banyak bercerita padaku. Ya walaupun hanya seputar kucing. Tapi itu tetap menyenangkan bagiku. Entahlah, sepertinya usahaku menjadikannya sebagai pelarian cukup berhasil.
“Oke, Ale-mu sudah sembuh. Kau bisa membawanya pulang sekarang.” Rendra mengeluarkan Ale dari kandang dan segera kucing persia putih itu berlari ke arahku. Ya, akhirnya hari menyenangkan itu tiba. Ale sudah sembuh!
“Oh, Ale! Sini, sayang!” Langsung saja kugendong kucing lucu itu. Sambil bermain dengan Ale aku bertanya pada Rendra, “Berapa rupiah aku harus membayar untuk membeli kucing yang sebenarnya milikku sendiri ini?” tanyaku to the point.
“Hahaha… tidak perlu!” Rendra tertawa keras. “Waktu itu aku hanya menggertak menyuruhmu membayar supaya kau tidak bertindak seenaknya. Mentang-mentang baru patah hati kau ingin semua orang memahamimu? Enak saja!”
“Hahaha… maaf-maaf!” aku tertawa lebar.
“Oh ya, ngomong-ngomong apa wanita suka diberi cincin melalui kucing?”
“Hah? Apa?” Ale hampir saja terjatuh dari gendonganku saking terkejutnya aku mendengar pertanyaan Rendra. Apa dia baru saja menanyakan tentang… wanita?
“Apa wanita suka diberi cincin melalui kucing?” ulang Rendra.
Aku mengerjap cepat. “Emm… tergantung orangnya,” jawabku ragu.
“Kalau orang keras kepala sepertimu, bagaimana?”
Aku mengerutkan kening. Sebenarnya ke mana arah pembicaraan ini? Apa Rendra akan memberiku … cincin?
“Emm… dulu Erik memberiku cincin juga lewat kucing, Ale. Jadi kesimpulannya, ya aku suka hal itu.” Aku menjawab sejujurnya.
“Bagaimana cara laki-laki itu dulu memberimu cincin?”
Aku semakin bingung dan heran dengan pertanyaan Rendra. Tapi lalu aku tetap bersedia memberitahunya. “Erik menggantungkan cincin itu di kalung Ale. Lalu Ale mendatangiku. Hanya begitu. Simpel. Tapi menurutku romantis.” Aku tertawa singkat. “Ngomong-ngomong, kenapa kau tanya tentang wanita dan cincin?” Aku menyorongkan wajahku pada laki-laki itu dan menatapnya jail. “Siapa wanita itu? Beri tahu aku!”
“Hey, kau orang asing. Kenapa aku harus memberitahumu?”
“Justru karena aku orang asing berarti itu lebih aman. Aku tidak akan membeberkan ini kepada orang lain!” tegasku. “Aku seorang pengacara. Sekali aku penasaran, aku akan terus berusaha mencari tahu. Jadi ayolah beri tahu aku siapa wanita itu!”
“Haaah… oke!” Ia mendengus panjang sedikit kesal. “Dia wanita yang sudah lama aku sukai.”
“Oke. Lalu kau baru berani mengungkapkan perasaanmu sekarang?”
“Pintar! Kau sudah bisa menebak ceritanya. Jadi sekarang waktunya kau pulang.”
Noooo! Aku masih mau mendengar lebih banyak. Ceritakan lagi. Siapa namanya?”
“Hey, ini privasi! Jadi pulanglah!” Rendra mendorongku ke pintu toko.
“Rendra, aku sudah kauanggap sebagai temanmu, bukan? Kau tidak akan membiarkanku mati penasaran, kan?”
CKRAK… Tepat pada detik itu pintu terbuka dan seorang wanita masuk ke dalam toko. Wanita itu terlihat anggun. Mengenakan dress berbahan ringan warna biru muda, dan menggendong seekor kucing cokelat lucu.
“Hai!” sapa wanita itu ramah. Ia tersenyum manis padaku dan Rendra bergantian. “Rendra, kau bilang kau punya ikat leher yang bagus untuk kucingku. Bisa kulihat sekarang?”
Ikat leher? Maksudnya kalung? Aku mengerutkan kening. Hmm… sepertinya aku tahu maksud Rendra menanyakan tentang cara Erik memberiku cincin.
“Jadi dia yang kaumaksud?” aku berbisik pelan pada Rendra.
Rendra mengangguk samar. Segera tiba-tiba aku merasa ingin tertawa. Oke, aku rasa ini waktunya memberi mereka ruang privasi. Aku berbalik mengambil kandang Ale dengan satu tangan dan segera berpamitan pada mereka.
“Oke, aku harus kembali ke apartemen. Terima kasih sudah merawat Ale, ya!” Aku tersenyum pada Rendra.
Rendra membalas senyumku serta berbasa-basi sejenak. Selanjutnya aku pulang ke apartemenku dengan perasaan senang. Berbeda sekali dengan beberapa hari lalu ketika pikiranku kacau hingga aku berniat bunuh diri. Aku benar-benar senang hari ini.
Inilah maksudku menjadikannya pelarian. Pelarian bukan berarti aku harus menemukan pengganti Erik. Pelarian cukup berarti aku menemukan orang yang dapat membuatku senang, hingga aku lupa pada Erik. Dan aku senang berkenalan dengan Rendra. Berawal dari sebuah perkenalan unik. Ketika aku ingin menjual Ale karena patah hati. Lalu semuanya berjalan secara unik juga.
“Hai, Bast! Sekarang namamu bukan Ale lagi, kucing manis! Namamu sekarang Bast, si dewi kucing. Oke?” Aku memeluk Bast penuh sayang dan mencium kepalanya.
Kucing lucu itu hanya mengeong pelan dalam pelukanku.
“Oh, Bast! Aku sangat menyayangimu!”
xOx





Tidak ada komentar: