Senin, 30 Maret 2015

The Art of Teaching #1 Annisa the Smart Girl


Assalamu’alaikum. Hai guys. Hari ini saya mau share tentang sahabat kecil saya di Solo Mengajar. Sahabat kecil saya hari ini adalah Annisa. Dia anak yang cerdas. Mudah menangkap pengetahuan apa pun yang disampaikan oleh kakak-kakak volunteer.  Sangat menyenangkan mengajari Annisa karena daya tangkapnya yang fast response—nggak kayak para penjual olshop yang kadang slow response hehe.

Oke balik lagi.

Intinya, mengajari Annisa itu sangat mudah. Namun, ada satu kekurangannya. Yaitu dominan. Kecerdasannya menjadikannya paling dominan dalam suatu kelas. Sering kali ketika saya melontarkan pertanyaan kepada anak-anak, Annisa yang paling cepat menjawab. Hal tersebut membuat anak-anak lain tidak memiliki kesempatan berpikir dan menjawab. Ketika saya melemparkan pertanyaan khusus yang memang saya tujukan kepada anak lain, Annisa juga turut menjawab. Kalau sudah begitu saya sering memperingatkannya secara halus, “Annisa tolong diam dulu, ya. Pertanyaannya kan bukan buat Nisa. Biar temen-temen yang lain yang jawab. Kan tadi Nisa udah jawab.”

Nah, tapi kalau sudah begitu Annisa jadi suka ngambek. Dia sering menganggap saya tidak memperhatikannya dan lebih memperhatikan anak-anak lain. Lebih parahnya, kadang dia jadi tidak mau menjawab pertanyaan-pertanyaan sama sekali. Ibarat kata, dia melakukan mogok bicara. Dia menjadi pasif dan cemberut terus sepanjang pembelajaran. Saya jadi merasa kalau saya sudah berlaku tidak adil kepada Annisa. Dia juga memiliki hak untuk menjawab seperti teman-temannya yang lain. Tapi jujur saya memang mengutamakan yang lain, yang belum bisa menjawab. Saya sempat ada ide supaya Annisa yang sekarang kelas 3 SD itu digabung dengan anak-anak kelas 4 saja. Namun, Annisa tidak mau karena teman-teman akrabnya ada di kelas 3.
Saya lumayan senang dan pusing kalau menghadapi Annisa. Dia cerdas di bidang akademik. Tapi dalam hal emosional dia masih kurang. Itu yang menjadi PR bagi saya sebagai volunteer di Solo Mengajar.

Karakter Annisa yang saya analisis adalah:
1a.  Memiliki daya tangkap di atas teman-temannya
2b.  Senang berkompetisi
3c.  Selalu ingin menjadi yang paling pintar
  d. Tidak senang ada anak lain yang lebih pintar
5e. Tidak sabaran, mudah marah.
 f.  Berteman dengan anak yang sama-sama punya keberanian dalam unjuk diri. Tapi, sering mengatai ‘Bodoh’ atau memprotes teman-temannya itu maupun kepada anak lain ketika mereka menjawab salah.

Karakter Annisa yang memiliki daya tangkap baik serta karakter senang berkompetisinya adalah dua karakter yang benar-benar dibutuhkan oleh generasi muda sekarang ini. Namun manajemen emosionalnya yang kurang membuat kelebihan-kelebihan Annisa tersebut  menjadi tidak tersalurkan untuk kebermanfaatan bersama. Saat ini saya beserta volunteer lainnya sedang menggodok formula agar dapat mengarahkan Annisa menjadi pribadi yang lebih kooperatif. Kemungkinan kelas 3 akan dipisah menjadi dua kelompok. Satu untuk kelompok yang sudah dapat mengerti pelajaran-pelajaran sekolah, sehingga tinggal melanjutkan, sementara yang satu lagi untuk kelompok yang belum paham pelajaran-pelajaran sekolah. Namun, kembali timbul pertimbangan dalam benak kami. Kami takut kalau penggolongan tersebut dapat menimbulkan sistem kasta di antara anak-anak kelas 3 tersebut, yang secara tidak langsung mempengaruhi mindset mereka bahwa yang bergabung dengan kelompok satu adalah anak pintar sementara yang bergabung dengan kelompok dua adalah anak yang kurang pintar.


Sejauh ini, setelah satu bulan lamanya kami menjadi volunteer, kami sering melakukan pertemuan-pertemuan antara sesama volunteer untuk mengevaluasi kegiatan pembalajaran. Saya berharap agar Annisa tetap bisa berada satu kelas dengan teman-temannya di kelas 3. Saya ingin mengubah mindset anak-anak lain supaya lebih giat belajar agar dapat turut berkompetisi dengan Annisa. Bukannya malah melempem takut karena pembelajaran didominasi Annisa. Nah, itu tantangannya. Ya… inilah the art of teaching yang saya temui dalam bulan pertama saya menjadi volunteer di Solo Mengajar. Saya harap saya bisa bermanfaat di sana, dan bisa menjadi pribadi yang lebih mengerti psikologi anak. Sekaligus menjadi pribadi yang lebih dewasa, karena ketika saya berhadapan dengan anak-anak, saya yang merasa sudah dewasa ini tiba-tiba menjadi sadar kalau ternyata saya belum pantas dikatakan dewasa. Karena masih ada banyak sifat kekanak-kanakan saya yang seperti sikap kekanak-kanakan anak didik saya. Ya oke deh, daripada malah jadi curhat, saya akhiri saja postingan kali ini. Next time saya akan bahas tentang suka duka, serta berbagai faedah yang saya dapatkan dengan mengikuti kegiatan sukarelawan semacam ini. See you guys. Semangat, sukses, terus bermanfaat, dan jadilah inspirasi. O ya, mungkin yang punya saran, usulan, atau komentar bisa tolong dituliskan di bawah postingan. Terima kasih banyak :D