Senin, 02 Desember 2013

Akirnya cerpen gue dimuat :)

Kagak usah banyak cincong. Nih ye, liat aje langsung. Hehehe ada name ane nih gan di halaman 22 majalah story edisi 50





Hehehe... alhamdulillah... akhirnya terbit juga majalah yang ada cerpen ane. Pas liat nama ane ada di salah satu halaman di majalah ini, rasanya aduuuuh luluh lantak nih ati. Nangis, gaaaan. Hihihihi... emang agak lebay ya? Tapi... ya... dengan diterbitkannya cerpen gue, gue ngerasa tulisan gue berarti udah layak go public. Tulisan gue udah bisa dimengerti orang-orang. Kalau dulu sih tulisan gue yang bisa ngerti ya cuma gue sama yang di atas (genteng). hehehe....

Btw, gue beli nih majalah sekaligus dua. Satu buat gue sendiri, satu mau gue kasih ke guru Bahasa Indonesia gue pas SMK. Mr. Sofwan. wkwkwk... ya... beliau salah satu orang yang bikin gue semangat nulis sampe sekarang. #nyeka air mata. Duuuh... inget jaman-jaman SMK nih jadinya. Miss u so bad my friends :')

And then...
Emm... o ya, tapi, jujur pas gue baca ulang cerpen gue ini, gue ngerasa masih banyak yang perlu diedit. Kayak tanda baca, pemilihan kalimat, masih banyak yang ngeganggu deh pokoknya. Apalagi di cerpen gue ini tata layout-nya satu halaman dibikin 4 column. Jadinya, kalimat cerpen gue dikit-dikit kepotong. Kan, agak ngeganggu juga. Gambarnya juga agak bikin tata tulisannya jadi nggak rapi. Btw, cerpen gue ini sama sekali nggak diedit lho sama pihak majalah. Murni begitu. Jadi kalau ada yang salah ketik, ya itu salah gue. Bukan salah pihak majalah atau editornya atau apanya, bukannnn. Hehehe...

Tapi, ya sudahlah. Gue sangat puas kok sama ilustrasinya. Unyu banget :) liat aja tuh... walaupun gambarnya gambar manga, tapi nggak terlalu mangaish banget. TOP deh. Background nya juga warna pink pastel. Kalem gitu deh. Lembut di mata. Hehehehe...

O ya, sekadar kembali mengingatkan. Cerpen ini gue kirim bulan Juli 2012, trus bulan oktober 2013 gue dapet pesan dari mbak Reni Erina di FB bahwa cerpen gue dimuat. Tapi berhubung no HP gue ganti, jadinya gue harus ngirim no HP gue dulu lewat pesan FB itu. Trus, baru deh dua hari kemudian gue ditelepon sama pihak admin majalah story. Gue disuruh ngirim biodata profile sama no rekening, karena dulu itu gue cuma ngirim naskah cerpen, foto, sama no telp. Udah gitu doang--kalo kalian mau tau mekanisme pengiriman cerpen ke majalah story.

Ya... well, dengan dimuatnya tulisan gue, proses belajar gue akhirnya menuai hasil. Akhirnya terjawab sudah pertanyaan di hati gue yang selama ini selalu bertanya gini, "Apa tulisan gue udah layak dibaca banyak orang? Apa tulisan gue udah mengalami kemajuan?"

Hehehe emang rada belagu dikit nih gue. Baru dimuat sekali aja, udah belagak. But please, let me feel the winning for a moment, after that I'm going to be humble again.

Ya udah deh, segini aje postingan ane kali ini. Cuma mau ngabarin berita baik aja, setelah sekian lama gue cuma ngejadiin nih blog tempat marah-marah, tempat ngedumel, tempat ngeluapin emosi yang mayoritas isinya emosi negatif terus. Oke, so guys, see you for the next project. Gue kemarin oktober ngirim 2 cerpen ke majalah. Moga aja ketrima. See ya :)

Dan dan dan dan dan... kalo cerpen gue udah dimuat, berarti tinggal tunggu honornya turun hihihi... paling januari honornya baru turun. yeee taun baruan banyak duit :)

Minggu, 03 November 2013

Surat Kaleng Sang Senior

Lampiran

Dengan ini saya Aristi Aminna Dian Pradana menyatakan bahwa cerpen berjudul Surat Kaleng Sang Senior orisinil dan belum pernah dipublikasikan ke media manapun sebelumnya. Kepada pihak Aneka Yess! mohon mempublikasikan cerpen saya. Terimakasih atas perhatian dan kesediaannya untuk mempublikasikan cerpen saya.

















Tertanda
Aristi Pradana


Surat Kaleng Sang Senior
Pena bertinta hitam itu masih berkeras berada dalam pelukan kelima jari Dria. Pena itu belum mendapat komando untuk menuangkan ide sang empunya ke atas kertas. Padahal kini jarum jam telah merujuk pada angka 2 pagi. Dria memang sedang dilanda badai bingung. Semua junior di pramukanya diharuskan membuat surat cinta untuk para seniornya, dan akan dibacakan di acara api unggun nanti malam.
Dria bingung harus menguntai kata serupa apa agar suratnya nampak paling berkesan di mata senior terkasihnya. Memang, ini hanya ajang hura-hura untuk meramaikan acara api unggun. Namun Dria berniat menggunakan surat ini sebagai jembatan nyata untuk memintal cintanya dengan Kak Faro, senior pujaannya.
Dria bukan penyair. Nilai Bahasa Indonesianya juga ngepas. Kalau begitu pasti surat cintanya gak romantis dan datar abis! Hopeless, ia melirik secarik kertas di hadapannya yang masih sepi akan tulisan. Yang tertoreh barulah sebaris salam, Dear senior 3. Maksud dari senior 3 adalah nomor urut setiap senior. Aturannya memang tidak boleh menuliskan nama melainkan nomer urut sang senior.
Triiing....di tengah kehopelessan, tiba-tiba otaknya berdering nyaring menandakan ada ide terinstal di otaknya. “Hmm...kalo gak bisa romantis kenapa gak ngajak perang aja,” pikir Dria. Agar suratnya dibaca oleh Kak Faro, suratnya harus menarik. Agar suratnya menarik, suratnya harus beda. Kalau yang lain isinya cuma penjabaran cinta, surat Dria akan berisi deretan makian alias surat kaleng. Dengan begitu perhatian Kak Faro pasti terenggut. Setelah itu tinggal pembersihan nama.
Kalau urusan maki-memaki, Dria tinggal mengingat detik-detiknya bersama Alfa yang tak pernah menyentuh kata damai. Alfa juga salah satu seniornya. Dia orang terrese dalam jajaran top ten rese peoples menurut Dria. Alfa sering banget mengeritiknya sebagai pinsa (ketua regu). Alfa seperti mencari-cari kesalahan Dria. Makanya Dria benci banget sampai ia berani membentak-bentak Alfa. Padahal jabatan Alfa cukup berbahaya untuk dibentak. Yaitu Ketua 1. Dria bisa saja diseret ke pembina, lalu ke guru BP, lalu ke Kepala Sekolah, lalu di seret ke rumah dan dilarang menginjakkan kaki lagi di SMAnya. Untungnya Alfa tidak pernah melaporkannya walau jutaan semburan bentakkan dihujankan Dria.
Dria mulai mengremind detik-detik bersama Alfa. Kalimat ketus Alfa, ke-sok-tau-an Alfa, kejaiman Alfa, semua itu membuat Dria punya cita-cita jangka pendek. Yaitu meninju hidung mancung Alfa yang selama ini menjadi mahkotanya dalam mendongkrak pesonanya di depan kaum hawa.
Dari semua itu lahirlah surat yang sangat ringkas namun cukup dapat memacu darah tinggi kumat. Sebuah surat kaleng dengan Alfa sebagai ilustrasi tokohnya. Itulah yang akan diberikannya pada Faro. Kini Dria tinggal menyemplungkannya ke dalam amplop pink dan menuliskan inisialnya― nama pengirim harus ditulis dengan inisial―Yaitu DTM. Driana Tisha Mafadi.
@@@
 “Nah, ini dia acara yang paling kita tunggu. Pembacaan surat cinta. Gimana kalo kita mulai dari....senior 3!” Pilihan yang dijatuhkan Kak Rio sebagai presenter di malam api unggun itu kontan membuat Dria super girang. Senior 3 = Kak Faro!
Dria langsung buru-buru dandan instan dan tanya sana-sini meminta orang lain mengapresiasi penampilannya, “Eh... cantik gue masih nempel kan? Nggak ngilang kemana-mana kan?”
 “Masih. Lo kan udah ngabisin 2 botol lem kayu. Nggak bakal lepas tuh cantik,” jawab Ane asal, sekedar untuk melegakkan Dria. Tapi toh itu cukup melegakkannya juga.
Kak Faro pun maju sambil menenteng selembar surat, “Surat ini berasal dari sanggah (kelompok) Apel dan berinisial DTM,” tuturnya membuat Dria semakin girang. Sanggah Apel dan DTM! Cocok banget!
“DTM adalah... Dri...” Kak Faro memperlambat tempo bicaranya untuk menambah aksen dramatis. Tapi justru itu membuat Dria geregetan. Kelamaan! Bilang aja Dria! “Dri....silia Dewanti” lanjut Kak Faro.
Gubrak! Dada Dria tiba-tiba sesak seperti di banting. What the...? Bukan suratnya yang dibaca? Bagaimana bisa?! Padahal suratnya jelas-jelas paling mencolok secara fisik maupun isi! Kenapa bukan suratnya?! Udah dibela-belain bertapa sampai jam 2 pagi cuma buat nyari ilham, dan sekarang suratnya gak dibaca! Kontan Dria jadi bad mood. Ia malas melihat adegan demi adegan yang menceritakan si centil Lia alias Drisilia sedang menyemai benih-benih flirting untuk pangerannya.
Dria sibuk ngedumel sendiri dalam hati. Sampai ia tak sadar bila kini telah gantian pembacaan surat lainnya. “Habis senior 3, kita ke senior...Berapa ya? 13 deh. Kak Alfa silakan maju!” pekik Kak Rio.
“Halah Alfa! Berani taruhan dia sama sekali gak dapet surat cinta!” gumam Dria pada dirinya sendiri.
“Gue yakin lo kalah taruhan! Melek donk, Dri! Alfa itu kan cakep gilak!” Dea tiba-tiba menyahut.
“Cakep nenek lo perot! Liat, semua onderdil mukanya itu edisi taun 45. Alias dia itu muka katro!”
“Gak usah belagu lo! Kayak lo bisa ngedapetin dia aja!” protes Dea sarkasme. Dria hanya mendelik sebal menanggapi ocehan sinis Dea yang memang telah menjadi trademarknya dari dulu.
Dria sama sekali tidak berminat untuk memperhatikan Alfa. Tapi mendadak perhatiannya terpaksa tersita karena tiba-tiba telinganya menangkap kalimat berbunyi ‘Driana Tisha Mafadi dari sanggah Apel’ diutarakan oleh Alfa. Awalnya Dria berpikir itu hanya halusinasinya. Tapi bombardir dari kiri-kanannya yang tiba-tiba menyerangnya membuatnya mulai sadar bila suratnya memang nyasar.
“Surat lo juga buat Alfa?!” alis dan bibir Dea menukik tajam ke bawah saat menanyakannya.
“Enggak!” Dria menggeleng cepat.
“Lo kan Tom and Jerry-nan sama dia? Kok lo malah nyatain cinta sih?” Ane ikutan mengintrogasi.
“Gue bilang enggak!” Dria berang.
“Tapi inisial lo ada di sini!”
Deg! Suara tenang Alfa yang tiba-tiba menyeruak ditengah riuh perdebatan itu, berhasil membuat jantung Dria mendadak absen berdetak satu detik. Suratnya untuk....Alfa? Gimana bisa suratnya nyasar?
“DTM itu berarti Driana Tisha Mafadi, nama panjang lo kan? DTM juga berarti Dua Tiga Mei sebagai tanggal lahir lo. Iya kan?” cecar Alfa membuat Dria terpojok dan ternganga. Ternganga karena baru tahu DTM juga bisa berarti tanggal lahirnya dan ternganga karena Alfa ternyata tahu tanggal lahirnya.
“Bisa aja itu kebetulan pas sama gue. Atau lo yang salah liat kali,” Dria berkelit. “Bukan buat senior 13 tapi buat senior....3 mungkin. GR amat sih lo!” Dria masih ngarep senior 3.
 “Masih nyangkal?” Alfa menyeringai lebar, “Jelas-jelas di sini ditulis Dear Senior 13. Dan bukti yang paling kuat adalah, surat kayak gini pastinya cuma lo yang berani nulis!” Alfa menunjukkan surat itu. Dan benar saja. Itu surat Dria yang full akan makian!
“Sebagai pinsa,” Alfa mulai berkhotbah, membuat Dria langsung melengos jenuh. Itu merupakan permulaan kalimat yang sudah sangat sering didengar Dria hingga Dria hapal kelanjutannya.“Lo harusnya bisa memberi contoh untuk bermain jujur. Lo ini pinsa apaan? Pinsa bullshit? Pinsa gak becus? Pinsa―”
FINE!” potong Dria. Ia langsung bangkit dari duduknya, menyabet sepucuk surat di tangan Alfa, dan membacanya dengan sangat-sangat lantang. Ia bosan terus-menerus disalahkan.
 “Dear Senior 13. Elo  itu orang TERRESE, TERNYEBELIN, TERJELEK, TERNAJIS, DAN TERMENJIJIKAN! JANGAN HARAP GUE SUDI NYATAIN CINTA BUAT LO!” teriak Dria dengan penjedaan yang super jelas. Supaya Alfa ngerti sengerti-ngertinya.
Dria ingin berontak. Gimana bisa si angka 3 ini ngajak temennya, si angka 1? Gue kan nulisnya cuma angka 3 gak pake 1. Huh! Angka 13 emang angka sial! Rutuknya. Ia memandang sebal angka 1 dan 3 yang berdiri berdampingan seolah mengejeknya.
Tapi, tunggu. Ada yang aneh dengan angka 1-nya. Dria mengamati angka 1 itu. Angka 1 ini nampak agak cacat. Seperti ditulis dengan tidak sengaja. Wait! Dria ingat. Saat menulisnya tadi pagi-pagi buta di dalam kemah, kaki Ane menyenggol sikunya. Sehingga tak sengaja tercoret dan menyerupai angka 1. Sialan!
“Gak ada yang nyuruh lo bikin surat kaleng,” tandas Alfa, “Sebagai hukumannya, besok malam lo harus bikin surat cinta buat gue dan HARUS ADA KALIMAT MENYATAKAN CINTA KE GUE!” Kalimat itu terdengar lebih mengerikan dari pada kalimat ‘Serahkan harta atau nyawa!’ bagi Dria.
“Tapi sebenernya―”
“CUKUP!” bentakkan Alfa menggelegar memotong kalimat Dria dan memotong kesunyian hutan, “Gue udah sabar ngadepin lo! Kalau lo masih nantang, gue aduin ke pembina!” ancamnya.
Perlahan pertahanan Dria mulai runtuh. Semula ia berani menatap tajam-tajam hingga ke titik terdalam manik mata Alfa. Namun sekarang ia hanya bisa menjatuhkan pandangan pada ujung sepatunya. Ia
tahu kali ini Alfa tidak main-main.
@@@
Gemuruh tepuk pramuka dibaluri yel-yel penyemangat membahana di balik gemerisik dedaunan pohon  jati yang telah ratusan tahun bersemayam di kaki Gunung Salak. Pagi itu terasa dingin. Namun bagi Dria yang membuat suasana pagi itu begitu dingin bukanlah suhu yang dibawah 15°. Melainkan Alfa. Entah mengapa ia merasa tatapan dingin Alfa terus mengawalnya ke manapun ia pergi.
Memang, Alfa mengawasinya. Dalam hati ia berjanji tidak akan mencabut pandangannya dari Dria walau hanya sedetik. Karena ia tahu, sebentar lagi seseorang akan menjahati gadisnya.
@@@
Dria sudah tidak peduli bila keributan ini menguar di udara dan terendus oleh para senior atau seniorita. Ia juga tidak peduli bahwa nasibnya sebagai pinsa akan dipertaruhkan. Yang ia pedulikan sekarang hanyalah menyadarkan Dea bahwa bukan dirinya yang mencuri kalung berlian Dea. Bagaimana bisa kalung itu ada di tasnya sementara mengetahui bila Dea membawa kalung saja tidak.
“Sejak kapan maling mau ngaku, Dri?! Bukti ini udah nunjukin semuanya!” cecar Dea.
“Enggak!” Dria hanya bisa berteriak di tengah keputusasaannya. Kini semua orang melempar pandangan mencerca kepadanya. Ia memaksa kerongkongannya menelan ludah yang rasanya seperti berduri. Ia harap air matanya tidak menitik sekarang.
“Dasar maling! Bener firasat gue. Awalnya gue gak percaya yang ngambil itu elo. Tapi ternyata....”
“Dea, gue berani sumpah kalau gue gak ngambil kalung lo!”
“Makan aja sumpah lo! Sekali maling tetep maling! Tampang lo itu sok alim ya, padahal busuk!” kalimat itu mendarat dengan sangat tidak mulus di hati Dria. Membuat air matanya terperas seketika.
“Ada apa ribut-ribut?”
Mampus lo, Dri! Batin Dria memelas, karena lagi-lagi pemilik suara yang kerap menyarangkan kata-kata ketus di lorong telinganya itu, tiba-tiba menyeruak di tengah pertengkarannya dengan Dea.
Alfa. Ia menempatkan diri dengan benar. Inilah saatnya ia pasang badan sebagai hero di depan Dria.
Tidak seperti sebelumnya, ia hanya menjadi hero di balik punggung Dria.
“Kak, dia nyuri kalungku. Kalungku itu berlian asli dan harganya jutaan,” tuding  Dea tanpa perasaan, “Kak, aku nemuin kalungku di tasnya Dria. Itu berarti dia malingnya!”.
Alfa menggulirkan pandangan pada Dria. Dria menatap Alfa penuh harap. Seakan mengharapkan ada sejumput rasa ingin membela yang terbit di balik mata tajam Alfa. Namun Dria segera sadar dari mimpi yang terlampau mustahil itu. Mana mungkin Alfa yang sangat membencinya mau membelanya?!
“Kak, maling kayak dia harusnya―”
“Udah?” dengan enteng Alfa memotong kalimat Dea. Ia tak tahan melihat Dria menangis. Ia ingin segera menyelamatkan Dria. “Udah puas menghancurkan diri lo sendiri?” tanyanya membuat semua orang mendongak, bingung. “Lo gak perlu repot-repot buang ludah sebanyak ini kalo mau ngehancurin diri sendiri. Karena gak cuma gue kok yang liat lo masukin kalung lo sendiri ke tas Dria,” tuturnya.
Dria tercengang. Semua tercengang. Apa lagi Dea. Ia tak berkutik. Boroknya telah terbongkar.
“Gue gak akan nyidang lo, karena gue masih punya rasa kasihan buat lo. Tapi, pembimbing langsung yang akan nyidang lo, Dea,” tukas Alfa membuat Dea semakin tercekat. “Dan Dria, ikut gue!” perintah Alfa.
@@@
Alfa mengangsurkan selembar sapu tangan pada Dria. Tapi Dria bergeming. Alfa menghela napas. Ia bertekad tetap akan menghapus air mata yang membanjiri pipi Dria. Namun, kehadiran tangan lembutnya di pipi Dria ditampik mentah-mentah oleh Dria. Ditangkapnya sekelebat tangan Alfa dan diambilnya sapu tangan di genggaman Alfa. Lalu diusapnya sendiri pipinya yang basah. “Gue bisa sendiri,” ujarnya lirih.
Sejenak rasa kecewa melingkupi Alfa. Ia kecewa karena niat baiknya yang tersamarkan tak pernah terbaca oleh Dria. Sesekali ia ingin menunjukkan kebaikannya secara terang-terangan. .“Kenapa lo selalu begini?” tanya Alfa lembut. Kelembutnya yang terbilang baru nampak kali ini itu, mengundang rasa penasaran Dria. “Kenapa lo selalu menolak tawaran tulus gue?” Alfa melengkapi kalimatnya yang belum tuntas.
“Maksud lo?”
“Yang lo liat gak seperti apa yang gak lo tau, Dri.” Tatapan Alfa sangat teduh saat mengutarakannya. “Gue tau lo benci gue karena gue selalu nganggep lo salah. Tapi, lo kira itu semua tanpa tujuan?” Tanya Alfa membuat kening Dria senantiasa berkerut bingung. “Ya. Tujuan. Gue galak sama lo karena...musuh lo, Dea dan sahabat gue, Faro, gak suka kalau gue suka sama lo.” jelas Alfa menjawab kebingungan Dria.
Alfa memang selalu berhasil menohok sisi hati Dria yang paling dalam. Entah karena ia bisa membuat Dria marah besar, membuat Dria tercekat, tercengang dan sekarang Alfa sukses membawa Dria ke dalam labirin bertabur tanda tanya. Dea? Faro? Jadi selama ini  ternyata Alfa selalu menyelamatkannya dari Dea? Dan arti kata ‘Faro gak suka kalau Alfa suka Dria?’ Itu berarti cinta Dria kepada Faro terbalas. Tapi di sisi lain, ternyata cowok di hadapannya juga diam-diam menyukainya dari balik tirai keangkuhan yang sengaja dibentangkannya, demi sahabat...
@@@
Saat lidah api yang meliuk-liuk itu tersibak oleh hembusan angin malam, nampak sekilas wajah Alfa yang keemasan diterpa cahaya api unggun sedang mengamatinya. Dria berdiri ketakutan dengan secarik surat cinta terselip di kedua tangannya. Dengan berdirinya ia di tengah lingkaran pramuka ini semua bisa melihatnya dengan leluasa. Termasuk Alfa. Dan itu membuatnya semakin takut.
Dear senior 13,” Dria memulai suratnya, “Jujur, aku gak pinter bikin kata-kata. Dan aku juga gak suka bertele-tele. Jadi to the point aja. Aku cinta kamu. Dan aku berharap kamu ngizinin aku jadi pacarmu,” ujar Dria terburu-buru, karena entah mengapa jantungnya seperti terguncang hebat saat mengutarakannya.
 “Dria!” seseorang memanggilnya. Itu Faro. Apa yang akan dilakukannya? Menembak Dria? Dria harap tidak. Karena ia rasa hatinya telah condong pada Alfa. Dria harap Faro sadar diri bahwa dialah pengganjal hubungannya dengan Alfa. “Dri, lo serasi sama Alfa. Dan...Bro! Maju bro! Jemput tuan putri lo!” Tanpa diduga kalimat itulah yang meluncur dari bibir Faro.
Faro menggiring Alfa ke depan. Alfa menawarkan tanggannya untuk menggandeng Dria. Dan untuk pertama kalinya, bukanlah sebuah penolakan yang menjadi reaksi Dria terhadap tawaran Alfa£
Oleh. Aristi Pradana







Hai! Anyway, ini cerpen keberapa yang gue kirim ke majalah gue udah lupa. Yang jelas nih cerpen selesai gue tulis tanggal 15 September 2011. Media yang gue bidik waktu itu adalah majalah Aneka yess. Dan karena berbulan-bulan nggak ada kabar. Ya udah, berarti nih cerpen udah resmi ditolak. Hehe
Oya, di cerpen ini kan ada lampiran segala tuh. Itu lampirannya salah. Jangan ditiru ya. Hehe maklum masih pemula.
Ya udah deh, komen gue sama kayak cerpen-cerpen gue lainnya yang resmi ditolak media. Waktu gue nulis cerpen ini gue cuma mementingkan pemilihan diksi dan plotting cerita aja. Tapi gue nggak berusaha membuat cerita ini bernyawa. Jadinya ya kesannya fake gitu.
Okelah, thanks gans karena sudah sudi mampir di warung cerpen saya. See you next time. Kayaknya ini cerpen terakhir dari deretan "cerpen yang ditolak redaksi". Karena gue kehilangan file-file cerpen yang dulu pernah gue kirim ke media.
Oke deh. Once again thanks sudah mampir. Semoga postingan ini bisa memberi faedah. (Ceilaaah faedah. Tinggi bener bahasa gue. Hehehe)

When There is a Will, There is a Way

Lampiran

Dengan ini saya Aristi Aminna Dian Pradana menyatakan bahwa cerpen berjudul When There Is A Will There Is A Way orisinil dan belum pernah dipublikasikan ke media manapun sebelumnya. Kepada pihak Aneka Yess! mohon mempublikasikan cerpen saya. Terimakasih atas perhatiannya dan kesediaan mempublikasikan cerpen saya.



















Tertanda Aristi Pradana

When There is a Will, There is a Way

 “Gila! Kardigan jelek mirip gombal masak nyokap gue gini aja Rp 300.000,-. Sadis amat yang ngasih harga!” umpat Olin saat melihat-lihat baju di salah satu kawasan perbelanjaan.
“Ehem-ehem!” tiba-tiba terdengar deheman keras dari belakang Olin.
Olin yang lagi naik darah kontan langsung memaki orang tersebut tanpa melihat siapa orang tersebut terlebih dahulu, “Kalau lagi batuk diobatin donk! Jorok tau sampe dahakan gitu!” makinya.
“Jorok ya?” sahut orang tersebut dengan nada tenang.
“Ya iyalah!” protes Olin sebal. Pake nanya!
“Tadi ngatain jelek. Sekarang nagtain jorok. Berani bayar berapa buat bayar denda atas tindakan tidak sopan?” tiba-tiba orang tersebut menantang. Nah lho! Kok orang itu marah-marah Olin ngatain kardigan yang dijual di toko ini jelek.  Jangan-jangan.....
 Olin berbalik perlahan dan berharap semoga feelingnya salah. Namun, ternyata bukan Dewi Fortuna yang menyertainya saat ini. Melainkan Dewi Apes yang menyertainya. Jadilah Olin apes, karena ternyata yang di belakangnya adalah sang pemilik toko!
“Em...e..” Olin geragapan. Bingung  mau berkata apa pada sang pemilik toko tersebut, “Em...ada yang lebih mahal nggak dari ini? Soalnya harga kan biasanya menentukan banget ya kan? Nah ini cuma Rp 300.000,-.  Jadi  ya...kurang okelah! Ada yang 2 juta nggak? Kalau ada saya ambil yang 2 juta itu aja deh, Bu!” Olin beralasan. Semoga dengan berlagak sok kaum borjuis seperti ini dapat menyelamatkan harga dirinya!
Ibu paruh baya dengan dandanan heboh plus menor disana-sini yang ternyata sang pemilik toko itu langsung menatap Olin dari atas sampe bawah―bolak-balik pulak!―dengan tatapan yang mengisyaratkan sejuta arti. Nggak percaya, nggak mungkin, mustahil dan segala bentuk ketidakpercayaan kalau Olin ini tajir.
Dalam hati ibu itu berniat mau mengambilkan saja baju seharga 2 juta. Biar mati nih anak nggak bisa bayar. “Ya sudah tunggu sebentar saya ambilkan bajunya.” kata ibu itu lalu menghilang di balik deretan baju yang berjuntai indah bikin semua orang laper mata.
Tapi Olin ternyata lebih pinter ketimbang ibu-ibu nggak sadar umur itu. Pas si ibu itu masuk ke dalam ngambilin baju, Olin langsung kabur dari toko. Nggak peduli mbak-mbak SPG-nya pada ngeliatin Olin. Yang penting selamet dari rajanya dulu. SPG, urusan belakangan. Orang nggak kenal aja.
Selamat dari badak menor itu, Olin kembali ke misinya beburu baju murah tapi tetap up-to-date untuk acara pensi lusa nanti. Niatnya sih dia mau nggak datang. Tapi nggak ikut pensi akan berakibat mengubah dirinya seakan-akan menjadi manusia purba yang kesasar di tahun 2010. Mengapa? Karena nanti ia akan diberondong cemooh berbunyi, ‘Dari abad berapa sih lo dateng? Masa sampe nggak ikut pensi?’. Sadis kan? Jadi jangan sampe deh ngalamin bencana bernama ’Nggak Ikut Pensi’!
Sudah hampir 3 jam Olin muter-muter di Mangga Dua sampe betisnya udah nggak bisa dibedain lagi sama pemain sepak bola. Tapi, perburuannya belum juga membuahkan hasil. Ya gimana lagi. Olinnya sih yang kelewat kere. Dia nggak mau nabung jauh-jauh hari buat prepare pensi. Alhasil dia cuma mematok budget Rp 30.000,-  untuk mendapatkan satu stel baju lengkap dari atas sampe bawah. Dapet apaan coba. Angkotnya ke sana aja udah makan dana Rp 3000,- ?! Sebenarnya Olin juga sudah tahu segala kemustahilan itu dari awal. Tapi, ia terus berusaha menentramkan pikirannya dan terus memaksa otaknya untuk percaya bahwa keajaiban itu ada. Tapi nyatanya....
 “Ah...270.000! Angka nol di duit gue kurang satu nih. Coba nol di duit gue bisa ditambahin. Jadi deh nih baju gue bawa pulang.” gerutunya dalam verse ke-1. “Halah! Keliatannya aja Diskon 50% plus 15%! Tapi kalau harga awalnya 300.000 juga sama aja nggak kebeli!” itu verse ke-2. “Ha! Ada yang 27.000 nih!” pekiknya girang. Namun beberapa saat kemudian, “Ya ampun ternyata cuma kaos oblong putih doangan. Mana buat cowok pula! Sama juga boong!” itu verse ke-3 nya.
Dan kenyataannya adalah nggak ada keajaiban! Nelangsa banget tuh bocah. Jalan-jalan sendirian, muka juga kelipet-lipet BT gitu. Udah mirip anak ilang. Tapi Olin nggak mau nyerah. Ia tetap berkeliling menelusuri hingga ke sudut-sudutnya. Meneliti setiap baju yang ia temui dengan rumus pengeliminasian. Yaitu mengeliminasi yang harganya nggak kompromi sama kantong, dan mempertimbangkan yang sesuai persyaratan (murah dan up-to-date). Namun perbandingan keduanya hampir sejuta banding seperempat. Alias banyakan yang nggak cocok dari pada yang cocok. Huh! deretan baju ini bener-bener bikin ngeces! Pikir Olin.
Tiba-tiba pikirannya teralihkan oleh sebuah vest yang keren abis. Bahannya jins hitam dengan hiasan manik-manik pink dan abu-abu yang membentuk gambar tengkorak. Pasti di-mix sama kaos stripes-stripes pink putih bagus, pikirnya. GUE MAU YANG INI. Rasanya  Olin ingin teriak. Namun suaranya tertahan oleh rasa kecewa karena harganya mahal. Urgh...!
%%%%%

 “Kalau gue mau pake dress biru gue yang baru itu,” ujar Mita nggak mau kalah dengan Kikan yang katanya pensi nanti mau pake terusan Dolce & Gabbana yang asli dibeliin kakaknya dari Milan.
“Warna dress lo bagus, lho Mit! Biru laut! Kalau terusan D&G gue itu warnanya peach-peach gitu. Trus model kerahnya yang mirip kimono itu keren banget bikin terusan gue keliatan kalau asli branded. Dan untung gue punya tas tangan Fendi warna putih kan match banget sama D&G gue itu,” jelas Kikan panjang lebar dengan penekanan lebih pada setiap kata D&G dan Fendi. Bilang aja mau pamer. Pake embel-embel muji dressnya Mita segala biar nggak keliatan pamer! Batin Olin sengit.
“Lin besok lo mau pake apa?” tanya Mita kepada Olin, hanya sekedar untuk menyiasati Kikan yang sudah siap-siap mau mamerin terusan D&Gnya lagi, supaya mingkem!
“Gue sih yang jelas mau pake baju bukan karung beras.” jawab Olin cuek.
“Ih....Olin! Ngelawak mulu! Serius nih!” desak Mita kepada Olin yang emang jago ngebanyol, “Jadi baju lo ntar gimana? Awas ya kalau jawabnya ngaco lagi!” ancam Mita.
Duh...Mita ngebet banget sih pingin tau baju gue ntar. Baju gue kan jauh gila levelnya sama dia. Bisa ajlok nih karisma gue. Pikir Olin.
Olin memutar otak. Dan kayaknya kabur menjadi satu-satunya jalan keluar saat ini. “Aduh, Mit! Kayaknya perut gue kangen kamar mandi deh! Gue ke kamar mandi dulu, ya! Emergency!” seru Olin bohong dan langsung kabur tanpa menghiraukan 2 teman sekelasnya yang hanya bisa bengong.
%%%%%
Dengan wajah kusut, Olin masuk ke kamarnya dan langsung membanting diri di atas ranjang tempat tidurnya. Tamatlah riwayat gue! Batinnya nelangsa. Udah nangis bombay sampe mata pedes cuma biar Mama luluh mau mengucurkan dana, e...nggak taunya Mama tetep keukeuh nggak mau bagi duit sedikitpun. Sambil menerawang langit-langit kamarnya, Olin masih membayangkan vest yang ia temui kemarin.
“Keren banget!” desahnya pelan dengan wajah mupeng yang kembali kumat. Dari jins item, trus ada manik-manik tengkoraknya. Pasti kalau dipaduin sama kaos garis-garis pink putih yang gue punya cocok. Batinnya lagi. Di sisi lain, Olin menyalahkan dirinya. Kenapa dia tidak menabung dari beberapa minggu yang lalu. Coba dia mau nabung. Nggak perlu repot-repot deh nyari sponsor dana.
Eh...wait! Olin mendadak bangun dari posisi tidurnya. “Kain vest-nya tadi dari jins item. Itu kan  sama kayak baju hamil Mama dulu.” gumamnya. “Aha! Gue punya ide!” pekiknya saat tiba-tiba ada sebuah ide terinstal di otaknya. 
Sedetik kemudian Olin langsung membongkar gudang untuk mencari baju hamil mamanya di tumpukan baju lama. Setelah mendapatkannya, ia segera ke kamar dan bersemedi mencari ilham untuk menyulap baju hamil Mamanya menjadi sebuah vest keren ala Olin. Mau tau gimana cara nyulapnya? Yang jelas nyulapnya bukan dengan cara ala Limbad, atau dengan mantranya Harry Potter. Melainkan dengan menjahitnya. Yup! Olin akan menjahit.
Langkah pertama yang harus Olin lakukan adalah membuat pola. Lewat majalah, ia mengamati bentuk vest untuk lebih detailnya. Lalu ia mengambil salah satu bajunya untuk menjiplak ukuran tubuhnya. Setelah itu barulah ia menggambar pola vest pada selembar kertas besar.
Selesai menggambar, ia menggunting kain jins tersebut dengan mengikuti pola yang telah ia buat. Setelah digunting, kain tersebut dijahit. Ini dia part yang paling sulit. Karena menjahit itu perlu kesabaran. Apalagi menjahitnya secara manual alias nggak pake mesin jahit. Perlu ekstra sabar nih.
“Adow!” jerit Olin saat tak sengaja jarinya tertusuk jarum, “Ah! Belum apa-apa tangan gue udah KO!” gerutunya. Namun bukan Olin namanya kalau stok semangatnya tipis. Dengan semangat full Olin terus berjuang hingga titik keringat penghabisan. Ya...Walaupun ia penjahit amatir, tapi paling nggak dulu pas pelajaran menjahit di SD dia masuk teruslah. Jadi lumayan tahu serba-serbi menjahit.
Berkat  ketidakmalasannya di masa lampau yang nggak pernah absen pelajaran menjahit, dan berkat semboyan ‘Ada niat ada hasil’ yang terus dikobarkannya, akhirnya vest tersebut selesai juga! “Nah...tinggal nambah pernak-pernik deh!” ujarnya girang sambil mengusap keringat di dahinya.
Dengan modal pita, kancing-kancing lucu, dan payet warna-warni, Olin benar-benar berhasil
menyulap baju hamil mamanya menjadi sebuah vest keren yang kalau dipajang di distro sudah bisa disebut sebagai karya designer terkenal.
 Karena baju hamil Mama ternyata gede banget, sehingga masih ada banyak sisa yang bisa dimanfaatkan, Olin kembali memutar otak. Dibikin rok mini aja! Pikirnya. Tak lama kemudian ia kembali berkutat dengan sejoli yang tak dapat dipisahkan. Yakni jarum dan benang.
Ia langsung menggunting jins tersebut sesuai dengan lingkar pinggangnya. Agar roknya tidak terlihat hanya kotak polos begitu saja, ia menambah  aksen rimple pada bagian bawahnya. Sebagai aksesoris Olin  melintangkan pita berglitter pink dan silver di atas rimple agar matching dengan kaos stripes pink-putihnya. Sesaat Olin merasa amazing sendiri. Kok tangannya jadi lincah menjahit gini ya? Apa ini yang disebut keajaiban semangat when there is a will there is a way?
%%%%%
Pensi pun tiba. Terpeta jelas di wajah Olin kepuasan dan kepercayaan diri karena menggunakan baju made in me-nya. Ia yakin bahwa ia tidak akan minder bila nanti bertemu Kikan dengan baju branded-nya ataupun Mita dengan dress anggunnya. Karena ia punya sesuatu yang lebih membanggakan.
Olin nampak manis dengan kaos stripes pink-putihnya, dilapisi vest buatannya, dan rok berrimple yang juga buatannya. Untuk rambut, Olin mengenakan bandana putih. Rambutnya yang sudah dari pabriknya sono curly di bagian bawahnya, kian menambah manis penampilanya malam itu.
Tidak jauh dari tempat Olin berdiri sekarang, terlihat Mita dan Kikan sedang berbincang-bincang. Dilihat dari ekspresi excited Kikan dan ekspresi bosan Mita, Olin sudah bisa menebak bahwa Mita sedang menjadi korban sebagai objek ajang pamernya Kikan. Kasihan Mita. Semoga ia diberi ketabahan ekstra dari yang Maha Kuasa untuk menghadapi spesies macam Kikan. Amin. Batin Olin.
“Hai ,Mit, Kan!” sapa Olin.
“Olin!” Mita nampak surprise melihat Olin, “Baju lo keren lho, Lin!” pujinya langsung.
 “Roknya cute abis...manik-maniknya...perpaduan warnanya semua perfect.” gumam Kikan terpana.
“Thanks! Ini bikin sendiri lho, Kan!” kata Olin semakin PD.
“Oh..eh...!” Kikan yang berprinsip anti muji kelebihan orang lain, langsung geragapan setelah nyadar kalau barusan dia muji Olin. “Nah!Ini lho D&G yang gue ceritain kemarin, Lin!” pamer Kikan.
“Oh itu D&G lo! Kalo ini gue bikin sendiri. Tanpa musti capek-capek ke Milan pula!” Olin balik pamer sekalian nyindir Kikan yang langsung cemberut tersindir sedangkan Mita tersenyum puas. Sukurin!
“Halo...anak-anak!” Miss Raifa guru bahasa Inggris yang charming banget menyapa. “Lho, ini Olin ya? You look so gorgeous...” Miss Raifa nampak takjub juga melihat Olin. Yang dipuji jelas langsung tersanjung mendengarnya, “Thanks Miss. Anyway, ini bikinan sendiri lho, Miss, ” pamer Olin.
“Oh...ya...bagus lho....kalau begitu kamu jadi designer saja. Trus nanti Miss pesen baju ke kamu. Tapi diskon ya?” sanjung Miss Raifa lagi. Olin hanya mengacungkan jempol dan tersenyum girang.
 Tak lama kemudian pandangan Miss Raifa bergulir pada Kikan. Lebih tepatnya pada kerah Kikan yang ada merknya. “Kikan, baju kamu beneran D&G ?” tanya beliau. Dengan semangat Kikan langsung mengagguk dan mengatakan kalau belinya langsung di Milan.
“Kikan, tapi D&G yang asli jahitannya kuat dan nggak gampang lepas,” tutur beliau seraya menarik sehelai benang yang mencuat di pundak Kikan. Kontan aja Kikan langsung keki. Masa D&G yang harganya jutaan jahitannya lepas?
“Dan...sepertinya kamu ketipu, Kan! Bahannya juga beda lho. Seperti ini di Jakarta juga banyak.” ujar Miss Raifa lagi. Dalam hitungan detik muka Kikan langsung merah padam karena malu kebohongannya ketauan. Olin dan Mita senyam-senyum sendiri melihat Kikan ketauan ngibul. 
“Eh, Kan! Itu stand Aksesorisnya udah buka. Ayo ke sana katanya mau beli bandana. Ya udah ya Miss...Mau berburu aksesoris dulu!” cerocos Olin panjang lebar lalu menarik Kikan dan Mita pergi untuk menyelamatkan harga diri Kikan. Fiuh...untung Olin baik hati. Kalau nggak, bisa mewek di tempat tuh si Kikan kemakan malu. Hihihi...

Hai-Hai lagi! Hehe...
Nah, ini cerpen yang usianya juga udah cukup bangkotan. Nih cerpen selesai gue tulis pada tanggal 6 November 2010. Karena berbulan-bulan nggak ada kabar, berarti kesimpulannya nih cerpen resmi ditolak. hehe...
Oya, di cerpen ini kan ada lampiran segala tuh. Itu lampirannya salah. Jangan ditiru ya. Hehe maklum masih pemula.
Jadi, gini ceritanya. Cerpen ini mau gue kirim ke majalah Aneka Yess. Pada tahun itu majalah Aneka Yess mengharuskan para pengirim cerpen untuk mengirimkan cerpennya disertai surat pengantar. Berhubung gue waktu itu belum punya modem dan males ke warnet, jadi waktu itu gue males searching tentang format surat pengantar yang bener itu kayak apa . Jadinya ya udah, gue bikin aja surat pengantar asal-asalan. 
Yaaa... Next time deh. Gue posting contoh surat pengantar tuh kayak apa.
Oke, sekian postingan gue. Thanks sudah mampir yaaah :D