Rabu, 06 Mei 2015

The Shawshank Redemption

The Shawshank Redemption


Pemain: Tim Robbins, Morgan Freeman
Sutradara : Frank Darabontdan

Hope is Dangerous, Hope is Good
Film yang diproduksi tahun 1994 ini mengisahkan tentang Andy Dufresne yang menjalani hukuman penjara di Shawshank State Prison atas kasus pembunuhan istrinya. Andy mengklaim bahwa dirinya tidak membunuh istrinya. Namun pada akhirnya hakim menjatuhinya hukuman penjara terhitung sejak tahun 1947.
Film besutan sutradara Frank Darabontdan ini dibanjiri dengan quotes yang membuat kita berpikir panjang. Di awal-awal film, situasi yang ditampilkan sukses membuat saya bosan. Saya katakan sukses karena menurut saya ya memang begitulah suasana di dalam penjara. Membosankan.
Bahkan ada statement yang dilontarkan oleh narapidana bernama Red, diperankan oleh Morgan Freeman, yang berbunyi kurang lebih seperti ini, “Di penjara orang akan melakukan apa pun untuk menjaga pikirannya agar tetap bekerja.” Ya, terbatasnya ruang gerak berakibat pada miskinnya aktivitas serta rendahnya tingkat kehidupan sosial. Ritme kehidupan pun terasa statis, hambar, membosankan, tidak ada bedanya antara hari ini, kemarin, maupun esok.
Sedikit tersentil, di penjara saja orang berusaha untuk tetap mempekerjakan pikirannya. Namun, kebanyakan orang di luar sana, yang bebas tidak terkurung suatu apa pun, justru malas-malasan menggunakan pikirannya. Hidupnya hanya diwarnai dengan mengeluh yang secara tidak langsung justru memenjarakan pikirannya sendiri. Menciptakan batasan-batasan fiktif, mempersempit daya berpikirnya hingga tak terpikir bahwa sebenarnya ada banyak cara untuk menyelesaikan masalah.
Well, terlepas dari itu semua, inti dari film ini yang saya tangkap adalah tentang upaya seorang Andy Dufresne yang ingin membuktikan pada dirinya sendiri serta kepada orang lain bahwa sebuah harapan itu dapat terwujud. Sekalipun harapan itu adalah harapan milik para tahanan Shawshank, tahanan kelas berat yang masa kurungannya puluhan tahun.
Dalam film ini, terdapat satu tokoh tahanan yang mendapat hukuman 50 tahun penjara. Ia bernama Brooks. Puluhan tahun berada di Shawshank State Prison telah merubah pola pikir dan kebiasaannya. Ketika masa hukumannya berakhir, ia tidak siap berhadapan dengan dunia luar yang telah berkembang pesat selama ia terkurung dalam penjara. Ada banyak hal baru yang telah ia lewatkan. Hal tersebut membuatnya takut dalam menghadapi dunia luar. Ia bahkan berencana merampok atau membunuh agar ia bisa masuk penjara lagi.
“Mungkin seharusnya aku mengambil senjata dan merampok. Jadi mereka akan mengirimku pulang. Aku tidak suka berada di sini. Aku lelah ketakutan sepanjang waktu.”
Brooks menganggap bahwa penjara adalah rumahnya. Tempat ia bisa pulang. Ia merasa nyaman di penjara. Ia merasa dianggap. Di penjara ia mendapat tugas tambahan sebagai penjaga perpustakaan. Di sana ia dianggap sebagai orang penting, orang terpelajar. Sementara di luar, ia bukan siapa-siapa. Ia hanya dianggap sebagai seorang bekas napi. Di lingkungan penjara, ia mendapat pengakuan eksistensi akan dirinya. Itu yang membuatnya merasa nyaman di penjara, dan takut akan dunia luar. Karena sejatinya manusia hidup membutuhkan pengakuan atas eksistensi diri.
Sama halnya dengan Brooks, Red—salah satu napi—juga beranggapan bahwa ia lebih baik berada di penjara. Ia juga sempat berniat merampok atau membunuh agar dapat kembali ke penjara. Ada satu statement Red yang kembali membuat saya berpikir, “This wall is funny. First you hate them. Then you get used to. Enough time passes you get so depend on it—Tembok ini aneh. Awalnya kau akan membencinya. Lalu kau akan terbiasa. Seiring berjalannya waktu kau bahkan akan bergantung padanya.”
Suatu hal yang sangat kita benci, ketika kita mampu beradaptasi terhadapnya, lama-lama kita justru enggan meninggalkannya. Bahkan kita justru bergantung padanya. Kurang lebih seperti itu asumsi terhadap pola pikir Red.
Di samping itu, Red juga merasa bahwa ia tidak berhak berharap lebih. Apa yang ia terima saat itu, ya apa yang harus ia hadapi. Ya itulah takdirnya. Ia tidak berani untuk melambungkan harapan-harapan. Baginya harapan adalah suatu hal berbahaya. “Hope is a dangerous thing. Hope can drive a man insane.” Ia tidak berani berharap untuk dapat hidup di dunia luar. Itulah yang membuatnya tergantung pada kehidupan penjara dan tidak siap menghadapi dunia luar.
Berbeda dengan Brooks dan Red, Andy Dufresne percaya bahwa harapan itu ada dan dapat terwujud. Ketika ia menginginkan penjara memiliki sebuah perpustakaan yang layak, kepala penjara berkata bahwa pemerintah tidak memiliki anggaran untuk membangun perpustakaan. Andy berinisiatif untuk mengirim surat kepada pemerintah. Kepala penjara mengatakan bahwa pemerintah tidak mungkin menggubris surat Andy—yang hanya seorang napi. Namun Andy bersikeras mengirimi pemerintah surat secara rutin setiap minggunya. Ia berpikir bahwa tidak mungkin pemerintah akan selamanya mengabaikan surat-suratnya. Dan terbukti setelah 6 tahun Andy menulis surat, pemerintah memberi surat balasan beserta sumbangan dana dan buku untuk perpustakaan. Terdengar sepele: menulis surat. Selama 6 tahun terus menerus menulis surat, surat itu baru berbalas. Menyalakan suatu harapan agar terus menyala, itulah yang sulit.
Dengan berbagai cara, Andy Dufersne yang diduga membunuh istrinya berusaha melakukan berbagai hal bermanfaat selama ia dipenjara. Selama itu pula ia tetap menyalakan harapannya bahwa ia tidak bersalah dan layak bebas. Hope is a good thing. Maybe the best of thing. And no good thing ever dies. Harapan adalah sebuah hal baik. Mungkin yang terbaik. Dan suatu hal baik tidak akan pernah mati.


Just Nail It

Just Nail It


 Hari Ini bukan hari yang spesial. Aku tidak berulang tahun, adikku tidak berulang tahun, ayah maupun ibuku juga tidak berulang tahun. Tidak ada yang spesial hari ini. Aktivitas perkuliahan pun juga sama saja. Just like another day.

Yang unik dari hari ini adalah, aku dan Mbak Cahya (Pimpinan Redaksi) memperbaiki mading LPM Motivasi kami yang ada di Gedung D FKIP. Keadaan mading benar-benar memprihatinkan. Triplek yang menjadi alas kami menempelkan berbagai lembaran berita itu lepas dari bingkai kayu penyangganya, sehingga mading (atau mungkin namanya maplek. Majalah triplek, bukan mading majalah dinding. Hehehe) kepunyaan kami itu teronggok begitu saja di bawah kayu penyangga. Bahkan tulisan “Mading LPM Motivasi” sudah tidak genap dan hanya bisa dibaca menjadi “Mading LPM Motiv” karena beberapa hurufnya terkelupas. Di mading tersebut pun sudah tidak ada satu pun kertas yang menempel, alias tidak ada berita sama sekali yang kami sampaikan.

Aku yang sore itu sudah dalam keadaan lelah, menjadi semakin lelah (Oke, gue tau bahasa gue sumpah mampus nggak enak banget). Maksudnya, itu mading kosong mlompong, padahal kami anak-anak pers yang seharusnya menjadi sumber informasi bagi mahasiswa. Sedih, bray!

Sekitar bakda maghrib kami segera memperbaiki mading tersebut. Kami sebelumnya sudah membeli beberapa paku di Toko Pak Amir—toko yang lumayan bikin takjub, karena dari paku sampai kertas kado dijual di sana. Btw, itu bisa disebut toserba nggak ya, karena saking lengkapnya? Hehehe—Lanjut, setelah kami membeli paku, kami segera memaku agar triplek tersebut bisa kembali nangkring di bingkai kayu penyangganya.

Bakda maghrib, langit sudah petang, kampus sudah cukup lengang, dan lantunan ayat- ayat Al-Quran dari beberapa masjid sayup-sayup terdengar lembut. Sementara itu, kami justru memecah kekhusukan suasana magrib dengan menempa palu dan paku. Suara dua besi yang beradu, yang ternyata cukup memekakan telinga.

Beberapa kali Mbak Cahya tampak berhenti mengayunkan palu. Pandangan penuh waspada ia layangkan mengikuti sosok sekuriti penjaga Gedung D yang melintas. Entah siapa nama sekuriti tersebut, yang jelas kedatangannya membuat kami takut.

“Aku takut dimarahin Pak Satpam, nih!” bisik Mbak Cahya diiringi cengiran kaku.

Aku hanya diam saja. Kami sama-sama mengamati sosok sekuriti tersebut. Air mukanya tampak datar. Cuek. Dingin. Mampus, deh. Bakal kena semprot nih maghrib-maghrib malah main pukul-pukul paku, pikirku waktu itu.

Pak Sekuriti tampak menatap sejenak pada kegiatan kami. Namun beruntung, Pak Sekuriti memalingkan wajah dan berlalu begitu saja. Kami pun secara refleks dapat menghela napas lega.

Mbak Cahya kembali memaku triplek mading tersebut. Dari sudut satu beralih ke sudut lainnya, ia lakukan dengan… ya… yang penting tuh paku bisa bikin si triplek nempel di bingkai kayu penyangga.

Pada sudut terakhir, aku meminta agar aku yang memasang paku. Awalnya gerakan tanganku ketika mengayun palu terasa kaku. Tapi lama-lama aku menemukan ritme dalam memukul paku tersebut.

“Kayaknya aku lebih jago deh, Mbak!” ujarku membanggakan diri ketika kulihat si paku yang kupukul terlihat lebih rapi menusuk triplek. Entah seperti apa kategori ‘rapi’ itu, yang penting paku milikku terlihat lebih kokoh. Sementara itu, Mbak Cahya hanya tersenyum dan mengiyakan pendapatku.

Setelah selesai memperbaiki mading tersebut, kami pun meninggalkan Gedung D. Sesaat Mbak Cahya sempat berpesan, “Dek, madingnya dicek ya dua minggu sekali,” katanya. Aku mengangguk menyanggupi.
Seketika aku teringat mading milik LPM Motivasi kami yang ada di Gedung C, Gedung  dimana kelasku berada. Mading yang ada di gedung itu juga kosong. Tidak ada satu pun lembaran kertas yang tertempel. Dan anyway, mading yang diletakkan di Gedung C itu memiliki letak yang cukup strategis. Yaitu di lobi yang sering digunakan para mahasiswa menunggu dosen datang. Ingatanku kembali berputar, demi menjawab satu pertanyaan yang tiba-tiba terbit: Ada nggak sih temen yang nanya ‘Kenapa mading Motivasi kosong’? Dan jawaban dari pertanyaan itu ternyata tidak ketemu dalam ingatanku. Entah ingatanku yang payah atau bagaimana, tapi sepertinya tidak ada yang menanyakan kabar mading kami.

Mading kami sering tidak diacuhkan. Jarang sekali ada mahasiswa yang bersedia berdiri, diam sejenak untuk membaca berita-berita yang kami sampaikan di mading. Entah ini karena perkembangan teknologi global yang mematikan eksistensi si mading, atau karena mading kami yang kurang menarik, atau karena daya baca mahasiswa yang masih rendah, atau juga karena rendahnya kepedulian mahasiswa tentang kabar seputar kampus. Banyak kemungkinan. Yang jelas, aku salut dengan usaha Pimpinan Redaksiku ini. Sore-sore, sudah capek luar biasa dengan rutinitas seharian di kampus, masih mau mengurusi mading bobrok di Gedung D. Tatapan heran dari beberapa mahasiswa yang tampak masih berkeliaran di sekitar Gedung D, sedikit membuatnya malu ketika harus memaku. Tapi tidak ia hiraukan. The point is, I see a dedication. And hope. Hanya sebuah benda—yang di mata orang lain—mungkin tidak ada artinya, tapi tetap ia pertahankan. Karena itu adalah mading LPM Motivasi.

Dedikasi dan harapan. Dari mading itu kami berharap bisa membantu mahasiswa dalam memperluas informasi. Melalui sekelumit peristiwa memperbaiki mading itu aku pun belajar dari Pimredku tentang arti dedikasi. Dedication and Hope. Betapa susahnya menjaga kedua hal itu agar tetap menyala.

Ah… kan… ngomongin harapan jadi inget film Shawsank Redemption. Bikin pengen nonton lagi. Tapi tugas masih bejibun. Yah…

Well, sekian postingan kali ini. Nggak ngerti deh ini postingan ada value-nya kagak. Toh postinganku sebelum-sebelumnya juga isinya begini doang. Curcol nggak jelas. Wkwkwkwk. Yeah… finally, see you guys!