Minggu, 03 November 2013

Surat Kaleng Sang Senior

Lampiran

Dengan ini saya Aristi Aminna Dian Pradana menyatakan bahwa cerpen berjudul Surat Kaleng Sang Senior orisinil dan belum pernah dipublikasikan ke media manapun sebelumnya. Kepada pihak Aneka Yess! mohon mempublikasikan cerpen saya. Terimakasih atas perhatian dan kesediaannya untuk mempublikasikan cerpen saya.

















Tertanda
Aristi Pradana


Surat Kaleng Sang Senior
Pena bertinta hitam itu masih berkeras berada dalam pelukan kelima jari Dria. Pena itu belum mendapat komando untuk menuangkan ide sang empunya ke atas kertas. Padahal kini jarum jam telah merujuk pada angka 2 pagi. Dria memang sedang dilanda badai bingung. Semua junior di pramukanya diharuskan membuat surat cinta untuk para seniornya, dan akan dibacakan di acara api unggun nanti malam.
Dria bingung harus menguntai kata serupa apa agar suratnya nampak paling berkesan di mata senior terkasihnya. Memang, ini hanya ajang hura-hura untuk meramaikan acara api unggun. Namun Dria berniat menggunakan surat ini sebagai jembatan nyata untuk memintal cintanya dengan Kak Faro, senior pujaannya.
Dria bukan penyair. Nilai Bahasa Indonesianya juga ngepas. Kalau begitu pasti surat cintanya gak romantis dan datar abis! Hopeless, ia melirik secarik kertas di hadapannya yang masih sepi akan tulisan. Yang tertoreh barulah sebaris salam, Dear senior 3. Maksud dari senior 3 adalah nomor urut setiap senior. Aturannya memang tidak boleh menuliskan nama melainkan nomer urut sang senior.
Triiing....di tengah kehopelessan, tiba-tiba otaknya berdering nyaring menandakan ada ide terinstal di otaknya. “Hmm...kalo gak bisa romantis kenapa gak ngajak perang aja,” pikir Dria. Agar suratnya dibaca oleh Kak Faro, suratnya harus menarik. Agar suratnya menarik, suratnya harus beda. Kalau yang lain isinya cuma penjabaran cinta, surat Dria akan berisi deretan makian alias surat kaleng. Dengan begitu perhatian Kak Faro pasti terenggut. Setelah itu tinggal pembersihan nama.
Kalau urusan maki-memaki, Dria tinggal mengingat detik-detiknya bersama Alfa yang tak pernah menyentuh kata damai. Alfa juga salah satu seniornya. Dia orang terrese dalam jajaran top ten rese peoples menurut Dria. Alfa sering banget mengeritiknya sebagai pinsa (ketua regu). Alfa seperti mencari-cari kesalahan Dria. Makanya Dria benci banget sampai ia berani membentak-bentak Alfa. Padahal jabatan Alfa cukup berbahaya untuk dibentak. Yaitu Ketua 1. Dria bisa saja diseret ke pembina, lalu ke guru BP, lalu ke Kepala Sekolah, lalu di seret ke rumah dan dilarang menginjakkan kaki lagi di SMAnya. Untungnya Alfa tidak pernah melaporkannya walau jutaan semburan bentakkan dihujankan Dria.
Dria mulai mengremind detik-detik bersama Alfa. Kalimat ketus Alfa, ke-sok-tau-an Alfa, kejaiman Alfa, semua itu membuat Dria punya cita-cita jangka pendek. Yaitu meninju hidung mancung Alfa yang selama ini menjadi mahkotanya dalam mendongkrak pesonanya di depan kaum hawa.
Dari semua itu lahirlah surat yang sangat ringkas namun cukup dapat memacu darah tinggi kumat. Sebuah surat kaleng dengan Alfa sebagai ilustrasi tokohnya. Itulah yang akan diberikannya pada Faro. Kini Dria tinggal menyemplungkannya ke dalam amplop pink dan menuliskan inisialnya― nama pengirim harus ditulis dengan inisial―Yaitu DTM. Driana Tisha Mafadi.
@@@
 “Nah, ini dia acara yang paling kita tunggu. Pembacaan surat cinta. Gimana kalo kita mulai dari....senior 3!” Pilihan yang dijatuhkan Kak Rio sebagai presenter di malam api unggun itu kontan membuat Dria super girang. Senior 3 = Kak Faro!
Dria langsung buru-buru dandan instan dan tanya sana-sini meminta orang lain mengapresiasi penampilannya, “Eh... cantik gue masih nempel kan? Nggak ngilang kemana-mana kan?”
 “Masih. Lo kan udah ngabisin 2 botol lem kayu. Nggak bakal lepas tuh cantik,” jawab Ane asal, sekedar untuk melegakkan Dria. Tapi toh itu cukup melegakkannya juga.
Kak Faro pun maju sambil menenteng selembar surat, “Surat ini berasal dari sanggah (kelompok) Apel dan berinisial DTM,” tuturnya membuat Dria semakin girang. Sanggah Apel dan DTM! Cocok banget!
“DTM adalah... Dri...” Kak Faro memperlambat tempo bicaranya untuk menambah aksen dramatis. Tapi justru itu membuat Dria geregetan. Kelamaan! Bilang aja Dria! “Dri....silia Dewanti” lanjut Kak Faro.
Gubrak! Dada Dria tiba-tiba sesak seperti di banting. What the...? Bukan suratnya yang dibaca? Bagaimana bisa?! Padahal suratnya jelas-jelas paling mencolok secara fisik maupun isi! Kenapa bukan suratnya?! Udah dibela-belain bertapa sampai jam 2 pagi cuma buat nyari ilham, dan sekarang suratnya gak dibaca! Kontan Dria jadi bad mood. Ia malas melihat adegan demi adegan yang menceritakan si centil Lia alias Drisilia sedang menyemai benih-benih flirting untuk pangerannya.
Dria sibuk ngedumel sendiri dalam hati. Sampai ia tak sadar bila kini telah gantian pembacaan surat lainnya. “Habis senior 3, kita ke senior...Berapa ya? 13 deh. Kak Alfa silakan maju!” pekik Kak Rio.
“Halah Alfa! Berani taruhan dia sama sekali gak dapet surat cinta!” gumam Dria pada dirinya sendiri.
“Gue yakin lo kalah taruhan! Melek donk, Dri! Alfa itu kan cakep gilak!” Dea tiba-tiba menyahut.
“Cakep nenek lo perot! Liat, semua onderdil mukanya itu edisi taun 45. Alias dia itu muka katro!”
“Gak usah belagu lo! Kayak lo bisa ngedapetin dia aja!” protes Dea sarkasme. Dria hanya mendelik sebal menanggapi ocehan sinis Dea yang memang telah menjadi trademarknya dari dulu.
Dria sama sekali tidak berminat untuk memperhatikan Alfa. Tapi mendadak perhatiannya terpaksa tersita karena tiba-tiba telinganya menangkap kalimat berbunyi ‘Driana Tisha Mafadi dari sanggah Apel’ diutarakan oleh Alfa. Awalnya Dria berpikir itu hanya halusinasinya. Tapi bombardir dari kiri-kanannya yang tiba-tiba menyerangnya membuatnya mulai sadar bila suratnya memang nyasar.
“Surat lo juga buat Alfa?!” alis dan bibir Dea menukik tajam ke bawah saat menanyakannya.
“Enggak!” Dria menggeleng cepat.
“Lo kan Tom and Jerry-nan sama dia? Kok lo malah nyatain cinta sih?” Ane ikutan mengintrogasi.
“Gue bilang enggak!” Dria berang.
“Tapi inisial lo ada di sini!”
Deg! Suara tenang Alfa yang tiba-tiba menyeruak ditengah riuh perdebatan itu, berhasil membuat jantung Dria mendadak absen berdetak satu detik. Suratnya untuk....Alfa? Gimana bisa suratnya nyasar?
“DTM itu berarti Driana Tisha Mafadi, nama panjang lo kan? DTM juga berarti Dua Tiga Mei sebagai tanggal lahir lo. Iya kan?” cecar Alfa membuat Dria terpojok dan ternganga. Ternganga karena baru tahu DTM juga bisa berarti tanggal lahirnya dan ternganga karena Alfa ternyata tahu tanggal lahirnya.
“Bisa aja itu kebetulan pas sama gue. Atau lo yang salah liat kali,” Dria berkelit. “Bukan buat senior 13 tapi buat senior....3 mungkin. GR amat sih lo!” Dria masih ngarep senior 3.
 “Masih nyangkal?” Alfa menyeringai lebar, “Jelas-jelas di sini ditulis Dear Senior 13. Dan bukti yang paling kuat adalah, surat kayak gini pastinya cuma lo yang berani nulis!” Alfa menunjukkan surat itu. Dan benar saja. Itu surat Dria yang full akan makian!
“Sebagai pinsa,” Alfa mulai berkhotbah, membuat Dria langsung melengos jenuh. Itu merupakan permulaan kalimat yang sudah sangat sering didengar Dria hingga Dria hapal kelanjutannya.“Lo harusnya bisa memberi contoh untuk bermain jujur. Lo ini pinsa apaan? Pinsa bullshit? Pinsa gak becus? Pinsa―”
FINE!” potong Dria. Ia langsung bangkit dari duduknya, menyabet sepucuk surat di tangan Alfa, dan membacanya dengan sangat-sangat lantang. Ia bosan terus-menerus disalahkan.
 “Dear Senior 13. Elo  itu orang TERRESE, TERNYEBELIN, TERJELEK, TERNAJIS, DAN TERMENJIJIKAN! JANGAN HARAP GUE SUDI NYATAIN CINTA BUAT LO!” teriak Dria dengan penjedaan yang super jelas. Supaya Alfa ngerti sengerti-ngertinya.
Dria ingin berontak. Gimana bisa si angka 3 ini ngajak temennya, si angka 1? Gue kan nulisnya cuma angka 3 gak pake 1. Huh! Angka 13 emang angka sial! Rutuknya. Ia memandang sebal angka 1 dan 3 yang berdiri berdampingan seolah mengejeknya.
Tapi, tunggu. Ada yang aneh dengan angka 1-nya. Dria mengamati angka 1 itu. Angka 1 ini nampak agak cacat. Seperti ditulis dengan tidak sengaja. Wait! Dria ingat. Saat menulisnya tadi pagi-pagi buta di dalam kemah, kaki Ane menyenggol sikunya. Sehingga tak sengaja tercoret dan menyerupai angka 1. Sialan!
“Gak ada yang nyuruh lo bikin surat kaleng,” tandas Alfa, “Sebagai hukumannya, besok malam lo harus bikin surat cinta buat gue dan HARUS ADA KALIMAT MENYATAKAN CINTA KE GUE!” Kalimat itu terdengar lebih mengerikan dari pada kalimat ‘Serahkan harta atau nyawa!’ bagi Dria.
“Tapi sebenernya―”
“CUKUP!” bentakkan Alfa menggelegar memotong kalimat Dria dan memotong kesunyian hutan, “Gue udah sabar ngadepin lo! Kalau lo masih nantang, gue aduin ke pembina!” ancamnya.
Perlahan pertahanan Dria mulai runtuh. Semula ia berani menatap tajam-tajam hingga ke titik terdalam manik mata Alfa. Namun sekarang ia hanya bisa menjatuhkan pandangan pada ujung sepatunya. Ia
tahu kali ini Alfa tidak main-main.
@@@
Gemuruh tepuk pramuka dibaluri yel-yel penyemangat membahana di balik gemerisik dedaunan pohon  jati yang telah ratusan tahun bersemayam di kaki Gunung Salak. Pagi itu terasa dingin. Namun bagi Dria yang membuat suasana pagi itu begitu dingin bukanlah suhu yang dibawah 15°. Melainkan Alfa. Entah mengapa ia merasa tatapan dingin Alfa terus mengawalnya ke manapun ia pergi.
Memang, Alfa mengawasinya. Dalam hati ia berjanji tidak akan mencabut pandangannya dari Dria walau hanya sedetik. Karena ia tahu, sebentar lagi seseorang akan menjahati gadisnya.
@@@
Dria sudah tidak peduli bila keributan ini menguar di udara dan terendus oleh para senior atau seniorita. Ia juga tidak peduli bahwa nasibnya sebagai pinsa akan dipertaruhkan. Yang ia pedulikan sekarang hanyalah menyadarkan Dea bahwa bukan dirinya yang mencuri kalung berlian Dea. Bagaimana bisa kalung itu ada di tasnya sementara mengetahui bila Dea membawa kalung saja tidak.
“Sejak kapan maling mau ngaku, Dri?! Bukti ini udah nunjukin semuanya!” cecar Dea.
“Enggak!” Dria hanya bisa berteriak di tengah keputusasaannya. Kini semua orang melempar pandangan mencerca kepadanya. Ia memaksa kerongkongannya menelan ludah yang rasanya seperti berduri. Ia harap air matanya tidak menitik sekarang.
“Dasar maling! Bener firasat gue. Awalnya gue gak percaya yang ngambil itu elo. Tapi ternyata....”
“Dea, gue berani sumpah kalau gue gak ngambil kalung lo!”
“Makan aja sumpah lo! Sekali maling tetep maling! Tampang lo itu sok alim ya, padahal busuk!” kalimat itu mendarat dengan sangat tidak mulus di hati Dria. Membuat air matanya terperas seketika.
“Ada apa ribut-ribut?”
Mampus lo, Dri! Batin Dria memelas, karena lagi-lagi pemilik suara yang kerap menyarangkan kata-kata ketus di lorong telinganya itu, tiba-tiba menyeruak di tengah pertengkarannya dengan Dea.
Alfa. Ia menempatkan diri dengan benar. Inilah saatnya ia pasang badan sebagai hero di depan Dria.
Tidak seperti sebelumnya, ia hanya menjadi hero di balik punggung Dria.
“Kak, dia nyuri kalungku. Kalungku itu berlian asli dan harganya jutaan,” tuding  Dea tanpa perasaan, “Kak, aku nemuin kalungku di tasnya Dria. Itu berarti dia malingnya!”.
Alfa menggulirkan pandangan pada Dria. Dria menatap Alfa penuh harap. Seakan mengharapkan ada sejumput rasa ingin membela yang terbit di balik mata tajam Alfa. Namun Dria segera sadar dari mimpi yang terlampau mustahil itu. Mana mungkin Alfa yang sangat membencinya mau membelanya?!
“Kak, maling kayak dia harusnya―”
“Udah?” dengan enteng Alfa memotong kalimat Dea. Ia tak tahan melihat Dria menangis. Ia ingin segera menyelamatkan Dria. “Udah puas menghancurkan diri lo sendiri?” tanyanya membuat semua orang mendongak, bingung. “Lo gak perlu repot-repot buang ludah sebanyak ini kalo mau ngehancurin diri sendiri. Karena gak cuma gue kok yang liat lo masukin kalung lo sendiri ke tas Dria,” tuturnya.
Dria tercengang. Semua tercengang. Apa lagi Dea. Ia tak berkutik. Boroknya telah terbongkar.
“Gue gak akan nyidang lo, karena gue masih punya rasa kasihan buat lo. Tapi, pembimbing langsung yang akan nyidang lo, Dea,” tukas Alfa membuat Dea semakin tercekat. “Dan Dria, ikut gue!” perintah Alfa.
@@@
Alfa mengangsurkan selembar sapu tangan pada Dria. Tapi Dria bergeming. Alfa menghela napas. Ia bertekad tetap akan menghapus air mata yang membanjiri pipi Dria. Namun, kehadiran tangan lembutnya di pipi Dria ditampik mentah-mentah oleh Dria. Ditangkapnya sekelebat tangan Alfa dan diambilnya sapu tangan di genggaman Alfa. Lalu diusapnya sendiri pipinya yang basah. “Gue bisa sendiri,” ujarnya lirih.
Sejenak rasa kecewa melingkupi Alfa. Ia kecewa karena niat baiknya yang tersamarkan tak pernah terbaca oleh Dria. Sesekali ia ingin menunjukkan kebaikannya secara terang-terangan. .“Kenapa lo selalu begini?” tanya Alfa lembut. Kelembutnya yang terbilang baru nampak kali ini itu, mengundang rasa penasaran Dria. “Kenapa lo selalu menolak tawaran tulus gue?” Alfa melengkapi kalimatnya yang belum tuntas.
“Maksud lo?”
“Yang lo liat gak seperti apa yang gak lo tau, Dri.” Tatapan Alfa sangat teduh saat mengutarakannya. “Gue tau lo benci gue karena gue selalu nganggep lo salah. Tapi, lo kira itu semua tanpa tujuan?” Tanya Alfa membuat kening Dria senantiasa berkerut bingung. “Ya. Tujuan. Gue galak sama lo karena...musuh lo, Dea dan sahabat gue, Faro, gak suka kalau gue suka sama lo.” jelas Alfa menjawab kebingungan Dria.
Alfa memang selalu berhasil menohok sisi hati Dria yang paling dalam. Entah karena ia bisa membuat Dria marah besar, membuat Dria tercekat, tercengang dan sekarang Alfa sukses membawa Dria ke dalam labirin bertabur tanda tanya. Dea? Faro? Jadi selama ini  ternyata Alfa selalu menyelamatkannya dari Dea? Dan arti kata ‘Faro gak suka kalau Alfa suka Dria?’ Itu berarti cinta Dria kepada Faro terbalas. Tapi di sisi lain, ternyata cowok di hadapannya juga diam-diam menyukainya dari balik tirai keangkuhan yang sengaja dibentangkannya, demi sahabat...
@@@
Saat lidah api yang meliuk-liuk itu tersibak oleh hembusan angin malam, nampak sekilas wajah Alfa yang keemasan diterpa cahaya api unggun sedang mengamatinya. Dria berdiri ketakutan dengan secarik surat cinta terselip di kedua tangannya. Dengan berdirinya ia di tengah lingkaran pramuka ini semua bisa melihatnya dengan leluasa. Termasuk Alfa. Dan itu membuatnya semakin takut.
Dear senior 13,” Dria memulai suratnya, “Jujur, aku gak pinter bikin kata-kata. Dan aku juga gak suka bertele-tele. Jadi to the point aja. Aku cinta kamu. Dan aku berharap kamu ngizinin aku jadi pacarmu,” ujar Dria terburu-buru, karena entah mengapa jantungnya seperti terguncang hebat saat mengutarakannya.
 “Dria!” seseorang memanggilnya. Itu Faro. Apa yang akan dilakukannya? Menembak Dria? Dria harap tidak. Karena ia rasa hatinya telah condong pada Alfa. Dria harap Faro sadar diri bahwa dialah pengganjal hubungannya dengan Alfa. “Dri, lo serasi sama Alfa. Dan...Bro! Maju bro! Jemput tuan putri lo!” Tanpa diduga kalimat itulah yang meluncur dari bibir Faro.
Faro menggiring Alfa ke depan. Alfa menawarkan tanggannya untuk menggandeng Dria. Dan untuk pertama kalinya, bukanlah sebuah penolakan yang menjadi reaksi Dria terhadap tawaran Alfa£
Oleh. Aristi Pradana







Hai! Anyway, ini cerpen keberapa yang gue kirim ke majalah gue udah lupa. Yang jelas nih cerpen selesai gue tulis tanggal 15 September 2011. Media yang gue bidik waktu itu adalah majalah Aneka yess. Dan karena berbulan-bulan nggak ada kabar. Ya udah, berarti nih cerpen udah resmi ditolak. Hehe
Oya, di cerpen ini kan ada lampiran segala tuh. Itu lampirannya salah. Jangan ditiru ya. Hehe maklum masih pemula.
Ya udah deh, komen gue sama kayak cerpen-cerpen gue lainnya yang resmi ditolak media. Waktu gue nulis cerpen ini gue cuma mementingkan pemilihan diksi dan plotting cerita aja. Tapi gue nggak berusaha membuat cerita ini bernyawa. Jadinya ya kesannya fake gitu.
Okelah, thanks gans karena sudah sudi mampir di warung cerpen saya. See you next time. Kayaknya ini cerpen terakhir dari deretan "cerpen yang ditolak redaksi". Karena gue kehilangan file-file cerpen yang dulu pernah gue kirim ke media.
Oke deh. Once again thanks sudah mampir. Semoga postingan ini bisa memberi faedah. (Ceilaaah faedah. Tinggi bener bahasa gue. Hehehe)

When There is a Will, There is a Way

Lampiran

Dengan ini saya Aristi Aminna Dian Pradana menyatakan bahwa cerpen berjudul When There Is A Will There Is A Way orisinil dan belum pernah dipublikasikan ke media manapun sebelumnya. Kepada pihak Aneka Yess! mohon mempublikasikan cerpen saya. Terimakasih atas perhatiannya dan kesediaan mempublikasikan cerpen saya.



















Tertanda Aristi Pradana

When There is a Will, There is a Way

 “Gila! Kardigan jelek mirip gombal masak nyokap gue gini aja Rp 300.000,-. Sadis amat yang ngasih harga!” umpat Olin saat melihat-lihat baju di salah satu kawasan perbelanjaan.
“Ehem-ehem!” tiba-tiba terdengar deheman keras dari belakang Olin.
Olin yang lagi naik darah kontan langsung memaki orang tersebut tanpa melihat siapa orang tersebut terlebih dahulu, “Kalau lagi batuk diobatin donk! Jorok tau sampe dahakan gitu!” makinya.
“Jorok ya?” sahut orang tersebut dengan nada tenang.
“Ya iyalah!” protes Olin sebal. Pake nanya!
“Tadi ngatain jelek. Sekarang nagtain jorok. Berani bayar berapa buat bayar denda atas tindakan tidak sopan?” tiba-tiba orang tersebut menantang. Nah lho! Kok orang itu marah-marah Olin ngatain kardigan yang dijual di toko ini jelek.  Jangan-jangan.....
 Olin berbalik perlahan dan berharap semoga feelingnya salah. Namun, ternyata bukan Dewi Fortuna yang menyertainya saat ini. Melainkan Dewi Apes yang menyertainya. Jadilah Olin apes, karena ternyata yang di belakangnya adalah sang pemilik toko!
“Em...e..” Olin geragapan. Bingung  mau berkata apa pada sang pemilik toko tersebut, “Em...ada yang lebih mahal nggak dari ini? Soalnya harga kan biasanya menentukan banget ya kan? Nah ini cuma Rp 300.000,-.  Jadi  ya...kurang okelah! Ada yang 2 juta nggak? Kalau ada saya ambil yang 2 juta itu aja deh, Bu!” Olin beralasan. Semoga dengan berlagak sok kaum borjuis seperti ini dapat menyelamatkan harga dirinya!
Ibu paruh baya dengan dandanan heboh plus menor disana-sini yang ternyata sang pemilik toko itu langsung menatap Olin dari atas sampe bawah―bolak-balik pulak!―dengan tatapan yang mengisyaratkan sejuta arti. Nggak percaya, nggak mungkin, mustahil dan segala bentuk ketidakpercayaan kalau Olin ini tajir.
Dalam hati ibu itu berniat mau mengambilkan saja baju seharga 2 juta. Biar mati nih anak nggak bisa bayar. “Ya sudah tunggu sebentar saya ambilkan bajunya.” kata ibu itu lalu menghilang di balik deretan baju yang berjuntai indah bikin semua orang laper mata.
Tapi Olin ternyata lebih pinter ketimbang ibu-ibu nggak sadar umur itu. Pas si ibu itu masuk ke dalam ngambilin baju, Olin langsung kabur dari toko. Nggak peduli mbak-mbak SPG-nya pada ngeliatin Olin. Yang penting selamet dari rajanya dulu. SPG, urusan belakangan. Orang nggak kenal aja.
Selamat dari badak menor itu, Olin kembali ke misinya beburu baju murah tapi tetap up-to-date untuk acara pensi lusa nanti. Niatnya sih dia mau nggak datang. Tapi nggak ikut pensi akan berakibat mengubah dirinya seakan-akan menjadi manusia purba yang kesasar di tahun 2010. Mengapa? Karena nanti ia akan diberondong cemooh berbunyi, ‘Dari abad berapa sih lo dateng? Masa sampe nggak ikut pensi?’. Sadis kan? Jadi jangan sampe deh ngalamin bencana bernama ’Nggak Ikut Pensi’!
Sudah hampir 3 jam Olin muter-muter di Mangga Dua sampe betisnya udah nggak bisa dibedain lagi sama pemain sepak bola. Tapi, perburuannya belum juga membuahkan hasil. Ya gimana lagi. Olinnya sih yang kelewat kere. Dia nggak mau nabung jauh-jauh hari buat prepare pensi. Alhasil dia cuma mematok budget Rp 30.000,-  untuk mendapatkan satu stel baju lengkap dari atas sampe bawah. Dapet apaan coba. Angkotnya ke sana aja udah makan dana Rp 3000,- ?! Sebenarnya Olin juga sudah tahu segala kemustahilan itu dari awal. Tapi, ia terus berusaha menentramkan pikirannya dan terus memaksa otaknya untuk percaya bahwa keajaiban itu ada. Tapi nyatanya....
 “Ah...270.000! Angka nol di duit gue kurang satu nih. Coba nol di duit gue bisa ditambahin. Jadi deh nih baju gue bawa pulang.” gerutunya dalam verse ke-1. “Halah! Keliatannya aja Diskon 50% plus 15%! Tapi kalau harga awalnya 300.000 juga sama aja nggak kebeli!” itu verse ke-2. “Ha! Ada yang 27.000 nih!” pekiknya girang. Namun beberapa saat kemudian, “Ya ampun ternyata cuma kaos oblong putih doangan. Mana buat cowok pula! Sama juga boong!” itu verse ke-3 nya.
Dan kenyataannya adalah nggak ada keajaiban! Nelangsa banget tuh bocah. Jalan-jalan sendirian, muka juga kelipet-lipet BT gitu. Udah mirip anak ilang. Tapi Olin nggak mau nyerah. Ia tetap berkeliling menelusuri hingga ke sudut-sudutnya. Meneliti setiap baju yang ia temui dengan rumus pengeliminasian. Yaitu mengeliminasi yang harganya nggak kompromi sama kantong, dan mempertimbangkan yang sesuai persyaratan (murah dan up-to-date). Namun perbandingan keduanya hampir sejuta banding seperempat. Alias banyakan yang nggak cocok dari pada yang cocok. Huh! deretan baju ini bener-bener bikin ngeces! Pikir Olin.
Tiba-tiba pikirannya teralihkan oleh sebuah vest yang keren abis. Bahannya jins hitam dengan hiasan manik-manik pink dan abu-abu yang membentuk gambar tengkorak. Pasti di-mix sama kaos stripes-stripes pink putih bagus, pikirnya. GUE MAU YANG INI. Rasanya  Olin ingin teriak. Namun suaranya tertahan oleh rasa kecewa karena harganya mahal. Urgh...!
%%%%%

 “Kalau gue mau pake dress biru gue yang baru itu,” ujar Mita nggak mau kalah dengan Kikan yang katanya pensi nanti mau pake terusan Dolce & Gabbana yang asli dibeliin kakaknya dari Milan.
“Warna dress lo bagus, lho Mit! Biru laut! Kalau terusan D&G gue itu warnanya peach-peach gitu. Trus model kerahnya yang mirip kimono itu keren banget bikin terusan gue keliatan kalau asli branded. Dan untung gue punya tas tangan Fendi warna putih kan match banget sama D&G gue itu,” jelas Kikan panjang lebar dengan penekanan lebih pada setiap kata D&G dan Fendi. Bilang aja mau pamer. Pake embel-embel muji dressnya Mita segala biar nggak keliatan pamer! Batin Olin sengit.
“Lin besok lo mau pake apa?” tanya Mita kepada Olin, hanya sekedar untuk menyiasati Kikan yang sudah siap-siap mau mamerin terusan D&Gnya lagi, supaya mingkem!
“Gue sih yang jelas mau pake baju bukan karung beras.” jawab Olin cuek.
“Ih....Olin! Ngelawak mulu! Serius nih!” desak Mita kepada Olin yang emang jago ngebanyol, “Jadi baju lo ntar gimana? Awas ya kalau jawabnya ngaco lagi!” ancam Mita.
Duh...Mita ngebet banget sih pingin tau baju gue ntar. Baju gue kan jauh gila levelnya sama dia. Bisa ajlok nih karisma gue. Pikir Olin.
Olin memutar otak. Dan kayaknya kabur menjadi satu-satunya jalan keluar saat ini. “Aduh, Mit! Kayaknya perut gue kangen kamar mandi deh! Gue ke kamar mandi dulu, ya! Emergency!” seru Olin bohong dan langsung kabur tanpa menghiraukan 2 teman sekelasnya yang hanya bisa bengong.
%%%%%
Dengan wajah kusut, Olin masuk ke kamarnya dan langsung membanting diri di atas ranjang tempat tidurnya. Tamatlah riwayat gue! Batinnya nelangsa. Udah nangis bombay sampe mata pedes cuma biar Mama luluh mau mengucurkan dana, e...nggak taunya Mama tetep keukeuh nggak mau bagi duit sedikitpun. Sambil menerawang langit-langit kamarnya, Olin masih membayangkan vest yang ia temui kemarin.
“Keren banget!” desahnya pelan dengan wajah mupeng yang kembali kumat. Dari jins item, trus ada manik-manik tengkoraknya. Pasti kalau dipaduin sama kaos garis-garis pink putih yang gue punya cocok. Batinnya lagi. Di sisi lain, Olin menyalahkan dirinya. Kenapa dia tidak menabung dari beberapa minggu yang lalu. Coba dia mau nabung. Nggak perlu repot-repot deh nyari sponsor dana.
Eh...wait! Olin mendadak bangun dari posisi tidurnya. “Kain vest-nya tadi dari jins item. Itu kan  sama kayak baju hamil Mama dulu.” gumamnya. “Aha! Gue punya ide!” pekiknya saat tiba-tiba ada sebuah ide terinstal di otaknya. 
Sedetik kemudian Olin langsung membongkar gudang untuk mencari baju hamil mamanya di tumpukan baju lama. Setelah mendapatkannya, ia segera ke kamar dan bersemedi mencari ilham untuk menyulap baju hamil Mamanya menjadi sebuah vest keren ala Olin. Mau tau gimana cara nyulapnya? Yang jelas nyulapnya bukan dengan cara ala Limbad, atau dengan mantranya Harry Potter. Melainkan dengan menjahitnya. Yup! Olin akan menjahit.
Langkah pertama yang harus Olin lakukan adalah membuat pola. Lewat majalah, ia mengamati bentuk vest untuk lebih detailnya. Lalu ia mengambil salah satu bajunya untuk menjiplak ukuran tubuhnya. Setelah itu barulah ia menggambar pola vest pada selembar kertas besar.
Selesai menggambar, ia menggunting kain jins tersebut dengan mengikuti pola yang telah ia buat. Setelah digunting, kain tersebut dijahit. Ini dia part yang paling sulit. Karena menjahit itu perlu kesabaran. Apalagi menjahitnya secara manual alias nggak pake mesin jahit. Perlu ekstra sabar nih.
“Adow!” jerit Olin saat tak sengaja jarinya tertusuk jarum, “Ah! Belum apa-apa tangan gue udah KO!” gerutunya. Namun bukan Olin namanya kalau stok semangatnya tipis. Dengan semangat full Olin terus berjuang hingga titik keringat penghabisan. Ya...Walaupun ia penjahit amatir, tapi paling nggak dulu pas pelajaran menjahit di SD dia masuk teruslah. Jadi lumayan tahu serba-serbi menjahit.
Berkat  ketidakmalasannya di masa lampau yang nggak pernah absen pelajaran menjahit, dan berkat semboyan ‘Ada niat ada hasil’ yang terus dikobarkannya, akhirnya vest tersebut selesai juga! “Nah...tinggal nambah pernak-pernik deh!” ujarnya girang sambil mengusap keringat di dahinya.
Dengan modal pita, kancing-kancing lucu, dan payet warna-warni, Olin benar-benar berhasil
menyulap baju hamil mamanya menjadi sebuah vest keren yang kalau dipajang di distro sudah bisa disebut sebagai karya designer terkenal.
 Karena baju hamil Mama ternyata gede banget, sehingga masih ada banyak sisa yang bisa dimanfaatkan, Olin kembali memutar otak. Dibikin rok mini aja! Pikirnya. Tak lama kemudian ia kembali berkutat dengan sejoli yang tak dapat dipisahkan. Yakni jarum dan benang.
Ia langsung menggunting jins tersebut sesuai dengan lingkar pinggangnya. Agar roknya tidak terlihat hanya kotak polos begitu saja, ia menambah  aksen rimple pada bagian bawahnya. Sebagai aksesoris Olin  melintangkan pita berglitter pink dan silver di atas rimple agar matching dengan kaos stripes pink-putihnya. Sesaat Olin merasa amazing sendiri. Kok tangannya jadi lincah menjahit gini ya? Apa ini yang disebut keajaiban semangat when there is a will there is a way?
%%%%%
Pensi pun tiba. Terpeta jelas di wajah Olin kepuasan dan kepercayaan diri karena menggunakan baju made in me-nya. Ia yakin bahwa ia tidak akan minder bila nanti bertemu Kikan dengan baju branded-nya ataupun Mita dengan dress anggunnya. Karena ia punya sesuatu yang lebih membanggakan.
Olin nampak manis dengan kaos stripes pink-putihnya, dilapisi vest buatannya, dan rok berrimple yang juga buatannya. Untuk rambut, Olin mengenakan bandana putih. Rambutnya yang sudah dari pabriknya sono curly di bagian bawahnya, kian menambah manis penampilanya malam itu.
Tidak jauh dari tempat Olin berdiri sekarang, terlihat Mita dan Kikan sedang berbincang-bincang. Dilihat dari ekspresi excited Kikan dan ekspresi bosan Mita, Olin sudah bisa menebak bahwa Mita sedang menjadi korban sebagai objek ajang pamernya Kikan. Kasihan Mita. Semoga ia diberi ketabahan ekstra dari yang Maha Kuasa untuk menghadapi spesies macam Kikan. Amin. Batin Olin.
“Hai ,Mit, Kan!” sapa Olin.
“Olin!” Mita nampak surprise melihat Olin, “Baju lo keren lho, Lin!” pujinya langsung.
 “Roknya cute abis...manik-maniknya...perpaduan warnanya semua perfect.” gumam Kikan terpana.
“Thanks! Ini bikin sendiri lho, Kan!” kata Olin semakin PD.
“Oh..eh...!” Kikan yang berprinsip anti muji kelebihan orang lain, langsung geragapan setelah nyadar kalau barusan dia muji Olin. “Nah!Ini lho D&G yang gue ceritain kemarin, Lin!” pamer Kikan.
“Oh itu D&G lo! Kalo ini gue bikin sendiri. Tanpa musti capek-capek ke Milan pula!” Olin balik pamer sekalian nyindir Kikan yang langsung cemberut tersindir sedangkan Mita tersenyum puas. Sukurin!
“Halo...anak-anak!” Miss Raifa guru bahasa Inggris yang charming banget menyapa. “Lho, ini Olin ya? You look so gorgeous...” Miss Raifa nampak takjub juga melihat Olin. Yang dipuji jelas langsung tersanjung mendengarnya, “Thanks Miss. Anyway, ini bikinan sendiri lho, Miss, ” pamer Olin.
“Oh...ya...bagus lho....kalau begitu kamu jadi designer saja. Trus nanti Miss pesen baju ke kamu. Tapi diskon ya?” sanjung Miss Raifa lagi. Olin hanya mengacungkan jempol dan tersenyum girang.
 Tak lama kemudian pandangan Miss Raifa bergulir pada Kikan. Lebih tepatnya pada kerah Kikan yang ada merknya. “Kikan, baju kamu beneran D&G ?” tanya beliau. Dengan semangat Kikan langsung mengagguk dan mengatakan kalau belinya langsung di Milan.
“Kikan, tapi D&G yang asli jahitannya kuat dan nggak gampang lepas,” tutur beliau seraya menarik sehelai benang yang mencuat di pundak Kikan. Kontan aja Kikan langsung keki. Masa D&G yang harganya jutaan jahitannya lepas?
“Dan...sepertinya kamu ketipu, Kan! Bahannya juga beda lho. Seperti ini di Jakarta juga banyak.” ujar Miss Raifa lagi. Dalam hitungan detik muka Kikan langsung merah padam karena malu kebohongannya ketauan. Olin dan Mita senyam-senyum sendiri melihat Kikan ketauan ngibul. 
“Eh, Kan! Itu stand Aksesorisnya udah buka. Ayo ke sana katanya mau beli bandana. Ya udah ya Miss...Mau berburu aksesoris dulu!” cerocos Olin panjang lebar lalu menarik Kikan dan Mita pergi untuk menyelamatkan harga diri Kikan. Fiuh...untung Olin baik hati. Kalau nggak, bisa mewek di tempat tuh si Kikan kemakan malu. Hihihi...

Hai-Hai lagi! Hehe...
Nah, ini cerpen yang usianya juga udah cukup bangkotan. Nih cerpen selesai gue tulis pada tanggal 6 November 2010. Karena berbulan-bulan nggak ada kabar, berarti kesimpulannya nih cerpen resmi ditolak. hehe...
Oya, di cerpen ini kan ada lampiran segala tuh. Itu lampirannya salah. Jangan ditiru ya. Hehe maklum masih pemula.
Jadi, gini ceritanya. Cerpen ini mau gue kirim ke majalah Aneka Yess. Pada tahun itu majalah Aneka Yess mengharuskan para pengirim cerpen untuk mengirimkan cerpennya disertai surat pengantar. Berhubung gue waktu itu belum punya modem dan males ke warnet, jadi waktu itu gue males searching tentang format surat pengantar yang bener itu kayak apa . Jadinya ya udah, gue bikin aja surat pengantar asal-asalan. 
Yaaa... Next time deh. Gue posting contoh surat pengantar tuh kayak apa.
Oke, sekian postingan gue. Thanks sudah mampir yaaah :D

Dramma da Rome (Sandiwara dari Roma)


Cut!” teriakkan Pak Han praktis menghentikan jalannya geladi resik. “Vea, kemari sebentar!” Beliau mengedikkan dagu pada sosok gadis manis yang didaulat memerankan tokoh Putri Isolde.
Pak Han menaikkan kaca matanya yang melorot sebelum berbicara pada gadis manis penyandang nama Vea yang kini telah berdiri di depannya itu. Sepasang manik hitam mata nya yang kental akan ketegasan menulusuri wajah Vea sesaat. Membuat anak didiknya itu harus menetralkan degup jantungnya yang bertalu-talu karena mengira akan menerima hembusan lahar kemarahan.
 “Tatapan matamu ke Pangeran Tristan harusnya memuja karena Tristanlah cinta Isolde,” tukas Pak Han, “Sedangkan ke Raja Marke harusnya biasa saja. Tapi kenapa kamu malah membaliknya?!”
“Maaf, Pak. Saya akan berusaha lagi.” Vea menunduk, galau. Ia belum bisa mengekspresikan jatuh cinta pada sosok Pangeran Tristan yang diperankan Ryd karena ia membenci Ryd. Ia juga belum bisa mengekspresikan rasa benci pada sosok Raja Marke yang diperankan Tristan karena ia mencintai Tristan. Ia tahu ia harus profesional. Tapi, prahara yang membalur ketiganya amat sukar diusir sejenak demi totalitas akting. Ia masih memainkan hatinya di kehidupan nyata. Lagipula mengapa Pak Han tidak memilih Tristan yang memerankan Pangeran Tristan? Nama keduanya saja sudah ditakdirkan sama.
*
Berbutir-butir bintang yang tersemai di langit Roma kian meleburkan romantisme drama Tristan dan Isolde. Teater outdoor yang digelar di halaman Universitas La Sapienza ini cukup berhasil mengumpulkan para pemuda Indonesia yang menempa ilmu di Roma, serta para WNI yang tinggal di sana. Pertunjukkan ini memang untuk ajang kumpul orang Indonesia.

Sembari menunggu gilirannya tampil, Vea sibuk melakukan re-reading dengan orang yang paling ia benci. Ryd. Perannya sebagai Isolde menuntutnya banyak menghabiskan waktu dengan Ryd.
Seharusnya Tristan pemeran Pangeran Tristan. Karena ia murni memiliki bakat akting. Sedangkan Ryd, ia hanya modal tampang dan uang sogokan! Hatinya menggerutu masih tak terima.
“Seneng ya bisa ngalahin abang sendiri?” ia mencoba sedikit renyah.
Ryd menyeringai, “Tristan? Ya, abang tiriku itu memang jago akting. Tapi akhirnya aku pemeran utamanya kan? Dan dia hanya peran kedua.”
Well, Kamu hebat. Selama ini gak ada anak teater yang bisa nyaingin bakat alami Tristan. Kalaupun ada pasti nyogok. Haha...najis banget!” sindirnya.
Ryd berpura-pura mengumbar tawa menganggap hal itu bodoh. Padahal di hatinya rasa malu jelas terpapar. Vea tahu tabiat Ryd yang satu ini dan dalam hati ia menertawakannya. Itu sangat menyenangkan. Seperti berhasil melucuti topeng bidadari milik si buruk rupa yang mengaku secantik bidadari.
Tak lama kemudian, sosok Tristan turun dari panggung. Vea pun buru-buru mengejarnya dan  tak lupa mengatakan alasan klise kepada Ryd sebelum melenggang pergi, “Aku mau ke toilet!”
*
Tristan berdiri di jembatan kuno yang melengkung di atas kanal kecil tak jauh dari area teater. Pandangannya begitu serius menjurus pada riak sungai yang memantulkan sepotong bulan sabit.
Vea meredam bunyi langkah stilettonya agar Tristan tak pergi bila tahu ia datang.
“Mau apa ke sini?” Deg! Belum ada 5m ia mendekat, Tristan sudah menegurnya.
Sedikit kendur niatnya, tapi ia tetap memberanikan diri. “Boleh ngobrol sebentar? Kita udah lama gak ngobrol.”
“Habis ini adeganku,” tukas Tristan tanpa menaruh pandangan sedikit pun padanya dan buru-buru bertolak pergi.
Namun, ia segera menangkap tangan Tristan, menghalanginya pergi. “Gak baca script ya? Masih ada 2 scene lagi baru adeganmu.”
Tristan melepaskan gamitan lembut Vea yang membungkus lengannya. “Sori, aku mau ke toilet!”
Alasan basi! Batin Vea geram. “Gak! Kamu gak mau ke toilet. Aku tahu itu karena aku juga sering pakai alasan itu!” Ia mencegat langkah Tristan dan berdiri di hadapannya, “Aku punya hak untuk memilih, Tristan! Dan aku milih kamu!”
Tristan masih tak menatapnya sama sekali. Sikapnya begitu dingin sekarang. “Aku juga punya hak untuk menolak!”
“Atas dasar apa kamu menolak? Karena balas budi kepada ayah angkatmu? Karena ia telah berjasa kepada keluargamu dan kamu harus balas budi kepadanya dengan menyerahkan aku ke adik tirimu, Ryd?” Vea terengah-engah mengatakannya. Dadanya sampai naik turun terbawa emosi. “Kamu pikir aku bola yang bisa dioper-oper? Kamu gak mikir bola itu kesakitan ditendang-tendang?! Kamu gak gentle! Kamu gak ngehargain aku sebagai manusia! Kamu cuma mikirin dirimu sendiri dan nganggep aku barang barter!”
“Tristan, Vea! Ada instruksi sebentar!”
Suara itu memaksa Vea menahan kegeramannya yang kian menjadi karena suara itu menyebabkan Tristan pergi secara legal. Tristan terselamatkan oleh Pak Han!
Vea mendesah. “Kenapa kamu membuat cerita kita seperti kisah Tristan dan Isolde, Tristan?”
*
Tristan dan Isolde adalah legenda dari daratan Eropa pada jaman medievale1. Kisah ini mengisahkan cinta segitiga dimana Tristan harus menyerahkan gadis pujaannya, Isolde, kepada ayah angkatnya, Raja Marke. Pada akhirnya Isolde memang menikah dengan Raja Marke, namun diam-diam ia menjalin hubungan terlarang dengan Tristan.
Dan versi Tristan-Vea-Ryd pun memiliki kisah yang tak jauh beda. Tristan harus menyerahkan gadis pujaannya, Vea, kepada saudara tirinya, Ryd. Tapi bedanya, Vea dan Tristan tidak menjalin hubungan gelap walaupun menurut presepsi orang mereka memiliki hubungan spesial...
*
Didukung Backdrop2 taman, dan follow spot3 yang sempurna, adegan romantis Tristan dan Isolde sukses menghanyutkan penonton ke dalam ke-kartasis4-an.
Pangeran Tristan membelai sayang rambut Isolde. Malam ini akting Ryd sangat natural. Pandangan penuh kasihnya menghujan deras di matanya. Entahlah mungkin ia melibatkan perasaan pribadinya yang memang mengincar Vea. Sebaliknya, Vea melakukan semua adegan ini hanya atas dasar profesionalisme. Tidak lebih. Titik.
Di balik layar, diam-diam sosok Tristan selalu membidik setiap adegan yang dimainkan Vea. Hatinya kian retak tatkala adegan Pangeran Tristan mendaratkan kecupan di dahi Isolde. Sudah cukup sepanjang adegan tangan Vea diremat Ryd. Hatinya bak digurat lidah api cemburu. Tapi ia harus mulai membiasakan diri. Karena Ryd akan menuangkan semua adegan ini ke dalam alur nyata kehidupan kelak bila ia melepas gadisnya.
Tristan tak ingin melepas Vea. Tapi Ryd harus mendapatkan Vea. Ia terdiam. Abstain. Ia biarkan hatinya menelan ketidakpastian.
*
Gemuruh di dada Tristan kian meraja. Inilah saatnya ia sepanggung dengan Vea. adegan Raja Marke dengan Isolde akhirnya tiba. Itu sebabnya ia begitu gugup berakting. Ia belum siap menatap Vea. apalagi di scene ini ada adegan Raja Marke menyatakan cintanya pada Isolde, yang berarti ia menyatakan cinta pada Vea....
Di scene ini dikisahkan di acara makan malam, dusta Isolde terkuak karena saat Raja Marke menyatakan cintanya, Isolde tak sengaja malah menyebut nama Tristan bukan nama Raja Marke.
Sementara Vea, ia mengebalkan telinganya agar saat untaian kata cinta Tristan mengalun begitu merdu di lorong telinganya, ia tak melambung karena itu hanya dialog. Bukan kenyataan. Ia juga berusaha memingit hatinya di lingkup sandiwara. Aku adalah putri Isolde...batinnya.
Atmosfer canggung mulai membungkus. Mereka duduk berhadapan terpisahkan meja makan bergaya Baroque5.
“Isolde.” Diraihnya jemari lentik Vea yang terkulai anggun di sisi meja.  Ia menelan ludah susah payah. Inilah saatnya. Aku adalah Raja Marke... Bisiknya menstimulus diri.
 “Isolde, kau adalah ratuku...wanitaku...penghuni hatiku...pemilik cintaku,” desahnya mengungkapkan perasan Raja Marke yang sebenarnya selama ini juga sangat ingin ia ungkapkan. “Isolde, apakah aku juga pemilik cintamu?” Raja Marke menatap Isolde, menunggu jawaban.
Vea membeku. Akting Tristan yang menawan memburaikan pertahanannya. Ia terbuai dialog sakti Tristan dan melupakan kata pertama dalam kalimat itu.
“Vea,” Tristan mengguncang pelan tangan Vea, menyadarkan.
Vea terhenyak. Lalu lamat-lamat ia mengucapkan dialognya, “Aku...sangat mencintaimu...Tristan.” Vea menatap Tristan. Begitu dalam. Tristan dapat membaca tatapan mata Vea yang menegaskan bila Tristan yang Vea maksud bukanlah Tristan-nya Isolde. Melainkan ia. Hatinya remuk. Vea mencintainya begitu tulus. Tapi, ia harus melepasnya.
Di atas panggung, batin mereka saling terkoneksi. Tak ada yang tahu apa yang sedang terjadi di atas panggung sebenarnya. Ini bukan kisah Tristan & Isolde. Tapi Tristan & Vea.
“Raja Marke marah!” tiba-tiba Pak Han berbisik dari balik tirai, mengingatkan.
Tristan sedikit geragapan dan segera ingat dialognya. “Isolde, apa yang kau katakan?”
“Em...m-maksudku, aku mulai mencintai Tristan sebagai anakku, Raja.”
“Bohong! Kalian berhubungan di belakangku!” tuding Raja.
Kini, panggung yang sesungguhnya telah kembali. Raja Marke yang sedang murka kepada Isolde-lah yang ada di atas panggung.
“Pengawal, panggil Tristan!”
Ryd naik ke atas panggung sebagai Pangeran Tristan dan langsung meluncur bersujud di kaki Raja. “A-aku...mengaku bersalah. Ampuni aku, Ayah!” pintanya.
 “Aku bukan ayahmu! Kau hanya anak angkat!” bentak Raja. Bug! Tanpa belas kasih, Raja menendangnya. “Dasar anak hina!”
Pangeran terisak dan merangkak kembali meminta ampun, “Ayah, ampuni anak angkatmu yang hin―”
 “KAU BUKAN LAGI PANGERAN KERAJAAN CORNWALL! MENJIJIKAN! ANAK ANGKAT TAK TAHU DIRI! KAU TAK LAYAK HIDUP!” Bug! Lagi, Raja menendangnya  seperti menyingkirkan kucing kotor dari kakinya.
Ryd berakting terjerembab. Sedetik kemudian ia bangkit dari jatuhnya. Namun, ada yang ganjil di air mukanya. Seperti ekspresi marah dan tidak terima.
“DASAR ANAK ANGKAT ! KAU SAMPAH!”
“CUKUP!” Ryd tiba-tiba memotong dialog Tristan. Ada apa dengannya?
Bug! Tiba-tiba Ryd menghunuskan tinju di ulu hati Tristan. “Kau yang tak tahu diri, kau yang sampah, bodoh! Ayahku telah menyisihkan uang untuk pengemis sepertimu hingga kau bisa kuliah di Roma! Dan sekarang kau berniat mengambil Vea? Hah?! ”desis Ryd. Ini tak ada di script! Ryd tersulut emosi. Ia tak terima dikatai menjijikan, sampah, dan sebagainya karena menurutnya yang patut dipredikati kata itu adalah Tristan, si anak angkat.
“Ryd! Akting!” Tristan mengingatkan Ryd. Namun Ryd makin beringas. Semua orang tercengang. Para pemain yang ada di atas panggung bingung harus berbuat apa.
“Hei! Apa mereka masih berakting? Orang itu benar-benar berdarah!” pekik salah seorang penonton. Sial! Para penonton yang tadinya mengira itu bagian akting mulai cemas saat bibir Tristan sobek dan berdarah terkena tinju Ryd.
“Bodoh! Apa maksud Ryd?!” di balik layar, Pak Han khawatir. Ini bukan plotnya!
Mengerti drama ini di ujung tanduk, Vea segera ambil bagian walau ini bukan gilirannya. “Stop!” Ia menarik Ryd. “Tristan, ia ayahmu. Kau bukan pendendam! Jangan lakukan itu!” Ia memisahkan keduanya dengan topeng Isolde.
Ryd menatap Vea, bingung. Yang diucapkan Vea tak ada di script. Ia tak tahu Vea berimprovisasi. Ilmu aktingnya terlalu dangkal.
Alih-alih kasihan pada Tristan, Vea berpura-pura membatu Raja Marke. “Raja, Biar kubantu berdiri,” Isolde hendak mendirikan Raja. Tapi tanpa kasihan Raja malah mendorong Isolde hingga tersungkur.
“Aku terlalu suci kau sentuh!” bentak Raja tak begitu jelas dengan bibir berdarah-darah. Tristan menahan nyeri.
“Raja...maafkan kami!” Isolde kembali mengemis.
“Untuk apa memaafkan perempuan jalang sepertimu!” Sama seperti memperlakukan Pangeran Tristan, Raja juga menendang Isolde.
“Raja....” Isolde menghambur kembali bersujud di kaki raja dengan lelehan air mata.
Drama kembali berjalan normal. Bahkan lebih apik. Beberapa adegan yang hilang karena insiden Ryd, tak disadari penonton. Para penonton bahkan tak rela berkedip demi menontonnya. Di balik tirai, Pak Han tersenyum penuh rasa bangga terhadap pemainnya yang dapat melakukan improvisasi.
Sementara Ryd, ia menyadari bahwa bakat akting tak bisa dibeli. Ia malu kepada kakak tirinya, Tristan. Perlahan, ia ikut dalam improvisasi. Ia mau bersimpuh di kaki Tristan untuk akting dan... untuk semua tindakkannya kepada Tristan.
“Maafkan aku...,” mohon Ryd. “Tristan,” tambahnya lirih.
Tristan mendengar bukan nama Raja Marke yang disebut Ryd, melainkan namanya. Ia tersenyum samar kepada adik tirinya di balik akting penuh kemarahan yang sedang dilakoninya.
*
Cosa desidera da ordine?6 Pelayan itu menyuguhkan menu.
Prendero questo7,” Vea menunjuk gelato rasa fichi di kertas menu.
Si pelayan mencatat pesanan Vea lalu berganti menyodorkan kertas menu pada Tristan.
Stesso8.” Tristan menolak kertas menu itu. Lantas, si pelayan mengangguk dan segera hilang di keramaian kafe kecil di sudut kota Roma itu.
Disinilah, Tristan mengajak Vea untuk bertemu setelah sekian lama ia menarik diri begitu jauh dari Vea. Ia ingin menunjukkan sikap jantan. Ia ingin meminta maaf. Tapi ternyata itu tak semudah kelihatannya. Beberapa menit suasana kikuk menguasai mereka. Mereka hanya melakukan gerakan-gerakan tidak penting seperti garuk-garuk kepala dan mengubah posisi duduk, menandakan bila mereka salah tingkah.
Hanya agar ada sesuatu yang bisa dikerjakan, Tristan berinisiatif hendak mengeruk beberapa sendok gula dari cangkir gula di tengah meja untuk coffe late-nya. Tapi tak disangka, ternyata Vea memiliki ide yang sama. Akhirnya kedua tangan mereka bertemu di gagang sendok gula kuno bergambar Marcopolo itu. Keadaan pun menjadi semakin kikuk.
“Maaf,” Vea mengalah dan menarik tangannya. Namun, Tristan segera menariknya lagi. Takkan dibiarkannya Vea hilang dari genggamannya, lagi.
“Aku yang minta maaf,” tuturnya kalem. “Kamu sudah terlalu banyak mengalah.” didorongnya cangkir gula itu pada Vea.
Vea tercenung sejenak. Lekas, ia menngangsurkan gula ke dalam coffe lattenya sebanyak dua sendok.  Namun, di sendokkan kedua riak wajahnya berubah seperti terkejut dan ia menunda menakarkan gula itu ke dalam lautan coffe latte. Ia tertarik pada gundukkan gula di sendok itu. Sepertinya gundukkan gula itu mengubur sesuatu.
“Punya siapa ya?” Vea menemukan selingkar cincin terkubur di dalamnya. Diamatinya cincin itu. Ia tertawa kecil saat mengetahui hiasan cincin itu ternyata berbentuk televisi. Unik. Pikirnya.
“Televisi dilambangkan huruf T & V yang berarti Tristan dan Vea,” jelas Tristan tenang. Dikeluarkannya sebuah cincin yang sama persis dari sakunya.
Riak mata bening Vea seketika terperangah dibuatnya. “K-kamu...”
“Aku minta maaf, karena telah mencampakkanmu dan karena....terlalu lama memutuskan bertunangan.”
T-t-tristan....melamarnya? Benarkah? Speachless, Vea hanya bisa tertawa renyah dibarengi kilatan-kilatan air mata yang tanpa seizinnya menutupi kebeningan matanya.
Tristan tersenyum teduh dan mengeluarkan sehelai sapu tangan wanginya, “Dasar cewek! Aku udah siapin ini!” disodorkannya sapu tangan itu.
Lagi. Vea dibuatnya tak bisa berujar apa-apa. Di ujung sapu tangan itu terdapat jahitan huruf yang sangat tidak rapi yang membuktikan bahwa si penjahit itu adalah Tristan sendiri. Dan jahitan itu bertuliskan Ti amo9...
Ti amo troppo10, Tristan....”

Oleh. Aristi Pradana
Glosarium


1)        Abad pertengahan
2)        Latar belakang
3)        Lampu spot yang dapat mengikuti arah gerak pemain
4)        Pencucian jiwa
5)        Gaya interior abad ke-16 bernuansa klasik
6)        Mau pesan apa?
7)        Saya pilih yang ini
8)        Sama
9)        Aku mencintaimu
10)    Aku juga mencintaimu (Italia)



Hai-hai, ya itu tadi cerpen gue yang ditolak redaksi. Cerpen ini dulu mau gue kirim ke majalah Story. Nih cerpen gue tulis bulan Maret 2011. Di cerpen ini gue belum ngerti bahwa pentingnya sebuah cerpen itu adalah bagaimana membuat cerpen itu terasa "bernyawa". Di cerpen ini gue cuma berusaha tampil bagus dengan senjata "diksi". Padahal untuk nyiptain cerpen bagus itu nggak perlu diksi tingkat tinggi. Dengan diksi minimalis pun sebuah cerita juga bakalan jalan dan berasa apik. Kayak novel-novelnya Mbak Orizuka. Menurut gue novel beliau terasa apik justru karena diksinya yang minimalis. 
Ya udah deh, itu tadi persembahan cerpen dari gue. Thanks udah mampir baca-baca ya :D

NB: O ya, nih cerpen sama sekali nggak mengalami perbaikin. Cerpen ini keadaannya bener-bener sama kayak ketika nih cerpen gue kirim ke majalah.