Jumat, 31 Agustus 2012

Resensi Novel : Smash by Nonier


Novel Teenlit Smash By. Nonier
Smash di sini bukan smash boy band itu lho ya, hehe. Smash di sini adalah judul novel karya Mbak Nonier. Novel lama sih. Terbit tahun 2008nan. Tapi aku udah baca berulang-ulang dan nggak bosen. Recomended banget deh buat temen-temen yang butuh bacaan segar di kala suntuk.
Sebenernya inti ceritanya bisa dibilang cerita basi. Ceritanya si Aryo—cowok cakep tapi play boy—suka sama si Rayana—cewek baek-baek, nggak terkenal, nggak cantik, kutu buku. Bisa dibilang cerita basi, kan? (Maaf Mbak Nonier, jujur nih)
Tapi cara penyampaian ceritanya ini tuh bagus banget. Ada tokoh sempalan namanya Mas Ardi yang merupakan kakaknya si Aryo, yang dijodohin sama Rayana. Nah lho, konfliknya di sini nih. Cerita yang tadinya sekedar cowok populer suka sama cewek kutu buku, jadi berubah. Masa iya adek sendiri ngerebut calon istri abangnya?
Awalnya si Aryo ngedeketin Rayana bukan karena bener-bener suka. Tapi karena mau ngetes kesucian cinta-halah!-Rayana ke kakaknya, yaitu Mas Ardi. Aryo ngerasa nggak terima masnya yang seorang pemuda excellent dengan embel-embel pengusaha muda sukses itu cuma dijodohin sama Rayana yang anak kelas 3 SMA dan punya tampang biasa-biasa ajah.
Aryo ngetes Rayana dengan cara ngedeketin tuh cewek, dan Aryo nyembunyiin identitasnya sebagai adiknya Mas Ardi dari Rayana. Nah, biasanya Aryo yang punya predikat play boy  itu pinter banget naklukin cewek. Makanya Aryo udah yakin banget kalau paling-paling Rayana ini nggak tulus cintanya sama Mas Ardi. Sekali digodain, udah lupa tuh Rayana sama Mas Ardi. Gitu pikirnya Aryo.
Eh tapi punya tapi, ternyata pikirannya Aryo salah. Rayana ini susah banget digodain. Udah digombalin, dideketin, pokoknya Aryo udah maju terus pantang mundur deh. Tapi ternyata Rayana susah banget digodain.
Nah, nyawanya nih novel tuh terletak di cara-cara si Aryo deketin Rayana. Karakter Aryo itu gokil. Cara Mbak Nonier menggambarkannya pun sangat kreatif. Karakter gokil Aryo itu bener-bener hidup dari polah tingkahnya yang diciptakan Mbak Nonier. Suka ngeceng, pas jalan sama pacar mata tetep jelalatan, suka nyari gratisan makanan, narsis, pokoknya gokil banget karakter si Aryo. Bikin aroma novel ini terasa super kocak, tapi tetep drama. Dari depan sampe belakang isinya ngakak terus. Bener-bener obat manjur deh buat ngilangin suntuk.
Trus, kelebihan novel ini selain dari karakter dan alur, juga dari setingnya. Jojga mbak bro, mas bro! Ini yang menurutku paling menambah poin plus. Biasanya novel teenlit suka ambil setting Jakarta. Rasanya Jakarta udah kayak kiblatnya anak muda aja. Tapi di sini Mbak Nonier menghadirkan setting Jogja. Mbak Nonier mengenalkan kita tentang sudut-sudut kota Jojga yang ternyata juga seru. Ada Sate Samirono, Monjali, Malioboro, mana lagi seeeh lupa, hehe.
Selain itu, cerita ini juga diikuti beberapa pemikiran mendalam. ‘Aryo yang ketika bersama Rayana tanpa sadar ternyata bisa merasa menjadi dirinya sendiri, nggak perlu bertopeng sok perfect kayak kalo dia lagi ada di depan pacar-pacarnya yang lain’. Itu salah satu pemikiran mendalam buat aku. Dan ada banyak lagi pemikiran-pemikiran yang cukup berbobot di novel ini. Salut deh buat Mbak Nonier. Bisa menuangkan pemikiran-pemikiran itu dalam sebuah cerita dengan bingkai komedi yang gokil abis. Jadinya novel ini nggak cuma berasa kayak novel peng-refresh otak alias novel hiburan doang. Tapi nih novel juga cukup bisa mengolah opini pembaca [Atau akunya aja yang doyan komentar ya, jadinya punya banyak opini (“_ _) hehe…]
Yah, pokoknya buat kalian yang merindukan novel-novel teenlit berbobot Novel satu ini bisa jadi alternatif pilihan kalian. Nggak mengecewakan kok. Kalian bakalan kayak nonton FTV yang settingnya di Jogja gitu. Rasanya kayak kembali ke Jawa, penuh kultur dan keramah tamahan orang-orang Jawa.

Rate : 5 bintang ^_^

NB : Adegan terfaforit

“Aku setel musik, ya!” kata Aryo untuk mengubah suasana kaku di antara mereka. Dipencetnya tombol MP3 player di mobil.
Aduh mak! Lagu campur sari Didi Kempot langsung memenuhi udara. Rayana menoleh kaget, nggak nyangka selera Aryo ternyata campur sari.
“Ini punya Eyang Sarwondo. Beliau penggemar berat Didi Kempot. Asli! Bukan aku kok!” Wajah Aryo memerah.
Rayana tersenyum. Habis si Aryo ngarang. Bilangnya dia nggak suka Didi Kempot, tapi kepalanya manggut-manggut ngikutin irama musik, sambil menggumamkan liriknya pula.
“Hahaha…!” Rayana akhirnya tertawa saat Aryo kelepasan nyanyiin reff-nya lebih dulu sebelum Didi Kempot.
Aryo tersenyum. Duh, senangnya melihat Rayana yang seperti ini.

Minggu, 05 Agustus 2012

Cerpen : Sh*t!


Sh*t!

Kau cantik, cerdas, serta memiliki sederet antrian berisi laki-laki yang ingin mengajakmu berkenalan. Sayangnya dari sederet laki-laki itu hanya satu yang kau pilih. Aku. Dan ketika kau memilihku aku merasa menjadi laki-laki paling beruntung.
Kau juga mudah bergaul, komunikatif, serta memiliki banyak teman. Sayangnya dari semua temanmu itu kebanyakan adalah laki-laki. Dan kebanyakan juga sudah kau ajak kencan. Entah di kafe, bioskop, mall, atau tempat-tempat lain, tidak peduli statusmu masih menjadi milikku.
“Ah… sh*t!
Untuk kesekian kalinya aku hampir meninju kaca mobilku. Aku marah kenapa kaca mobilku terlalu bening sehingga aku bisa melihat jelas kau di seberang sana sedang bergelayut manja di lengan laki-laki lain. Sialan! Apa maksudmu melakukan semua itu, ha?
Aku sudah hampir keluar mobil untuk menghampiri kalian, dan meninju hidung laki-laki itu. Tapi mendadak akal sehatku melarang. Aku bisa menjadi tontonan memalukan melakukan tindak anarki di muka umum seperti itu. Lalu kupilih untuk meneleponmu saja.
“Lagi di mana?” tanyaku begitu telepon kau angkat. Kedua mataku terus menatap lekat pada sosokmu yang kini duduk berhadapan bersama laki-laki itu di sebuah kafe indoor.
“Lagi di rumah. Ada apa?” jawabmu.
Bullshit! makiku dalam hati. Jelas-jelas kau sedang berkencan dengan laki-laki itu.
“Oh… di rumah. Lagi ngopi-ngopi ya? Kayaknya enak banget deh acara ngopinya. Apalagi ditemenin sama temen kamu itu,” sindirku. Aku melihat perubahan ekspresi dari tenang menjadi tegang di wajah ayumu. Mau apa kau sekarang!?
“Aduh… kamu ngomong apa sih, sayang? Aku di rumah kok,” jawabmu dengan suara lirih seperti ketakutan. Bukannya orang yang rajin berbohong seharusnya semakin cerdik berbohong? Tapi kenapa kemampuan berbohongmu semakin payah saja? Atau justru aku yang semakin peka terhadap sifat pembohongmu?
“Apa buktinya kalau kamu di rumah? Kalau aku ke rumah kamu sekarang apa kamu ada di rumah?” tuntutku.
Kau diam beberapa detik. Oke, kubiarkan kau mengarang alasan sejenak.
“Sayang, kenapa nelponnya marah-marah terus sih? Sebenernya mau kamu apa?” tanyamu mengulur waktu.
“Mau aku? Aku mau kamu tinggalin cowok itu dan masuk ke mobilku sekarang!”
Deg! Aku bisa merasakan jantungmu yang mendadak berhenti ketika mendengar tuntutanku. Wajahmu berubah pucat pasi diserang panik. Kau menoleh ragu ke sana kemari. Hingga akhirnya pandanganmu berhenti tepat pada mobilku di seberang kafe.
“Ha! Udah nemuin mobilku, kan? Sekarang cepet tinggalin cowok itu dan masuk ke mobilku!” perintahku kasar.
Aku mendengar kau mengembuskan napas berat di saluran telepon. Ekspresi ketakutanmu terlihat jelas mewarnai wajah ayumu. Kemudian, di seberang sana kau mulai bergerak mengatakan berbagai kalimat pamitan pada laki-laki itu. Melihatnya aku merasa semakin ingin marah. Kenapa harus berpamitan segala? Kenapa tidak langsung berlari meninggalkan laki-laki itu saja?
Tok… tok… tok…
Kau sudah berdiri di sisi mobilku dan mengetuk kaca jendelanya. Kubukakan pintu mobil dari dalam untukmu. Lalu dengan tegang kau duduk di sebelahku.
“Aku anterin kamu pulang!” ucapku tegas dan langsung menggas mobilku dalam kecepatan gila-gilaan.
Kau yang sudah hapal ekspresi marahku—saking seringnya aku marah karena kau sering membuatku marah—hanya diam di tempat tanpa berani mengucapkan apa-apa.
Mobil kemudian berhenti di sebuah apartemen kecil di pinggiran kota. Dan babak kedua pun dimulai di dalam apartemen itu.
“Aku cuma temenan sama dia,” kau berusaha membela diri.
“Temenan?” Sebelah alisku terangkat tinggi dan aku menatapmu tajam. “Kalau cuma temenan kenapa pake rangkulan-rangkulan segala? Temen atau TTM?”
Kau tidak bisa menjawab. Kau menunduk dan mengembuskan napas berat. “Sebenernya sejak kapan sih kamu buntutin aku terus?”
“Sejak kamu doyan kluyuran sama banyak laki-laki!” tegasku langsung. Lagi-lagi kau tidak bisa menyerang balik tuntutanku. “Sebenernya apa yang belum aku kasih ke kamu sih? Aku selama ini udah sabar banget ngadepin kamu, Sel! Kamu harusnya tau dong!” bentakku .
Kau terus menunduk. Sepertinya kau mulai ketakutan. Bahkan kali ini aku mulai mendengar isak tangismu. Oh, oke. Fine. Menangis? Jangan harap aku bisa luluh dengan senjata yang selalu kaugunakan itu. Aku sudah kebal!
“Dani,” kau memanggil lirih. “Aku… aku tau aku salah—”
“Ya! Emang harusnya kamu tau kamu salah! Dan kamu—”
“Dani, please, dengerin aku dulu!” Kau memotong keras ucapanku.
Oke, aku akan mendengarkanmu. Aku memilih diam dan masih berdiri tanpa sudi duduk di sampingmu.
“Dani, aku cuma ngerasa bosen sama hubungan kita. Tapi selebihnya aku masih sayang sama kamu,” ucapmu.
“Bosen? Kamu bilang bosen?” Aku menatap tidak percaya. “Emangnya apa yang belum kamu dapetin dari aku? Aku kurang apa, Sel? Perhatian? Aku selalu antar jemput kamu, SMS, telepon, aku juga nggak pernah absen nengok ibu kamu di rumah sakit. Apa perhatianku masih kurang, ha?”
Aku semakin hilang kendali. Pikiranku benar-benar kacau. Sebenarnya kalau mau main hitung-hitungan, sudah banyak sekali hal yang kulakukan untukmu. Pada awal-awal kau membeli apartemen sederhana ini, aku yang membiayai listrik dan hampir seluruh biaya hidupmu. Lalu saat kau baru saja dipecat dari pekerjaanmu karena dituduh selingkuh dengan suami bos, aku juga yang mencarikan pekerjaan. Belum lagi hal-hal sepele yang sebenarnya bisa saja kugunakan untuk menyudutkanmu.
“Sel,” panggilku lirih. Sesaat aku menghela napas, berusaha meredam emosi. Sementara itu pikiranku melayang jauh. Merenung memikirkan jalan terbaik untuk kita. Dan akhirnya pemikiranku berhenti pada satu kata. Putus.
“Sel, mendingan kita selesai ajalah,” ucapku dengan nada jenuh.
Kau langsung mendongak menatapku. Terlihat jelas kilau-kilau air mata sudah membasahi pipimu. Aku memilih diam. Kau pun juga begitu. Beberapa detik kita habiskan hanya untuk diam. Lalu tiba-tiba kau terisak semakin keras. Kau menutup mulut dan menangis tersedu-sedu hingga bahumu terkoyak hebat.
“Dani, please jangan minta hubungan ini berakhir…” ucapmu parau di sela isak tangis. “Please, Dani. Tolong… jangan minta hubungan ini berakhir. Beri aku kesempatan satu kali lagi, Dani. Dan aku nggak akan ngecewain kamu. Please, Dani, please…”
Kau terus merengek memohon-mohon di hadapanku. Kedua matamu tampak bersungguh-sungguh. Gurat nelangsamu terlihat jelas di wajah ayumu. Dan tiba-tiba, aku merasa tidak tega. Parahnya lagi, aku merasa sudah salah membuat keputusan. Memutuskan hubungan kita? Apa itu pilihan yang benar? Aku mulai ragu.
Argh… Sial! Kenapa wanita selalu menggunakan senjata menangisnya untuk menggoyahkan pendirian laki-laki?!
“Dani, aku cuma ngerasa bosen sama hubungan kita. Tapi selebihnya aku masih sayang sama kamu. Please, Dan, jangan tinggalin aku.” Kau menarik tanganku agar aku duduk di sampingmu. Dan bodohnya tubuhku seperti luruh begitu saja.
Tangismu semakin menjadi. Suaramu pun terdengar kecil seperti anak kucing yang kedinginan di tengah hujan.
Aku menggertakkan rahangku kuat-kuat, berusaha mengokohkan pendirianku. Kulepaskan genggamanmu di tanganku dan mulai berkata tegas. “Sel, aku udah capek sama hubungan kita. Aku rasa kamu juga udah nggak suka sama hubungan ini, kan?”
“Nggak! Dani, please… tolong…!” Kau buru-buru menangkup tanganku kembali dan menggenggamnya lebih erat.
Mendadak rongga dadaku terasa sesak. Aku semakin sulit membuat keputusan. Isak tangismu seperti mampu menggerogoti pendirianku. Aku memejamkan mata sesaat dan mengembuskan napas panjang. Lalu perlahan aku menoleh menatapmu. Dan… ah… sial! Melihatmu membuatku semakin tidak tega. Bahkan justru semakin sayang padamu. Bayang-bayang ketika kau bergelayut manja di lengan laki-laki lain sama sekali tidak terlintas di benakku. Dengan mudah hatiku seperti telah memaafkan semua kesalahanmu.
“Dani, aku… aku minta maaf. Aku tau aku salah. Aku minta maaf… Aku minta maaf… Maaf… Maaf…” Kau berkata susah payah di sela isak tangismu.
Aku masih terdiam. Maaf. Kata itu sudah sering sekali kauucapkan. Barusan saja kau sudah mengucapkan lima kali kata maaf. Berarti selama ini kau sudah ratusan kali mengucapkan kata itu.
“Dani, kamu nggak akan ninggalin aku, kan? Iya, kan, Dan?” rengekmu memelas. “Tolong, Dani. Aku masih sayang kamu, Dan. Aku janji nggak akan ngulangin semua ini lagi. Please, Dan… tolong. Aku janji… aku janji…”
Janji. Kata itu juga sudah sering sekali kauucapkan. Ah… bagaimana ini? Aku memejamkan mata kuat-kuat. Logikaku berkata tidak. Tapi hatiku berkata iya. Namun pada kenyataannya, aku selalu kausakiti bila aku harus menuruti kata hatiku.
Perlahan aku membuka mata dan kembali menoleh memperhatikanmu. Kau masih menunduk menangis dengan kedua tangan yang menangkup erat tanganku. Aku bisa merasakan jemarimu basah karena kau terus menyeka air matamu.
Lalu tanpa pikir panjang, satu tanganku bergerak dengan sendirinya menghapus air mata di pipimu. Rasanya melegakan sekali bisa menghapus tangismu.
Please, Dani…” ucapmu lirih.
Aku menghela napas berat dan menyandarkan kepalamu di bahuku. Sekali lagi aku memejamkan mata. Dan sekali lagi aku mengulang adegan yang sudah berkali-kali kulakukan. Aku memaafkanmu, aku menerimamu, dan aku mencintaimu—lagi. Sh*t!

Cerpen : Kamera


Kamera

 “Bro, cantik tuh! Sebelah kanan lo.”
Siang itu, seusai jam kuliah, Anton iseng-iseng melirik seorang gadis manis yang berdiri sendirian tak jauh di sebelah kananku. Siang itu taman kampus memang ramai oleh mahasiswa-mahasiswi yang baru keluar kelas. Mungkin gadis itu sedang menunggu teman, jemputan, atau mungkin menunggu pacarnya.
“Jepret dong, bro! Bawa-bawa kamera masa cuma lo anggurin. Pemandangan bagus tuh!” Anton terlihat semakin tertarik pada gadis itu. Dia bahkan sepertinya ingin sekali merebut kamera digital di tanganku untuk mengabadikan sosok manis itu. “Woi! Kamera mulu yang lo urusin! Liat bentar dong! Nyesel lo entar!” Kali ini Anton sampai menoyor kepalaku agar tidak terus menunduk mengotak-atik kamera.
Aku berdecak kesal sesaat. Akhirnya dengan malas aku mengangkat wajah dari kesibukan mengotak-atik kamera, dan menggulirkan pandangan pada sosok yang sangat dipuja Anton itu. Lalu, segera saja sosok manis berbalut dress pink pucat selutut itu tertangkap mataku. Aku mengamati sejenak, melihatnya dalam kurun waktu beberapa detik. Hmm… ya memang cantik. Sangat cantik malah. Tinggi, putih, langsing, modis. Perfect-lah. Tapi trus kenapa? Apa untungnya buatku kalau dia cantik?
“Cantik, kan? Apa gue bilang!” Anton menepuk pundakku dengan bangga.
“Iya cantik,” ujarku enteng membenarkan pendapat Anton.
“Lo nggak pengen deketin dia?” bisik Anton jail.
“Buat apa?”
“Ah… bego lo!” Anton lagi-lagi menoyor kepalaku. “Bro, gue bilangin ya. Lo itu punya peluang buat ngedapetin tuh cewek! Gue kadang bingung sama lo. Lo tuh bego beneran ato apa, hah? Lo tuh cakep, smart, kesayangan banyak dosen, bakat fotografi lo juga hebat. Kenapa lo milih Sasi buat jadi pacar lo sih? Apa spesialnya dia?”
Aku menanggapi ocehan Anton hanya dengan senyum ringan. “Spesialnya? Simpel aja.” Senyumku tanpa sadar mengembang semakin lebar. Ah… kenapa aku selalu seperti ini kalau mengingat Sasi? Hmm… dasar cinta! Bikin gila!
“Apa yang bikin lo suka sama si Sasi?” kejar Anton semakin penasaran.
Aku menghela napas sejenak lalu memutuskan untuk duduk lesehan di rerumputan taman kampus yang hijau subur. Anton yang masih menunggu alasanku ikut duduk di sebelahku.
Well, semua orang emang nganggep Sasi itu biasa-biasa aja,” aku mulai menjelaskan. “Tapi justru itu yang bikin gue ngerasa dia beda. Karena cuma gue satu-satunya orang yang bisa menemukan keistimewaannya. Gue jadi ngerasa kalau dia emang sengaja nyimpen keistimewaannya itu cuma buat gue doang. Dan karenanya, gue jadi ngerasa diistimewakan.” Aku tersenyum lebar di akhir penjelasanku.
“Hahaha…!” Anton malah tertawa lebar mendengar penjelasanku. “Bullshit lo! Puitis banget sih lo. Lama-lama gue jatuh cinta sama lo!” komentarnya di akhir tawa.
Aku tidak peduli dan kembali sibuk mengotak-atik kameraku. Memangnya kenapa? Apa yang salah dengan Sasi? Memang itu pendapatku tentang Sasi. Dia memang tidak secantik artis. Dia hanya cukup manis buatku. Dia juga tidak sepintar Einstein dan tidak sekaya anak pengusaha real estate. Tapi lalu apa masalahnya? Aku tidak pernah keberatan dengan segala kekurangannya. Jadi kenapa aku harus pusing-pusing complaint tentang kekurangan-kekurangannya kalau aku bisa menemukan kelebihannya dan merasa nyaman dengan kelebihannya itu?
“Ah… udah ah. Gue cabut dulu ya!” Anton tiba-tiba bangkit berdiri sambil mengeluarkan kunci motornya dari saku celana. “Ngomong-ngomong, tuh bidadari lo baru aja turun dari kahyangan!”
Aku mengikuti arah pandang Anton dan segera mendapati Sasi sedang berjalan ke arahku. Gadis itu tersenyum hangat serta melambaikan tangan singkat padaku. Tanpa sadar senyumku lagi-lagi mengembang lebar. Aduh… aku bisa benar-benar gila karena cinta!
“Hey!” Sasi menyapaku dan Anton dengan nada ramah seperti biasanya.
Anton membalas dengan senyum yang juga ramah. Lalu sepertinya ia sadar diri akan menjadi obat nyamuk. Karena setelah itu ia memilih undur diri dengan berbasa-basi sejenak, kemudian buru-buru pergi.
“Kamera kamu kenapa?” Seperginya Anton, Sasi ikut duduk lesehan di sebelahku.
“Nggak kenapa-napa kok,” jawabku singkat.
“Beneran nggak kenapa-napa? Kok diotak-atik terus? Nggak rusak, kan?”
Rusak? Sasi mengira kameraku rusak? Hmm… tiba-tiba muncul ide di otakku. Menjaili pacar sebentar? Kayaknya seru tuh.
“Iya nih rusak. Nggak tau deh kenapa. Tiba-tiba mati gitu.” Aku pura-pura panik sambil terus mengotak-atik kamera. Sandiwara dimulai!
“Hah? Beneran rusak? Kan kamu belinya baru beberapa minggu yang lalu. Masa udah rusak? Coba deh dicek dulu!” Nada suara Sasi mulai terdengar panik.
“Iya beneran. Semua pengaturan-pengaturan udah aku cek. Tapi tetep aja nggak mau jalan! Trus musti gimana nih?”
Sasi terdiam sejenak. Keningnya berkerut rapat pertanda ia ikut berpikir. “Baterainya low-bat, kali?” ujarnya. “Udah kamu cek belum baterainya? Kali aja kamu keasikan motret sampe lupa merhatiin batere.”
“Udah aku cek juga. Nggak low-bat kok. Masih full. Pokoknya semuanya udah aku cek deh tadi. Trus tiba-tiba mati gitu aja.”
“Masa sih? Kok aneh.” Sasi semakin serius berpikir. Kepalanya dimiringkan dan tatapannya tertuju lurus pada kameraku. “Padahal kamu udah hunting foto sampe luar kota ya pake kamera ini?” ujarnya lirih. Ia menatapku prihatin.“Wah… sayang banget dong kalau foto-fotonya sampe ilang.”
“Itu dia masalahnya. Aku udah bela-belain ke Jogja, Solo, sampe Lombok pula. Masa ilang gitu aja? Aduh… sial-sial!” Aku menggaruk-garuk rambutku secara kasar untuk memperdalam akting kesalku.
Sasi masih terdiam. Gadis itu juga masih mengerutkan kening pertanda ia masih ikut berpikir. Diam-diam aku menahan senyum. Melihatnya, rasanya aku jadi merasa semakin sayang saja.
“Garansi tokonya masih nggak?” tanyanya kemudian.
“Garansi? Masih sih. Tapi kan foto-foto yang udah aku ambil nggak bisa balik lagi.”
“Oh iya ya.” Sasi bergumam pelan. Gadis itu sepertinya mulai putus asa. “Coba deh kamu bongkar dulu. Kali aja ada yang salah. Kabelnya atau apanya gitu.”
“Nggak kok. Udah aku bongkar juga.”
Sasi menghela napas panjang. “Coba kamu nyalain lagi,” katanya putus asa.
Kali ini aku menurutinya. Pura-pura kutekan tombol on pada kameraku yang sebenarnya dari tadi sudah menyala. Lalu dengan sedikit taktik, aku bisa membuat kamera itu seperti baru menyala setelah tombol on ditekan.
“Nah, tuh bisa nyala!” Sasi memekik senang.
“Eh iya. Bisa nyala!” Aku juga pura-pura memekik senang. “Coba aku cek foto-fotonya dulu ya!”
“Iya buruan dicek! Mudah-mudahan masih ada semua!”
Segera aku membuka foto-foto yang paling terakhir kuambil. Dan yang pertama kali muncul di layar adalah foto-foto Sasi yang sedang tampak bingung, panik, bahkan putus asa.
“Lho, kok isinya aku semua sih?!” Sasi bergumam bingung.
Aku diam saja sambil mati-matian menahan tawa.
“Lho, lho, lho, tunggu-tunggu. Ini kayaknya baru aja kamu ambil ya fotonya? Background tempatnya, baju yang aku pake… trus… hey! Kamu ngerjain aku ya?!”
“Hahahaha….!” Aku langsung tertawa terpingkal-pingkal. Akhirnya Sasi sadar juga. Sedari tadi selain aku berpura-pura panik karena kameraku rusak, aku juga diam-diam mengabadikan setiap ekspresi Sasi ketika mendengar kameraku rusak. Setiap ekspresi paniknya, ekspresi khawatirnya, ekspresi putus asanya. Semuanya dapat tertangkap jelas di kameraku hanya dengan sedikit taktik agar kamera terlihat dalam keadaan mati, tapi tetap bisa menjepret gambar.
“Ah… rese! Curang!” Sasi masih berteriak-teriak kesal. Senyum salah tingkahnya serta pipinya yang memerah terlihat menggemaskan bagiku. Melihatnya, tentu saja aku tidak mau menyia-nyiakan momen itu. Lagi-lagi tanpa sepengetahuan Sasi, dengan kecepatan tangan layaknya pesulap, aku bisa mengabadikan salah satu ekspresi yang kusenangi itu. Dan… Clap! Aku berhasil mengabadikan ekspresi itu.
“Hayo! Kamu ngapain lagi, ha? Kamu pasti diem-diem motret aku lagi, kan? Ah… hapus! Pokoknya hapus!” Gadis itu berusaha merebut kameraku.
“Eh, jangan dong!” Aku berusaha menyembunyikan kameraku di belakang punggung.
“Reno, hapus! Aku malu tau!”
“Iya nanti di rumah aku hapus!”
“Nggak! Harus sekarang!”
“Aduh… Ntar dirumah langsung aku hapus kok. Beneran!”
“Ah… nggak percaya! Kamu suka bohong! Ayo hapus sekarang! Mana sini, aku aja yang ngehapus!” seru Sasi.
Sasi terus memburu kameraku. Sementara itu aku melakukan tindakan sebaliknya. Aku terus menyembunyikan kameraku. Jangan sampai foto-foto itu terhapus. Tentu saja aku tidak mau kehilangan gambar-gambar berharga itu.
Well, setiap orang memiliki kriteria yang berbeda dalam menentukan pasangan. Ada yang menyukai seseorang karena kecantikan atau ketampanannya, ada yang karena kepandaiannya, ada yang karena hartanya, ada yang karena statusnya, ada yang karena hobinya, ada yang karena perlakuannya, ada yang karena sifatnya, dan macam-macam.
Lalu bagaimana denganku? Mengapa aku memilih Sasi? Simpel saja. Aku memilih Sasi karena dia memiliki segudang ekspresi menawan yang tidak pernah disadari kebanyakan orang. Dia memiliki ekspresi-ekspresi yang selalu pas ketika aku diam-diam mengarahkan kamera hanya dengan sekali bidik. Ekspresinya sangat natural dan menawan. Ketika gadis itu tersenyum, tertawa, melamun, bosan, bahkan ketika panik, khawatir, ataupun putus asa seperti yang baru saja kudapatkan berkat menjailinya. Semua ekspresinya terlihat hidup. Dan itu yang kusebut sebagai kelebihannya yang tidak pernah disadari orang lain. Dan aku merasa nyaman dengan semua itu, dan aku menyukainya,  dan aku memilihnya, dan aku ingin terus memotretnya.