Minggu, 05 Agustus 2012

Cerpen : Kamera


Kamera

 “Bro, cantik tuh! Sebelah kanan lo.”
Siang itu, seusai jam kuliah, Anton iseng-iseng melirik seorang gadis manis yang berdiri sendirian tak jauh di sebelah kananku. Siang itu taman kampus memang ramai oleh mahasiswa-mahasiswi yang baru keluar kelas. Mungkin gadis itu sedang menunggu teman, jemputan, atau mungkin menunggu pacarnya.
“Jepret dong, bro! Bawa-bawa kamera masa cuma lo anggurin. Pemandangan bagus tuh!” Anton terlihat semakin tertarik pada gadis itu. Dia bahkan sepertinya ingin sekali merebut kamera digital di tanganku untuk mengabadikan sosok manis itu. “Woi! Kamera mulu yang lo urusin! Liat bentar dong! Nyesel lo entar!” Kali ini Anton sampai menoyor kepalaku agar tidak terus menunduk mengotak-atik kamera.
Aku berdecak kesal sesaat. Akhirnya dengan malas aku mengangkat wajah dari kesibukan mengotak-atik kamera, dan menggulirkan pandangan pada sosok yang sangat dipuja Anton itu. Lalu, segera saja sosok manis berbalut dress pink pucat selutut itu tertangkap mataku. Aku mengamati sejenak, melihatnya dalam kurun waktu beberapa detik. Hmm… ya memang cantik. Sangat cantik malah. Tinggi, putih, langsing, modis. Perfect-lah. Tapi trus kenapa? Apa untungnya buatku kalau dia cantik?
“Cantik, kan? Apa gue bilang!” Anton menepuk pundakku dengan bangga.
“Iya cantik,” ujarku enteng membenarkan pendapat Anton.
“Lo nggak pengen deketin dia?” bisik Anton jail.
“Buat apa?”
“Ah… bego lo!” Anton lagi-lagi menoyor kepalaku. “Bro, gue bilangin ya. Lo itu punya peluang buat ngedapetin tuh cewek! Gue kadang bingung sama lo. Lo tuh bego beneran ato apa, hah? Lo tuh cakep, smart, kesayangan banyak dosen, bakat fotografi lo juga hebat. Kenapa lo milih Sasi buat jadi pacar lo sih? Apa spesialnya dia?”
Aku menanggapi ocehan Anton hanya dengan senyum ringan. “Spesialnya? Simpel aja.” Senyumku tanpa sadar mengembang semakin lebar. Ah… kenapa aku selalu seperti ini kalau mengingat Sasi? Hmm… dasar cinta! Bikin gila!
“Apa yang bikin lo suka sama si Sasi?” kejar Anton semakin penasaran.
Aku menghela napas sejenak lalu memutuskan untuk duduk lesehan di rerumputan taman kampus yang hijau subur. Anton yang masih menunggu alasanku ikut duduk di sebelahku.
Well, semua orang emang nganggep Sasi itu biasa-biasa aja,” aku mulai menjelaskan. “Tapi justru itu yang bikin gue ngerasa dia beda. Karena cuma gue satu-satunya orang yang bisa menemukan keistimewaannya. Gue jadi ngerasa kalau dia emang sengaja nyimpen keistimewaannya itu cuma buat gue doang. Dan karenanya, gue jadi ngerasa diistimewakan.” Aku tersenyum lebar di akhir penjelasanku.
“Hahaha…!” Anton malah tertawa lebar mendengar penjelasanku. “Bullshit lo! Puitis banget sih lo. Lama-lama gue jatuh cinta sama lo!” komentarnya di akhir tawa.
Aku tidak peduli dan kembali sibuk mengotak-atik kameraku. Memangnya kenapa? Apa yang salah dengan Sasi? Memang itu pendapatku tentang Sasi. Dia memang tidak secantik artis. Dia hanya cukup manis buatku. Dia juga tidak sepintar Einstein dan tidak sekaya anak pengusaha real estate. Tapi lalu apa masalahnya? Aku tidak pernah keberatan dengan segala kekurangannya. Jadi kenapa aku harus pusing-pusing complaint tentang kekurangan-kekurangannya kalau aku bisa menemukan kelebihannya dan merasa nyaman dengan kelebihannya itu?
“Ah… udah ah. Gue cabut dulu ya!” Anton tiba-tiba bangkit berdiri sambil mengeluarkan kunci motornya dari saku celana. “Ngomong-ngomong, tuh bidadari lo baru aja turun dari kahyangan!”
Aku mengikuti arah pandang Anton dan segera mendapati Sasi sedang berjalan ke arahku. Gadis itu tersenyum hangat serta melambaikan tangan singkat padaku. Tanpa sadar senyumku lagi-lagi mengembang lebar. Aduh… aku bisa benar-benar gila karena cinta!
“Hey!” Sasi menyapaku dan Anton dengan nada ramah seperti biasanya.
Anton membalas dengan senyum yang juga ramah. Lalu sepertinya ia sadar diri akan menjadi obat nyamuk. Karena setelah itu ia memilih undur diri dengan berbasa-basi sejenak, kemudian buru-buru pergi.
“Kamera kamu kenapa?” Seperginya Anton, Sasi ikut duduk lesehan di sebelahku.
“Nggak kenapa-napa kok,” jawabku singkat.
“Beneran nggak kenapa-napa? Kok diotak-atik terus? Nggak rusak, kan?”
Rusak? Sasi mengira kameraku rusak? Hmm… tiba-tiba muncul ide di otakku. Menjaili pacar sebentar? Kayaknya seru tuh.
“Iya nih rusak. Nggak tau deh kenapa. Tiba-tiba mati gitu.” Aku pura-pura panik sambil terus mengotak-atik kamera. Sandiwara dimulai!
“Hah? Beneran rusak? Kan kamu belinya baru beberapa minggu yang lalu. Masa udah rusak? Coba deh dicek dulu!” Nada suara Sasi mulai terdengar panik.
“Iya beneran. Semua pengaturan-pengaturan udah aku cek. Tapi tetep aja nggak mau jalan! Trus musti gimana nih?”
Sasi terdiam sejenak. Keningnya berkerut rapat pertanda ia ikut berpikir. “Baterainya low-bat, kali?” ujarnya. “Udah kamu cek belum baterainya? Kali aja kamu keasikan motret sampe lupa merhatiin batere.”
“Udah aku cek juga. Nggak low-bat kok. Masih full. Pokoknya semuanya udah aku cek deh tadi. Trus tiba-tiba mati gitu aja.”
“Masa sih? Kok aneh.” Sasi semakin serius berpikir. Kepalanya dimiringkan dan tatapannya tertuju lurus pada kameraku. “Padahal kamu udah hunting foto sampe luar kota ya pake kamera ini?” ujarnya lirih. Ia menatapku prihatin.“Wah… sayang banget dong kalau foto-fotonya sampe ilang.”
“Itu dia masalahnya. Aku udah bela-belain ke Jogja, Solo, sampe Lombok pula. Masa ilang gitu aja? Aduh… sial-sial!” Aku menggaruk-garuk rambutku secara kasar untuk memperdalam akting kesalku.
Sasi masih terdiam. Gadis itu juga masih mengerutkan kening pertanda ia masih ikut berpikir. Diam-diam aku menahan senyum. Melihatnya, rasanya aku jadi merasa semakin sayang saja.
“Garansi tokonya masih nggak?” tanyanya kemudian.
“Garansi? Masih sih. Tapi kan foto-foto yang udah aku ambil nggak bisa balik lagi.”
“Oh iya ya.” Sasi bergumam pelan. Gadis itu sepertinya mulai putus asa. “Coba deh kamu bongkar dulu. Kali aja ada yang salah. Kabelnya atau apanya gitu.”
“Nggak kok. Udah aku bongkar juga.”
Sasi menghela napas panjang. “Coba kamu nyalain lagi,” katanya putus asa.
Kali ini aku menurutinya. Pura-pura kutekan tombol on pada kameraku yang sebenarnya dari tadi sudah menyala. Lalu dengan sedikit taktik, aku bisa membuat kamera itu seperti baru menyala setelah tombol on ditekan.
“Nah, tuh bisa nyala!” Sasi memekik senang.
“Eh iya. Bisa nyala!” Aku juga pura-pura memekik senang. “Coba aku cek foto-fotonya dulu ya!”
“Iya buruan dicek! Mudah-mudahan masih ada semua!”
Segera aku membuka foto-foto yang paling terakhir kuambil. Dan yang pertama kali muncul di layar adalah foto-foto Sasi yang sedang tampak bingung, panik, bahkan putus asa.
“Lho, kok isinya aku semua sih?!” Sasi bergumam bingung.
Aku diam saja sambil mati-matian menahan tawa.
“Lho, lho, lho, tunggu-tunggu. Ini kayaknya baru aja kamu ambil ya fotonya? Background tempatnya, baju yang aku pake… trus… hey! Kamu ngerjain aku ya?!”
“Hahahaha….!” Aku langsung tertawa terpingkal-pingkal. Akhirnya Sasi sadar juga. Sedari tadi selain aku berpura-pura panik karena kameraku rusak, aku juga diam-diam mengabadikan setiap ekspresi Sasi ketika mendengar kameraku rusak. Setiap ekspresi paniknya, ekspresi khawatirnya, ekspresi putus asanya. Semuanya dapat tertangkap jelas di kameraku hanya dengan sedikit taktik agar kamera terlihat dalam keadaan mati, tapi tetap bisa menjepret gambar.
“Ah… rese! Curang!” Sasi masih berteriak-teriak kesal. Senyum salah tingkahnya serta pipinya yang memerah terlihat menggemaskan bagiku. Melihatnya, tentu saja aku tidak mau menyia-nyiakan momen itu. Lagi-lagi tanpa sepengetahuan Sasi, dengan kecepatan tangan layaknya pesulap, aku bisa mengabadikan salah satu ekspresi yang kusenangi itu. Dan… Clap! Aku berhasil mengabadikan ekspresi itu.
“Hayo! Kamu ngapain lagi, ha? Kamu pasti diem-diem motret aku lagi, kan? Ah… hapus! Pokoknya hapus!” Gadis itu berusaha merebut kameraku.
“Eh, jangan dong!” Aku berusaha menyembunyikan kameraku di belakang punggung.
“Reno, hapus! Aku malu tau!”
“Iya nanti di rumah aku hapus!”
“Nggak! Harus sekarang!”
“Aduh… Ntar dirumah langsung aku hapus kok. Beneran!”
“Ah… nggak percaya! Kamu suka bohong! Ayo hapus sekarang! Mana sini, aku aja yang ngehapus!” seru Sasi.
Sasi terus memburu kameraku. Sementara itu aku melakukan tindakan sebaliknya. Aku terus menyembunyikan kameraku. Jangan sampai foto-foto itu terhapus. Tentu saja aku tidak mau kehilangan gambar-gambar berharga itu.
Well, setiap orang memiliki kriteria yang berbeda dalam menentukan pasangan. Ada yang menyukai seseorang karena kecantikan atau ketampanannya, ada yang karena kepandaiannya, ada yang karena hartanya, ada yang karena statusnya, ada yang karena hobinya, ada yang karena perlakuannya, ada yang karena sifatnya, dan macam-macam.
Lalu bagaimana denganku? Mengapa aku memilih Sasi? Simpel saja. Aku memilih Sasi karena dia memiliki segudang ekspresi menawan yang tidak pernah disadari kebanyakan orang. Dia memiliki ekspresi-ekspresi yang selalu pas ketika aku diam-diam mengarahkan kamera hanya dengan sekali bidik. Ekspresinya sangat natural dan menawan. Ketika gadis itu tersenyum, tertawa, melamun, bosan, bahkan ketika panik, khawatir, ataupun putus asa seperti yang baru saja kudapatkan berkat menjailinya. Semua ekspresinya terlihat hidup. Dan itu yang kusebut sebagai kelebihannya yang tidak pernah disadari orang lain. Dan aku merasa nyaman dengan semua itu, dan aku menyukainya,  dan aku memilihnya, dan aku ingin terus memotretnya.


Tidak ada komentar: