Selasa, 18 Agustus 2015

Gara-Gara Gengsi

Hai! Assalamu’alaikum. Ada sebuah cerita lucu yang kualami ketika di Jogja. 18 Agustus 2015, hari kedua di umur Indonesia yang sudah mencapai 70 tahun, aku berencana pulang ke Solo. Pukul 15.30 sore aku telah tiba di Stasiun Tugu. Ternyata ada sebuah aturan baru bahwa pembelian tiket kereta api Prameks pindah ke pintu selatan. Terpaksalah aku berjalan dari loket utama yang ada di pintu timur menuju ke pintu selatan. Asal kalian tahu, jarak dari pintu timur menuju ke pintu selatan itu sanggggggaaaaaaaaat jauh, kalau jalan kaki. Kalau mau naik ojek bayar 10 ribu, itu pun cuma bisa setengah jalan. Kalau naik becak mungkin 20 ribu, atau bahkan lebih, apalagi aku ini kan anak mami yang nggak bisa nawar. Hehe.
Oke, singkat cerita saat aku berjalan menuju loket selatan, ada dua orang wanita paruh baya yang mengajakku berbincang. Mereka sama-sama kecele sepertiku. Keduanya berpostur super gendut dan tinggi. Sebut saja nama mereka Britney dan Barbara, biar rada keren. Nah, Bu Britney ini dandanannya heboh. Lipstik merah menyala, baju tipis menerawang bermotif kulit macan, dan ups… tali bra-nya kelihatan berwarna hijau glitter. Rambutnya keriting kecil-kecil seperti orang timur. Sementara Ibu Barbara lebih sederhana dengan kemeja pink stabilo ukuran XXXL, celana bahan kain, serta kerudung warna pink senada.
Selama perjalanan dari loket timur menuju loket selatan, Bu Britney terus saja sambat (mengeluh). Sementara Bu Barbara lebih banyak diam, pasrah. Tampak raut wajah Bu Britney kesal setengah mati. Dengan baju motif macan dan badan besar, ia benar-benar seperti macan galak yang akan memakan orang. Well, oke itu terlalu hiperbola. Yah intinya perjalanan singkat itu menjadi ramai karena ada Bu Britney yang terus menggerutu.
Sesampainya di loket selatan, kami dihadapkan dengan 2 pilihan tiket perjalanan ke Solo
1.                 Prameks. Rp 8.000. Berangkat pukul 18.00. Tiba di Solo pukul 19.11
2.                 Madiun Jaya. Rp 15.000. Berangkat pukul 16.30. Tiba di Solo pukul 17.30

Jam pada waktu itu menunjukkan pukul 15.30. Entah tersambar setan geblek mana aku memilih tiket Prameks, yang baru akan berangkat pukul 18.00. Pikirku, aku akan menghabiskan waktu dengan keliling Malioboro, karena selama 4 hari di Jogja aku juga tidak ke mana-mana, hanya di rumah menemani simbahku. It’s my time to have fun, pikirku.
“Jenengan, mau naik kereta apa, Bu?” tanya Bu Britney kepada Bu Barbara. Ia berdecak kesal. Bu Barbara belum menjawab, Ia sudah mengeluh kembali, “Saya mau naik Madiun Jaya saja, jam setengah lima. Saya pengen segera pulang. Nunggu Prameks jam enam yo suwe biangetttt! Sampai Solo jam tujuh malam!”
Pertanyaan sekaligus keluhan Bu Britney itu tampaknya memprovokasi Bu Barbara. Dengan wajah pasrah, Bu Barbara menjawab, “Ya… ikut Madiun Jaya wae, weh,” putusnya.
Bu Britney beralih padaku, “Mbak naik kereta yang mana?”
“Prameks saja, Bu,” jawabku mantab. Aku masih tergiur dengan bujuk rayu Malioboro.
“Prameks?” mata Bu Britney yang penuh eye liner luntur itu melebar. “Jam enam baru berangkat, lho, Mbak!”
“Iya, Bu. Yang jemput bisanya jam segitu,” ujarku bohong. Padahal di rumah bapak atau pun ibu sedia setiap saat menjemputku.
“Kalau Prameks baru berangkat jam enam, ya?” Bu Barbara tiba-tiba bertanya sekali lagi. Padahal ia sudah tahu jawabannya. Dari pertanyaan kosong itu, tampak sekali ia sedikit ingin berubah pikiran. Mungkin ia mulai tertarik karena ada aku sebagai teman. Atau ada alasan lain, entahlah aku tidak bisa membaca pikiran.
“Kalau naik Madiun Jaya sampai Solo jam berapa, ya?” Bu Barbara kembali bertanya. Aku yakin, kali ini pun Bu Barbara sudah tahu jawabannya. Ia pasti hanya memperpanjang waktu agar bisa berpikir ulang.
“Satu jam, Bu. Nanti sampai Solo jam setengah enam. Kalau Prameks jam tujuh malam baru sampai,” aku menerangkan. Lucunya, jelas-jelas aku paham dengan jadwal perkeretaapian tersebut, bahkan aku sampai menerangkan kepada orang lain. Tapi aku tidak berubah pikiran sama sekali.
“Oh… jam setengah enam sampai Solo, ya. Sementara kalau Prameks jam segitu baru berangkat. Sampai Solonya jam tujuh.” Bu Barbara mengangguk-angguk.
Mampus, dalam hati tiba-tiba aku tersadar. Iya juga ya, kalau pakai Madiun Jaya jam setengah enam sudah sampai. Sementara kalau pakai Prameks, jam segitu baru berangkat. Aku mulai goyah.
“Yoweslah, Madiun Jaya, saja,” Bu Barbara akhirnya memutuskan.
Kami pun sudah memegang pilihan masing-masing—walau aku mulai ragu. Kami bertiga kemudian menuju loket, yang mana ternyata loket untuk Prameks dan Madiun Jaya sama.
Yang menempati antrian pertama adalah Bu Britney. Di belakangnya ada Bu Barbara dan aku. Melihat baju macan Bu Britney, entah mengapa aku jadi ingin berubah pikiran. Tapi… ah bodohnya aku, aku kan sudah bilang pada mereka bahwa yang menjemputku bisanya jam tujuh malam. Kalau aku beli tiket Madiun Jaya, ketahuan bohong dong nanti aku.
Monggo, Mbak!” Bu Britney telah selesai bertransaksi. Ia melewatiku dan menyempatkan tersenyum padaku. Aku semakin bimbang. Prameks atau Madiun Jaya? Madiun Jaya, deh. Aduh… tapi nanti masa tiba-tiba aku bilang bahwa bapak saya bisa menjemput jam setengah enam. Duh… tapi kok kelihatan banget aku bohong.
Kini di hadapanku giliran Bu Barbara melakukan transaksi. Aku sedikit menguping. Petugas loket itu sempat berkata pada Bu Barbara, “Ibu tidak dapat kursi. Nanti berdiri ya, Bu!” kata si petugas loket kepada Bu Barbara. Mendengar bahwa tidak akan mendapat kursi, bagai anggota dewan tidak dapat kursi di parlemen, Bu Barbara tampak semakin pasrah. Sedangkan  aku justru sedikit tenang. Muncul pembelaan dalam batinku, tuh pakai Madiun Jaya bakalan berdiri lu, Ris! Pegel lu ntar! batinku berusaha menguatkan pilihanku.
Bu Barbara telah selesai bertransaksi. Kini tiba giliranku. Aku menelan ludah, masih ragu. Eye shadow biru ngejreng yang memenuhi kelopak mata si Mbak petugas loket kian membuat otakku tidak bisa berpikir jernih.
“Prameks satu, Mbak!” Kalimat  tersebut meluncur begitu saja dari mulutku bersamaan dengan tanganku yang menyerahkan uang pembayaran. Lantas, tiket Prameks itu pun telah sah menjadi milikku.
Aku segera menuju area peron. Sesaat aku memandang ke luar pagar stasiun. Jalanan menuju Malioboro terlihat padat merayap. Dengan waktu 2,5 jam yang tersisa mana cukup untuk jalan-jalan? Solat Ashar 15 menit, naik ojek dari pintu selatan ke Malioboro kalau macet begini 15 menit, balik dari Maliobro ke stasiun 20 menit karena jalannya agak berputar. Hampir satu jam terbuang. Tinggal satu setengah jam untuk jalan-jalan. 1,5 jam jalan-jalan dapet apa? Mana buat bayar ojek pulang-pergi butuh sekitar 20 ribu, mana tasku berat banget pula. Ya mendingan naik Madiun Jaya. Kalau pun alasanku enggan naik Madiun Jaya adalah karena di kereta nanti tidak dapat duduk, Prameks pun biasanya juga penuh. Jadi di Prameks pun 90% tidak akan bisa duduk.
 Ya Allah… bego banget gue. Udah musti muter dari loket timur ke loket selatan yang jaraknya jauh banget, musti nunggu Prameks 2,5 jam, nanti pas di kereta juga nggak bakal dapet tempat duduk pula. Mendingan naik Madiun Jaya. Biar ketahuan bohong sama ibu-ibu itu, toh mereka orang asing. Kenal juga pas di kereta doang. Peduli apa mereka perkara aku bohong atau nggak. Ya ampuuuun… aku benar-benar merasa bodoh. Berulang kali aku merutuki diriku sendiri. Jujur, penyebab utama aku lebih memilih naik kereta Prameks adalah karena aku takut ketahuan bohong di hadapan dua ibu-ibu asing yang bahkan namanya saja aku tidak tahu. Bukan karena tergiur Malioboro atau pun karena tidak mendapat kursi. Bego, kan?
Well, tapi alhamdulillah. Aku punya kesibukan lain selama menunggu. Yaitu, menulis. Iya menulis cerita kebodohanku ini. Beruntung ke mana-mana aku membawa pulpen dan buku tulis. Alhasil, waktu selama 2,5 jam tidak terasa sama sekali. Tiba-tiba saja tulisanku selesai dan waktu sudah menunjukkan waktu maghrib. Aku segera solat, dan tak lama kemudian kereta Prameks datang. Dan alhamdulillah, kereta Prameks longgggggggaaaaaaar banget. Aku mendapat tempat duduk di kursi empuk dan bebas mau ngapain aja. Ya Allah… Engkau masih sayang sama aku ternyata. Well, dari sekelumit kisah ini ada beberapa hal yang bisa dipetik sebagai pelajaran:
1.                 Menunggu adalah hal yang BT banget. Tapi kalau cara kita memandang adalah dengan cara pandang yang menyenangkan ternyata bisa dijalani dengan menyenangkan juga.
2.                 Kebohongan kecil ternyata bisa bikin panik juga, apalagi kebohongan besar
3.                 Ada kalanya manusia memperjuangkan sesuatu yang tidak berguna hanya karena gengsi.
4.                 Aku jadi punya cerita
5.                 Aku punya pengalaman
6.                 Nambah ilmu

Hahaha… yang poin ketiga ini, nih. Ada kalanya manusia memperjuangkan sesuatu yang tidak berguna hanya karena gengsi. Aku jadi ingat film The Readers. Pemainnya Kate Winselt. Di film itu diceritakan Kate Winselt lebih memilih dipenjara selama puluhan tahun daripada ketahuan bahwa dirinya tidak bisa baca-tulis. Dia malu ketahuan buta aksara, maka dari itu dia lebih memilih dipenjara. Sementara si cowoknya, aku lupa pemerannya siapa, si cowoknya ini malu ketahuan punya hubungan gelap dengan Kate Winselt yang seorang tersangka. Padahal dia kuliah sebagai pengacara. Dia bisa menyelamatkan Kate Winselt dari kurungan penjara. Tapi karena gengsi ketahuan punya hubungan gelap, maka dia memilih diam.
Entahlah, kadang-kadang kita seperti menciptakan ketakutan-ketakutan sendiri. Berpikir sempit, berpikir negatif. Aku malu ketahuan bohong oleh Bu Britney dan Bu Barbara. Padahal kalau dipikir-pikir belum tentu reaksi mereka negatif, lebih tepatnya belum tentu mereka akan peduli karena aku cuma orang asing bagi mereka. Jadi, mau aku bohong atau nggak, reaksi mereka paling sekadar ‘cukup tahu’. Tapi aku gengsi. Aku tidak mau mereka membatin seperti itu tentangku.
Sama seperti tokoh yang diperankan Kate Winselt, belum tentu orang-orang peduli dengan buta aksaranya. Si Kate Winselt-nya saja yang ketakutan berlebihan. Jadi intinya, kadang kita menciptakan ketakutan-ketakutan sendiri karena terlalu berpikir sempit. Sehingga tindakan yang dipilih, ya itu tadi, memperjuangkan sesuatu yang tidak berguna karena gengsi. Gengsi yang muncul karena berpikir sempit. Haha… fool me.
Yah… Aku jadi penasaran, adakah alasan psikologis yang lebih kuat, yang mendasari keputusan bodoh macam ini. Ah aku jadi kepingin baca bukunya Abraham Masllow dan Stanley Hall tentang psikologi, pola pikir manusia, dan kebutuhan manusia. Next time deh. Oke, sekian cerita bodoh dari saya. Semoga dengan mengakui kebodohan, memahami kesalahan, bisa lebih berpikiran terbuka dan tidak mengulangi kesalahan.



Aku Baru Sadar Aku Punya Nenek

Nenek, atau aku lebih sering memanggilnya simbah. Well, 15 Agustus 2015 kemarin aku pergi ke Jogja sendirian dengan kereta. Tidak biasanya aku tertarik pergi ke rumah keluarga kalau bukan waktu lebaran atau ada moment penting. Kutinggalkan seluruh kepenatan yang ada di Solo dan bertolak ke Jogja selama 4 hari.
Alasanku selain ingin menenangkan pikiran adalah juga karena simbah ingin belajar mengaji. Ya, simbahku ini belum bisa mengaji. Aku juga baru tahu kalau simbah tidak bisa mengaji. Atau lebih tepatnya, sebenarnya selama ini aku pura-pura tidak tahu bahwa simbah tidak bisa mengaji.
3 atau 4 tahun yang lalu aku pernah dengar simbah ingin belajar mengaji. Tapi karena semua keluarga sibuk, keinginan simbah tidak ada yang menindak lanjuti. Aku pun terlalu tenggelam dengan dunia SMA-ku.
Jujur aku sedikit menyalahkan tanteku, anak bungsu simbah yang sejak SMP sudah sekolah di sekolah agama. Pikirku, tante kan sekolah di sekolah agama. Harusnya yang ngajarin simbah ngaji ya tante.
Well, lebih tepatnya sebenarnya bukan menyalahkan, tapi berusaha menghindar dari tanggung jawab. Kalau dipikir-pikir, walaupun aku bukan anak simbah, melainkan cucu simbah, dan walaupun tanteku bersekolah di sekolah agama, tapi bukan berarti aku tidak punya tanggung jawab atas keinginan baik simbahku. Ada darah simbah dalam darahku. Aku tidak akan pernah ada kalau ibuku tidak dilahirkan oleh simbah. Hanya karena keegoisanku lantas aku menutup mata atas kenyataan bahwa aku turut bertanggung jawab atas simbah.
Ya, singkat cerita sekarang aku sedang membantu simbah belajar Iqro. Alhamdulillah beliau sudah hafal 16 huruf. Aku tidak mau memaksa beliau lekas hafal. Dalam sehari beliau bisa menghafal 4 huruf saja aku sudah sangat kagum. Mengingat usia beliau sudah menginjak kepala 6, beliau punya ingatan yang baik terhadap huruf arab yang pastinya sangat asing bagi beliau.
Hari pertama aku mengajari beliau, aku hampir menitikkan air mata. Seketika aku merasa seperti orang yang paling jahat. Berulang kali aku bertanya pada diri sendiri. Kemana saja aku selama ini? 20 tahun hidup di dunia, baru kali ini tergerak mengajari simbah. 20 tahun lamanya. Selama 20 tahun ini pula aku merasa baru kali ini aku menjadi orang yang benar-benar berguna.
Saat belajar mengaji, beliau sempat bertanya pada diri sendiri, “Kenapa simbah nggak belajar ngaji dari dulu-dulu, ya?” tanya beliau. Senyum malu tampak terbentang sesaat di wajah tuanya. “Yaaa… dulu tante sibuk belajar sendiri, dan simbah juga sibuk kerja. Sama-sama sibuk. Tapi, kalau disempat-sempatkan sebenarnya ya bisa, ya?” Senyum malu itu kini perlahan berubah menjadi senyum penuh sesal.
Aku memberikan beberapa kalimat dukungan yang intinya adalah bahwa belajar tidak akan pernah mengenal terlambat. Dalam hati aku berdoa, tolong beri umur panjang pada simbahku. Izinkan beliau lancar membaca Al-Qur’an.
Namun, di sisi lain mulai terbersit pertanyaan dalam pikiranku. Akankah kelak aku juga akan meminta diajari oleh cucuku? Meminta diajari sesuatu yang dulu tidak sempat kupelajari di masa muda hanya karena alasan sibuk, yang sebenarnya hanyalah karena faktor malas dan egois? Akankah begitu? Iya kalau masih diberi umur panjang, iya kalau anak, cucu, atau saudara yang lain peduli dan rela meluangkan waktu untuk mengajariku. Kalau tidak? Mungkin aku hanya akan tersenyum bodoh menyesali kemalasan serta keegoisanku di masa muda.
Tapi yang patut disyukuri adalah bahwa aku masih muda, yang insyaallah aku masih punya waktu panjang. Aku akan mulai belajar memanfaatkan waktu sebaik mungkin. Termasuk menghabiskan waktu bersama simbah. Mendengar cerita masa kecilnya, cerita tentang anak-anaknya, cerita tentang cucu-cucunya, dan banyak hal lagi. Menjadi pendengar yang baik.

Kini aku baru sadar betapa aku tidak pernah menganggap raga tua itu benar-benar ada. Selama ini aku hanya tahu bahwa aku punya simbah, salah satu anggota keluarga, ibu dari ibuku, dan tinggal di Jogja. Kini, aku sadar bahwa raga tua itu adalah nenekku. Simbahku. Aku baru sadar bahwa aku punya nenek.

Minggu, 02 Agustus 2015

Festival Anak

Assalamu’alaikum, guys!
Well, hari ini adalah hari Minggu, dan ini adalah salah satu hari Minggu terdamai yang pernah aku alami. Hahaha….
Alunan suara radio tetangga sebelah, suara palu beradu dengan kayu karena tetanggaku yang lain sedang memperbaiki rumah, suara burung peliharaan tetanggaku yang lainnya lagi, suara ayam-ayam tetanggaku yang lainnya juga, serta suara anak-anak bermain, dan suara gemericik air di akuarim kecil milik bapak. Semua hal sederhana itu terdengar indah mengalahkan keindahan lagu penyanyi beken sekaliber Raisa, bahkan lebih indah dari Bohemian Rapshody milik Queen. Hahaha…
Kedamaian ini ada alasannya. Apa alasannya?
Yup, karena aku dan teman-teman volunteer serta teman-teman kecilku baru saja merampungkan Fesa. Festival anak. Yeeee. Ini adalah sebuah festival yang bertujuan menampilkan kreatifitas anak-anak dalam bidang seni, yang dihelat pada hari Sabtu 1 Agustus 2015 kemarin. It was wonderful, but also full of sacrifice.
Anyway, aku adalah salah satu volunteer di Solo Mengajar. Aku sudah 5 bulan menjadi pengajar di Taman Cerdas Pajang. Ada banyak sekali kendala yang kami hadapi ketika mempersiapkan Fesa ini. Bahkan, kerap terlintas di benakku untuk tidak mengikuti Fesa. Karena awalnya bagiku mengikutsertakan adik-adik dalam acara Fesa hanyalah sebuah proker yang harus dikerjakan oleh kami para volunteer. Jadi, kadang aku merasa tidak adil. Memaksa adik-adik latihan menari hanya agar kami para volunteer bisa menyelesaikan proker.
Tapi kemudian, pentas ini ternyata bisa mengajarkan kepada anak-anak tentang arti hak dan kewajiban serta arti tanggung jawab. Kalau mereka ingin pentas, mereka wajib latihan. Dan kalau mereka bisa mengerjakan kewajiban mereka, yaitu latihan menari, berarti mereka secara tidak langsung sudah berlatih tanggung jawab. Berlatih bertanggung jawab atas pilihan yang telah mereka pilih, yaitu ikut pentas.
Kerap kali mereka susah sekali diajak latihan. Bahkan kami para volunteer sering harus mengetuk pintu rumah mereka masing-masing agar mereka mau latihan. Kadang juga mereka sudah latihan setengah jalan, tapi karena capek, dimarahi kakak volunteer, atau ada anak-anak lain yang tidak mereka sukai datang ke taman cerdas, mereka jadi tidak mau latihan. Adaaaaaa aja yang bikin mereka nggak mau latihan lagi. Yaaaa namanya anak-anak. Mood-nya benar-benar labil.
Yaaah… ada banyak cerita selama 5 bulan ini. Kami pernah sampai harus ‘berpetualang’ keliling kampung mulai dari melewati kuburan, singgah ke bazar, melewati pinggir sungai, dan lain-lain hanya untuk mengembalikan mood mereka. Capek? Capek lah! Pulang dari kampus, belum mandi, belum makan, sampai di taman cerdas adik-adik mood-nya jelek, udah kami capek eh masih harus berhadapan dengan anak kecil yang nggak mau mengerti kondisi kami. Tapiiiii… oke, kami nggak bisa asal marah-marah hanya agar membuat mereka nurut. Karena kalau begitu mereka malah ngambek dan kabur. Lagi pula itu bisa diartikan sebagai tindak pelampiasan emosi atas rasa lelah kami ke adik-adik. Kan nggak adil. Mentang-mentang kami lelah, lalu kami berhak marah? It’s not like that.
Ada banyak hal yang kami pelajari selama menjadi volunteer. Kami berusaha memahami dunia anak yang penuh imajinasi, egoisme, dan adrenalin. Kami tentunya juga belajar sabar. Kami berusaha untuk tidak banyak melarang anak. Karena, bagi anak-anak orang dewasa adalah musuh mereka. Kenapa? Karena orang dewasa hobinya melarang-larang. Nggak boleh ini, nggak boleh itu. Bawel banget deh pokoknya. Nah, dari sini kami berusaha bersahabat dengan anak-anak, masuk ke dunia anak-anak dan memahami pola pikir mereka sehingga kami bisa melarang mereka lewat cara mereka. Hasilnya, sekarang aku suka anak kecil dan mulai berpikir untuk kelak jadi ibu rumah tangga saja, nggak usah jadi wanita karier. Ya yang itu nggak usah dibahas. Hahaha.

Oke, berikut aku pengen cerita tentang beberapa anak yang sempat ikutan Fesa. Ini dia teman-teman kecilku:

Arifin, kelas 8 SMP Takmirul, si cakep yang dipanggil Aliando sama cewek-cewek. Makanya kami suruh dia memerankan Pangeran Benawa. Anaknya juga kooperatif kalau diajak latihan nari. Walaupun kalau udah pegang Ipad, dia nggak bakal nganggep kakak-kakak volunteer sebagai makhluk hidup yang memiliki eksistensi di dunia, alias kami dicuekin.
Dika, kelas 6 SD Pajang II,  si kreatif yang tertarik dunia broadcast. Dia pengen banget kerja di dunia pertelevisian. Tiap dateng ke TC, laptop aku langsung diotak-atik. Aduuuh… sampai suatu ketika aku harus memarahinya karena laptop mau dipakai latihan nari. Maap ya Dik.
Shidiq, kelas 5 SD Pajang II, si anti damai. Anaknya kecil tapi urakan setengah mati. Biar begitu dia tertarik banget sama pelajaran astronomi. Perbintangan, planet-planet, rotasi bumi, pergantian musim, IPA banget deh.
Eky, Kelas 6 SD Pajang II, si anak gaul. Ke mana-mana bawa pomade. Rajin nabung buat beli baju distro. Anaknya kecil, lebih kecil dari Shidiq. Tapi kalau ngomong teriak-teriak, ampe urat-urat di lehernya kelihatan semua. Tapi biar begitu dia tertarik sama pelajaran IPS. Apalagi tentang negara dan ibu kotanya. Secara dia bola mania. Wkwkwk…
Akbar, kelas 6 SD. Si penyayang kucing. Dia sukkkaaa sama kucing. Dan dia juga merupakan putra bungsu Bunda Evi, penanggung jawab perpustakaan di TC Pajang.
Erlias. Kelas 2 SD Pajang III, si imuuuuut. Anaknya pendek, gembul. Pipinya tembem. Kalau ngomong lucuuuuu banget. Anak-anak banget deh dia. Kemarin kami minta dia jadi MC. Dia yang menjelaskan sekilas tentang apa yang akan kami tampilkan dalam Fesa. Gaya ngomongnya yang lucu bikin semua penonton ketawa. Dan sekarang Erlias udah jago baca tulis yeeee
Tina, Kelas 3 SD Pajang III, si doyan jajan. Tiap pulang dari TC pasti jajan di hik (angkringan) depan TC. Gadis kecil ini paling mudah dikenali dengan dua gigi seri yang over exposed-nya. Hahaha
Ida, Kelas 3 SD Pajang III, si pintar. Anaknya paling nurut. Paling pinter. Kakak-kakak volunteer pada sering rebutan ngajarin Ida. Karena dia paling kooperatif dan gampang diajarin. Tapi dia cengeng dan gampang terpengaruh temen-temennya. Kalau temen-temennya ngasih komando “Nggak usah deket-deket Mbak Risti.” Aduuuuh… Ida langsung menjauh tanpa mencari tahu dulu kenapa harus mengikuti perintah teman-temannya.
Nia, Kelas 3 SD Pajang II, si centil. Dia udah jago lirik-lirik cowok (waduh). Dia pernah bilang ke aku, “Mbak, mas yang itu ganteng ya!”. Dan dia juga jago banget akting nangis. Kalau kemauannya nggak diturutin, dia pura-pura nangis buat menarik perhatian. Heeemmmm…. Aku yang udah hapal dengan senjatanya itu, cuek aja. Biar deh nangis dulu sampe capek sendiri. Hahaha. Eh… tapi dia yang paling pinter nari loh. Dia cepet banget ngapalin gerakan nari.
Lena, Kelas 3 SD Pajang II, si centil juga. Dia kalau dandan heboh. Pakai bando, pakai kalung, gelang, anting. Dia juga bawel. Kalau diajarin ngerjain PR, malah cerita, ngegosipin temen. Haduuuh… belajar jadi nggak selesai-selesai. Tapi kebawelannya itu bikin dia pernah ikut lomba mendongeng di Balai Kota. Keren kaaaan….
Mawar, Kelas 4 SD Sondakan. Yang paling bijak di antara cewek-cewek lainnya. Ya walaupun tetep bawel dan heboh dandan, tapi dia nggak suka ngebully kayak anak-anak lainnya. Dia juga yang paling berani minta maaf kalau dia and the genk bikin salah. Tapi kemarin pas pentas Fesa dia nggak bisa ikut karena sakit. Yaaaah… sedih.
Meta. Nah ini nih! Ini nih! Nih anak nih! Si Meta ini… aduuuuuuh. Paling galak. Paling gampang marah. Hemmmm…. Dan nyebeleinnya lagi, dia itu provokator. Kalau dia nggak suka sama si A misalnya, dia bakal memprovokasi temen-temennya supaya ikutan anti si A. Arghhhhh…. tapi, Meta hadir ibarat soal ujian rum III. Inget kan, jaman testing waktu SD, SMP, SMA, pasti soal rum I itu isinya pilihan ganda, rum II itu isian singkat, rum III itu isian panjang. Nah, si Meta itu ibarat soal rum III, perlu usaha yang lebih keras untuk bisa menanganinya.
Well, sebenernya masih banyak lagi anak-anaknya. Tapi aku belum mengenal lebih jauh lagi. Jadi, cukup mereka dulu ya. Next time kita lanjut dengan anak-anak lainnya.