Minggu, 05 Agustus 2012

Cerpen : Sh*t!


Sh*t!

Kau cantik, cerdas, serta memiliki sederet antrian berisi laki-laki yang ingin mengajakmu berkenalan. Sayangnya dari sederet laki-laki itu hanya satu yang kau pilih. Aku. Dan ketika kau memilihku aku merasa menjadi laki-laki paling beruntung.
Kau juga mudah bergaul, komunikatif, serta memiliki banyak teman. Sayangnya dari semua temanmu itu kebanyakan adalah laki-laki. Dan kebanyakan juga sudah kau ajak kencan. Entah di kafe, bioskop, mall, atau tempat-tempat lain, tidak peduli statusmu masih menjadi milikku.
“Ah… sh*t!
Untuk kesekian kalinya aku hampir meninju kaca mobilku. Aku marah kenapa kaca mobilku terlalu bening sehingga aku bisa melihat jelas kau di seberang sana sedang bergelayut manja di lengan laki-laki lain. Sialan! Apa maksudmu melakukan semua itu, ha?
Aku sudah hampir keluar mobil untuk menghampiri kalian, dan meninju hidung laki-laki itu. Tapi mendadak akal sehatku melarang. Aku bisa menjadi tontonan memalukan melakukan tindak anarki di muka umum seperti itu. Lalu kupilih untuk meneleponmu saja.
“Lagi di mana?” tanyaku begitu telepon kau angkat. Kedua mataku terus menatap lekat pada sosokmu yang kini duduk berhadapan bersama laki-laki itu di sebuah kafe indoor.
“Lagi di rumah. Ada apa?” jawabmu.
Bullshit! makiku dalam hati. Jelas-jelas kau sedang berkencan dengan laki-laki itu.
“Oh… di rumah. Lagi ngopi-ngopi ya? Kayaknya enak banget deh acara ngopinya. Apalagi ditemenin sama temen kamu itu,” sindirku. Aku melihat perubahan ekspresi dari tenang menjadi tegang di wajah ayumu. Mau apa kau sekarang!?
“Aduh… kamu ngomong apa sih, sayang? Aku di rumah kok,” jawabmu dengan suara lirih seperti ketakutan. Bukannya orang yang rajin berbohong seharusnya semakin cerdik berbohong? Tapi kenapa kemampuan berbohongmu semakin payah saja? Atau justru aku yang semakin peka terhadap sifat pembohongmu?
“Apa buktinya kalau kamu di rumah? Kalau aku ke rumah kamu sekarang apa kamu ada di rumah?” tuntutku.
Kau diam beberapa detik. Oke, kubiarkan kau mengarang alasan sejenak.
“Sayang, kenapa nelponnya marah-marah terus sih? Sebenernya mau kamu apa?” tanyamu mengulur waktu.
“Mau aku? Aku mau kamu tinggalin cowok itu dan masuk ke mobilku sekarang!”
Deg! Aku bisa merasakan jantungmu yang mendadak berhenti ketika mendengar tuntutanku. Wajahmu berubah pucat pasi diserang panik. Kau menoleh ragu ke sana kemari. Hingga akhirnya pandanganmu berhenti tepat pada mobilku di seberang kafe.
“Ha! Udah nemuin mobilku, kan? Sekarang cepet tinggalin cowok itu dan masuk ke mobilku!” perintahku kasar.
Aku mendengar kau mengembuskan napas berat di saluran telepon. Ekspresi ketakutanmu terlihat jelas mewarnai wajah ayumu. Kemudian, di seberang sana kau mulai bergerak mengatakan berbagai kalimat pamitan pada laki-laki itu. Melihatnya aku merasa semakin ingin marah. Kenapa harus berpamitan segala? Kenapa tidak langsung berlari meninggalkan laki-laki itu saja?
Tok… tok… tok…
Kau sudah berdiri di sisi mobilku dan mengetuk kaca jendelanya. Kubukakan pintu mobil dari dalam untukmu. Lalu dengan tegang kau duduk di sebelahku.
“Aku anterin kamu pulang!” ucapku tegas dan langsung menggas mobilku dalam kecepatan gila-gilaan.
Kau yang sudah hapal ekspresi marahku—saking seringnya aku marah karena kau sering membuatku marah—hanya diam di tempat tanpa berani mengucapkan apa-apa.
Mobil kemudian berhenti di sebuah apartemen kecil di pinggiran kota. Dan babak kedua pun dimulai di dalam apartemen itu.
“Aku cuma temenan sama dia,” kau berusaha membela diri.
“Temenan?” Sebelah alisku terangkat tinggi dan aku menatapmu tajam. “Kalau cuma temenan kenapa pake rangkulan-rangkulan segala? Temen atau TTM?”
Kau tidak bisa menjawab. Kau menunduk dan mengembuskan napas berat. “Sebenernya sejak kapan sih kamu buntutin aku terus?”
“Sejak kamu doyan kluyuran sama banyak laki-laki!” tegasku langsung. Lagi-lagi kau tidak bisa menyerang balik tuntutanku. “Sebenernya apa yang belum aku kasih ke kamu sih? Aku selama ini udah sabar banget ngadepin kamu, Sel! Kamu harusnya tau dong!” bentakku .
Kau terus menunduk. Sepertinya kau mulai ketakutan. Bahkan kali ini aku mulai mendengar isak tangismu. Oh, oke. Fine. Menangis? Jangan harap aku bisa luluh dengan senjata yang selalu kaugunakan itu. Aku sudah kebal!
“Dani,” kau memanggil lirih. “Aku… aku tau aku salah—”
“Ya! Emang harusnya kamu tau kamu salah! Dan kamu—”
“Dani, please, dengerin aku dulu!” Kau memotong keras ucapanku.
Oke, aku akan mendengarkanmu. Aku memilih diam dan masih berdiri tanpa sudi duduk di sampingmu.
“Dani, aku cuma ngerasa bosen sama hubungan kita. Tapi selebihnya aku masih sayang sama kamu,” ucapmu.
“Bosen? Kamu bilang bosen?” Aku menatap tidak percaya. “Emangnya apa yang belum kamu dapetin dari aku? Aku kurang apa, Sel? Perhatian? Aku selalu antar jemput kamu, SMS, telepon, aku juga nggak pernah absen nengok ibu kamu di rumah sakit. Apa perhatianku masih kurang, ha?”
Aku semakin hilang kendali. Pikiranku benar-benar kacau. Sebenarnya kalau mau main hitung-hitungan, sudah banyak sekali hal yang kulakukan untukmu. Pada awal-awal kau membeli apartemen sederhana ini, aku yang membiayai listrik dan hampir seluruh biaya hidupmu. Lalu saat kau baru saja dipecat dari pekerjaanmu karena dituduh selingkuh dengan suami bos, aku juga yang mencarikan pekerjaan. Belum lagi hal-hal sepele yang sebenarnya bisa saja kugunakan untuk menyudutkanmu.
“Sel,” panggilku lirih. Sesaat aku menghela napas, berusaha meredam emosi. Sementara itu pikiranku melayang jauh. Merenung memikirkan jalan terbaik untuk kita. Dan akhirnya pemikiranku berhenti pada satu kata. Putus.
“Sel, mendingan kita selesai ajalah,” ucapku dengan nada jenuh.
Kau langsung mendongak menatapku. Terlihat jelas kilau-kilau air mata sudah membasahi pipimu. Aku memilih diam. Kau pun juga begitu. Beberapa detik kita habiskan hanya untuk diam. Lalu tiba-tiba kau terisak semakin keras. Kau menutup mulut dan menangis tersedu-sedu hingga bahumu terkoyak hebat.
“Dani, please jangan minta hubungan ini berakhir…” ucapmu parau di sela isak tangis. “Please, Dani. Tolong… jangan minta hubungan ini berakhir. Beri aku kesempatan satu kali lagi, Dani. Dan aku nggak akan ngecewain kamu. Please, Dani, please…”
Kau terus merengek memohon-mohon di hadapanku. Kedua matamu tampak bersungguh-sungguh. Gurat nelangsamu terlihat jelas di wajah ayumu. Dan tiba-tiba, aku merasa tidak tega. Parahnya lagi, aku merasa sudah salah membuat keputusan. Memutuskan hubungan kita? Apa itu pilihan yang benar? Aku mulai ragu.
Argh… Sial! Kenapa wanita selalu menggunakan senjata menangisnya untuk menggoyahkan pendirian laki-laki?!
“Dani, aku cuma ngerasa bosen sama hubungan kita. Tapi selebihnya aku masih sayang sama kamu. Please, Dan, jangan tinggalin aku.” Kau menarik tanganku agar aku duduk di sampingmu. Dan bodohnya tubuhku seperti luruh begitu saja.
Tangismu semakin menjadi. Suaramu pun terdengar kecil seperti anak kucing yang kedinginan di tengah hujan.
Aku menggertakkan rahangku kuat-kuat, berusaha mengokohkan pendirianku. Kulepaskan genggamanmu di tanganku dan mulai berkata tegas. “Sel, aku udah capek sama hubungan kita. Aku rasa kamu juga udah nggak suka sama hubungan ini, kan?”
“Nggak! Dani, please… tolong…!” Kau buru-buru menangkup tanganku kembali dan menggenggamnya lebih erat.
Mendadak rongga dadaku terasa sesak. Aku semakin sulit membuat keputusan. Isak tangismu seperti mampu menggerogoti pendirianku. Aku memejamkan mata sesaat dan mengembuskan napas panjang. Lalu perlahan aku menoleh menatapmu. Dan… ah… sial! Melihatmu membuatku semakin tidak tega. Bahkan justru semakin sayang padamu. Bayang-bayang ketika kau bergelayut manja di lengan laki-laki lain sama sekali tidak terlintas di benakku. Dengan mudah hatiku seperti telah memaafkan semua kesalahanmu.
“Dani, aku… aku minta maaf. Aku tau aku salah. Aku minta maaf… Aku minta maaf… Maaf… Maaf…” Kau berkata susah payah di sela isak tangismu.
Aku masih terdiam. Maaf. Kata itu sudah sering sekali kauucapkan. Barusan saja kau sudah mengucapkan lima kali kata maaf. Berarti selama ini kau sudah ratusan kali mengucapkan kata itu.
“Dani, kamu nggak akan ninggalin aku, kan? Iya, kan, Dan?” rengekmu memelas. “Tolong, Dani. Aku masih sayang kamu, Dan. Aku janji nggak akan ngulangin semua ini lagi. Please, Dan… tolong. Aku janji… aku janji…”
Janji. Kata itu juga sudah sering sekali kauucapkan. Ah… bagaimana ini? Aku memejamkan mata kuat-kuat. Logikaku berkata tidak. Tapi hatiku berkata iya. Namun pada kenyataannya, aku selalu kausakiti bila aku harus menuruti kata hatiku.
Perlahan aku membuka mata dan kembali menoleh memperhatikanmu. Kau masih menunduk menangis dengan kedua tangan yang menangkup erat tanganku. Aku bisa merasakan jemarimu basah karena kau terus menyeka air matamu.
Lalu tanpa pikir panjang, satu tanganku bergerak dengan sendirinya menghapus air mata di pipimu. Rasanya melegakan sekali bisa menghapus tangismu.
Please, Dani…” ucapmu lirih.
Aku menghela napas berat dan menyandarkan kepalamu di bahuku. Sekali lagi aku memejamkan mata. Dan sekali lagi aku mengulang adegan yang sudah berkali-kali kulakukan. Aku memaafkanmu, aku menerimamu, dan aku mencintaimu—lagi. Sh*t!

2 komentar:

rhikacahya mengatakan...

wah...bagus ris..
ayo bwat lagi..

Max Havelaar English Course mengatakan...

udah baca yang lainnya juga belum? bagus bagus juga hlooo... :)