Minggu, 01 Juli 2012

cerpen-part 4 Aku Hanya Perlu Tersenyum


Part 4 : Aku Hanya Perlu Tersenyum

Entah aku yang terlalu percaya diri atau ini memang benar. Aku merasa perhatianmu padaku berubah. Kau semakin sering membuatku bahagia. Kau seperti berusaha meminimalisir kesalahanmu padaku. Yang paling mencolok adalah sekarang kau tidak pernah menelepon Bella di depanku. Kau tidak pernah menemui Bella setelah makan pagi bersamaku di kafe kecil itu. Bukankah di jam-jam itu jadwal selesainya kuliah Bella dan biasanya kalian akan pergi bersama?
Jujur, aku merasa senang. Aku tidak lagi menahan perih karena harus melihatmu bersama gadis itu. Tapi ini justru terasa ganjil. Sesuatu yang terlalu sempurna adalah sesuatu yang justru harus dipertanyakan. Sebenarnya apa yang kausembunyikan?
xOx

Aku mendapat jawabannya tidak lama kemudian. Hari itu seperti biasa, sepulang kuliah kau mengajakku makan pagi di kafetaria. Aku sudah merasa aneh dari awal. Kau lebih banyak diam hari itu.
Lalu begitu kita selesai makan, aku memberanikan diri bertanya.
“Jam kuliah Bella berubah ya?” tanyaku.
“Enggak. Masih sama.”
Aku mendengar jawabanmu. Dari caramu bicara masih terdengar santai.
“Terus kenapa sekarang kamu jarang pergi sama dia?”
Kali ini kau terdiam. Cukup lama. Tapi aku tetap menunggu dengan sabar.
Kau menunduk. Kau tampak berpikir keras. Lalu kau menjawab dengan nada yang terdengar tegas, “Aku sengaja. Aku nggak mau terlalu banyak nyakitin kamu.”
Seketika aku membeku. Apa maksudmu berkata seperti itu? Kau tidak menjelaskan lebih lanjut maksud ucapanmu. Aku juga tidak berani bertanya lebih banyak. Tapi, aku takut dugaanku benar. Aku takut jika… kau tahu aku mencintaimu.
xOx

Aku masih menemukan sorot yang sama dari matamu. Sorot keteduhan yang tulus, yang dapat menenangkanku. Aku juga masih menemukan sikapmu yang sangat menjaga perasaanku. Kau juga masih perhatian kepadaku. Bahkan lebih. Secara garis besar, semua darimu masih sama. Dan aku menyukainya.
Tapi jika mengingat kejadian beberapa hari yang lalu, aku merasa canggung. Sangat-sangat canggung. Aku mulai ketakutan. Jangan-jangan kau benar-benar tahu jika aku mencintaimu.
“Nin, ngelamun lagi?” Kau menegurku pagi itu.
Aku buru-buru mengelak. “Enggak. Orang lagi baca buku,” sahutku enteng. Aku langsung pura-pura membolak-balik halaman buku di hadapanku. Tapi sebenarnya ya, aku melamun.
Lalu aku sedikit menoleh ke arahmu. Kau terlihat masih menyalin catatanku.
“Fer?”
“Hmm?” Kau mengangkat wajah dari buku catatan dan berhenti mencatat. Kini kau menatapku. Membuatku gugup setengah mati.
“Fer, aku ngerasa aneh,” ucapku pelan. Aku menunduk kembali menghadap buku.
Kau diam saja. Aku tahu kau pasti kebingungan. Itu maklum.
“Bella apa kabar, Fer?” tanyaku kemudian. Aku merasa ada yang aneh di dasar hatiku ketika mengucapkan nama itu.
“Dia baik-baik aja,” jawabmu sederhana.
Selanjutnya, hanya ada keheningan. Aku memilih diam. Begitu pula dirimu. Detik demi detik berlalu. Aku tetap membaca buku di hadapanku. Tapi tidak ada satu kata pun yang terserap ke otakku.
“Nin, boleh aku minta satu hal dari kamu?” Tiba-tiba kau berkata memecah keheningan.
Aku masih menunduk. Aku tidak berani menatap kedua matamu.
“Emangnya kamu minta apa?” tanyaku ragu.
Kau menghela napas. “Jangan berubah,” ucapmu pelan. “Dan jangan pergi.”
Seketika aku membatu. Aku tidak tahu harus menanggapi apa. Lalu tiba-tiba kau memutar bahuku hingga aku dapat menghadapmu sepenuhnya.
“Nin…” panggilmu lirih. Aku semakin menunduk. “Mungkin awalnya berat. Tapi aku yakin kamu bisa melewatinya,” kau berkata hati-hati. Aku tidak berani menebak ke mana arah pembicaraan ini. Aku hanya mendengarkan. “Nin, aku minta maaf. Aku udah banyak nyakitin kamu. Aku nggak meduliin perasaanmu. Aku minta maaf.”
Aku masih diam menunduk.
Well, aku nggak bisa berbuat banyak. Tapi aku rasa, kepastian adalah yang paling baik buat kamu,” ucapmu penuh kehati-hatian. “Nin, aku lebih suka kita tetep kayak gini,” ujarmu. “Aku lebih merasa nyaman kalau hubungan kita tetep sebatas hubungan pertemanan.”
Aku menelan ludah susah payah. Tenggorokanku mendadak terasa sangat-sangat kering. Semua kalimat yang kauucapkan meluncur dengan baik di lorong telingaku dan mendarat dengan begitu menyakitkan di hatiku. Aku tidak tahu kata apa yang paling tepat untuk mewakili perasaanku saat ini. Remuk, tapi nyatanya yang kurasa lebih dari remuk. Sakit, tapi nyatanya yang kurasa juga jauh lebih menyakitkan.
Ferdi… aku hanya bisa memanggil namamu dalam hati. Dan tiba-tiba aku ingin menangis.
“Nindya, kamu… kamu…” kau memilih tidak meneruskan kata-katamu. Lalu tiba-tiba kau justru memelukku. “Maaf, Nin, maaf,” bisikmu di satu telingaku.
Aku benar-benar ingin menangis sekarang. Tapi mati-matian kutahan semua itu. Aku masih ingin mengucapkan banyak hal padamu sebelum suaraku tertelan isak tangis.
“Fer, aku seneng kamu tahu perasaanku yang sebenernya ke kamu,” ucapku perlahan-lahan. Dalam hati aku bersusah payah menahan tangis. Lalu aku melanjutkan, “Dari awal aku juga nggak berharap untuk punya rasa yang lebih ke kamu. Semuanya berjalan alami. Aku…  aku minta maaf. Aku udah merusak persahabatan kita. Gara-gara aku hubungan kita pasti bakalan canggung. Nggak seharusnya aku nganggep kamu lebih dari sekedar sahabat.”
“Nggak. Kamu nggak salah sama sekali. Semua itu manusiawi.”
Aku mendengarkan kata-katamu. Aku semakin ingin menangis. Dan satu-persatu bulir air mataku akhirnya berjatuhan.
“Fer…” panggilku lirih. “Sekarang, aku cuma berharap persahabatan kita nggak berubah. Dan kamu nggak perlu meduliin aku. Aku nggak mau hubungan kamu sama Bella rusak karena aku. Aku bakal merasa bersalah banget.”
“Udah… udahlah. Kamu nggak perlu mikirin aku ataupun Bella dulu. Yang penting sekarang kamu harus bisa mengendalikan emosi kamu sendiri dulu, oke? Mungkin awalnya berat. Tapi aku yakin lama-lama kamu pasti bisa melewatinya. Aku percaya itu. Aku kenal kamu sejak tiga tahun lalu. Dan aku tahu kamu punya semangat yang kuat. Aku percaya itu.”
Aku terus mendengarkan kata demi kata yang kauucapkan. Semua itu terasa sangat menyejukkan. Terima kasih. Terima kasih Ferdi. Kamu mau menghargai perasaanku sedemikian rupa. Kamu mau menyemangatiku sampai sejauh ini. Dan kamu bisa bersikap bijak untuk menyikapi semua ini. Terima kasih. Terima kasih Ferdi.
xOx
Epilog

Aku masih menemukan sorot yang sama dari matamu. Sorot keteduhan yang tulus, yang dapat menenangkanku. Aku juga masih menemukan sikapmu yang sangat menjaga perasaanku. Kau juga masih perhatian kepadaku. Bahkan lebih.
Aku tidak peduli apa statusku terhadapmu. Yang penting kau selalu ada untukku ketika aku membutuhkanmu, kau selalu mengayomiku, dan kau selalu menjadi sahabat terbaikku.
Lalu apa reaksiku sekarang jika aku mendengar kata cinta?
Aku hanya perlu tersenyum. Aku tahu apa arti cinta sekarang. Cinta adalah ketegaran untuk menghadapi luka. Itu definisi cinta menurutku.
Terima kasih. Aku menyukai persahabatan yang seperti ini.


Tidak ada komentar: