Selasa, 18 Agustus 2015

Gara-Gara Gengsi

Hai! Assalamu’alaikum. Ada sebuah cerita lucu yang kualami ketika di Jogja. 18 Agustus 2015, hari kedua di umur Indonesia yang sudah mencapai 70 tahun, aku berencana pulang ke Solo. Pukul 15.30 sore aku telah tiba di Stasiun Tugu. Ternyata ada sebuah aturan baru bahwa pembelian tiket kereta api Prameks pindah ke pintu selatan. Terpaksalah aku berjalan dari loket utama yang ada di pintu timur menuju ke pintu selatan. Asal kalian tahu, jarak dari pintu timur menuju ke pintu selatan itu sanggggggaaaaaaaaat jauh, kalau jalan kaki. Kalau mau naik ojek bayar 10 ribu, itu pun cuma bisa setengah jalan. Kalau naik becak mungkin 20 ribu, atau bahkan lebih, apalagi aku ini kan anak mami yang nggak bisa nawar. Hehe.
Oke, singkat cerita saat aku berjalan menuju loket selatan, ada dua orang wanita paruh baya yang mengajakku berbincang. Mereka sama-sama kecele sepertiku. Keduanya berpostur super gendut dan tinggi. Sebut saja nama mereka Britney dan Barbara, biar rada keren. Nah, Bu Britney ini dandanannya heboh. Lipstik merah menyala, baju tipis menerawang bermotif kulit macan, dan ups… tali bra-nya kelihatan berwarna hijau glitter. Rambutnya keriting kecil-kecil seperti orang timur. Sementara Ibu Barbara lebih sederhana dengan kemeja pink stabilo ukuran XXXL, celana bahan kain, serta kerudung warna pink senada.
Selama perjalanan dari loket timur menuju loket selatan, Bu Britney terus saja sambat (mengeluh). Sementara Bu Barbara lebih banyak diam, pasrah. Tampak raut wajah Bu Britney kesal setengah mati. Dengan baju motif macan dan badan besar, ia benar-benar seperti macan galak yang akan memakan orang. Well, oke itu terlalu hiperbola. Yah intinya perjalanan singkat itu menjadi ramai karena ada Bu Britney yang terus menggerutu.
Sesampainya di loket selatan, kami dihadapkan dengan 2 pilihan tiket perjalanan ke Solo
1.                 Prameks. Rp 8.000. Berangkat pukul 18.00. Tiba di Solo pukul 19.11
2.                 Madiun Jaya. Rp 15.000. Berangkat pukul 16.30. Tiba di Solo pukul 17.30

Jam pada waktu itu menunjukkan pukul 15.30. Entah tersambar setan geblek mana aku memilih tiket Prameks, yang baru akan berangkat pukul 18.00. Pikirku, aku akan menghabiskan waktu dengan keliling Malioboro, karena selama 4 hari di Jogja aku juga tidak ke mana-mana, hanya di rumah menemani simbahku. It’s my time to have fun, pikirku.
“Jenengan, mau naik kereta apa, Bu?” tanya Bu Britney kepada Bu Barbara. Ia berdecak kesal. Bu Barbara belum menjawab, Ia sudah mengeluh kembali, “Saya mau naik Madiun Jaya saja, jam setengah lima. Saya pengen segera pulang. Nunggu Prameks jam enam yo suwe biangetttt! Sampai Solo jam tujuh malam!”
Pertanyaan sekaligus keluhan Bu Britney itu tampaknya memprovokasi Bu Barbara. Dengan wajah pasrah, Bu Barbara menjawab, “Ya… ikut Madiun Jaya wae, weh,” putusnya.
Bu Britney beralih padaku, “Mbak naik kereta yang mana?”
“Prameks saja, Bu,” jawabku mantab. Aku masih tergiur dengan bujuk rayu Malioboro.
“Prameks?” mata Bu Britney yang penuh eye liner luntur itu melebar. “Jam enam baru berangkat, lho, Mbak!”
“Iya, Bu. Yang jemput bisanya jam segitu,” ujarku bohong. Padahal di rumah bapak atau pun ibu sedia setiap saat menjemputku.
“Kalau Prameks baru berangkat jam enam, ya?” Bu Barbara tiba-tiba bertanya sekali lagi. Padahal ia sudah tahu jawabannya. Dari pertanyaan kosong itu, tampak sekali ia sedikit ingin berubah pikiran. Mungkin ia mulai tertarik karena ada aku sebagai teman. Atau ada alasan lain, entahlah aku tidak bisa membaca pikiran.
“Kalau naik Madiun Jaya sampai Solo jam berapa, ya?” Bu Barbara kembali bertanya. Aku yakin, kali ini pun Bu Barbara sudah tahu jawabannya. Ia pasti hanya memperpanjang waktu agar bisa berpikir ulang.
“Satu jam, Bu. Nanti sampai Solo jam setengah enam. Kalau Prameks jam tujuh malam baru sampai,” aku menerangkan. Lucunya, jelas-jelas aku paham dengan jadwal perkeretaapian tersebut, bahkan aku sampai menerangkan kepada orang lain. Tapi aku tidak berubah pikiran sama sekali.
“Oh… jam setengah enam sampai Solo, ya. Sementara kalau Prameks jam segitu baru berangkat. Sampai Solonya jam tujuh.” Bu Barbara mengangguk-angguk.
Mampus, dalam hati tiba-tiba aku tersadar. Iya juga ya, kalau pakai Madiun Jaya jam setengah enam sudah sampai. Sementara kalau pakai Prameks, jam segitu baru berangkat. Aku mulai goyah.
“Yoweslah, Madiun Jaya, saja,” Bu Barbara akhirnya memutuskan.
Kami pun sudah memegang pilihan masing-masing—walau aku mulai ragu. Kami bertiga kemudian menuju loket, yang mana ternyata loket untuk Prameks dan Madiun Jaya sama.
Yang menempati antrian pertama adalah Bu Britney. Di belakangnya ada Bu Barbara dan aku. Melihat baju macan Bu Britney, entah mengapa aku jadi ingin berubah pikiran. Tapi… ah bodohnya aku, aku kan sudah bilang pada mereka bahwa yang menjemputku bisanya jam tujuh malam. Kalau aku beli tiket Madiun Jaya, ketahuan bohong dong nanti aku.
Monggo, Mbak!” Bu Britney telah selesai bertransaksi. Ia melewatiku dan menyempatkan tersenyum padaku. Aku semakin bimbang. Prameks atau Madiun Jaya? Madiun Jaya, deh. Aduh… tapi nanti masa tiba-tiba aku bilang bahwa bapak saya bisa menjemput jam setengah enam. Duh… tapi kok kelihatan banget aku bohong.
Kini di hadapanku giliran Bu Barbara melakukan transaksi. Aku sedikit menguping. Petugas loket itu sempat berkata pada Bu Barbara, “Ibu tidak dapat kursi. Nanti berdiri ya, Bu!” kata si petugas loket kepada Bu Barbara. Mendengar bahwa tidak akan mendapat kursi, bagai anggota dewan tidak dapat kursi di parlemen, Bu Barbara tampak semakin pasrah. Sedangkan  aku justru sedikit tenang. Muncul pembelaan dalam batinku, tuh pakai Madiun Jaya bakalan berdiri lu, Ris! Pegel lu ntar! batinku berusaha menguatkan pilihanku.
Bu Barbara telah selesai bertransaksi. Kini tiba giliranku. Aku menelan ludah, masih ragu. Eye shadow biru ngejreng yang memenuhi kelopak mata si Mbak petugas loket kian membuat otakku tidak bisa berpikir jernih.
“Prameks satu, Mbak!” Kalimat  tersebut meluncur begitu saja dari mulutku bersamaan dengan tanganku yang menyerahkan uang pembayaran. Lantas, tiket Prameks itu pun telah sah menjadi milikku.
Aku segera menuju area peron. Sesaat aku memandang ke luar pagar stasiun. Jalanan menuju Malioboro terlihat padat merayap. Dengan waktu 2,5 jam yang tersisa mana cukup untuk jalan-jalan? Solat Ashar 15 menit, naik ojek dari pintu selatan ke Malioboro kalau macet begini 15 menit, balik dari Maliobro ke stasiun 20 menit karena jalannya agak berputar. Hampir satu jam terbuang. Tinggal satu setengah jam untuk jalan-jalan. 1,5 jam jalan-jalan dapet apa? Mana buat bayar ojek pulang-pergi butuh sekitar 20 ribu, mana tasku berat banget pula. Ya mendingan naik Madiun Jaya. Kalau pun alasanku enggan naik Madiun Jaya adalah karena di kereta nanti tidak dapat duduk, Prameks pun biasanya juga penuh. Jadi di Prameks pun 90% tidak akan bisa duduk.
 Ya Allah… bego banget gue. Udah musti muter dari loket timur ke loket selatan yang jaraknya jauh banget, musti nunggu Prameks 2,5 jam, nanti pas di kereta juga nggak bakal dapet tempat duduk pula. Mendingan naik Madiun Jaya. Biar ketahuan bohong sama ibu-ibu itu, toh mereka orang asing. Kenal juga pas di kereta doang. Peduli apa mereka perkara aku bohong atau nggak. Ya ampuuuun… aku benar-benar merasa bodoh. Berulang kali aku merutuki diriku sendiri. Jujur, penyebab utama aku lebih memilih naik kereta Prameks adalah karena aku takut ketahuan bohong di hadapan dua ibu-ibu asing yang bahkan namanya saja aku tidak tahu. Bukan karena tergiur Malioboro atau pun karena tidak mendapat kursi. Bego, kan?
Well, tapi alhamdulillah. Aku punya kesibukan lain selama menunggu. Yaitu, menulis. Iya menulis cerita kebodohanku ini. Beruntung ke mana-mana aku membawa pulpen dan buku tulis. Alhasil, waktu selama 2,5 jam tidak terasa sama sekali. Tiba-tiba saja tulisanku selesai dan waktu sudah menunjukkan waktu maghrib. Aku segera solat, dan tak lama kemudian kereta Prameks datang. Dan alhamdulillah, kereta Prameks longgggggggaaaaaaar banget. Aku mendapat tempat duduk di kursi empuk dan bebas mau ngapain aja. Ya Allah… Engkau masih sayang sama aku ternyata. Well, dari sekelumit kisah ini ada beberapa hal yang bisa dipetik sebagai pelajaran:
1.                 Menunggu adalah hal yang BT banget. Tapi kalau cara kita memandang adalah dengan cara pandang yang menyenangkan ternyata bisa dijalani dengan menyenangkan juga.
2.                 Kebohongan kecil ternyata bisa bikin panik juga, apalagi kebohongan besar
3.                 Ada kalanya manusia memperjuangkan sesuatu yang tidak berguna hanya karena gengsi.
4.                 Aku jadi punya cerita
5.                 Aku punya pengalaman
6.                 Nambah ilmu

Hahaha… yang poin ketiga ini, nih. Ada kalanya manusia memperjuangkan sesuatu yang tidak berguna hanya karena gengsi. Aku jadi ingat film The Readers. Pemainnya Kate Winselt. Di film itu diceritakan Kate Winselt lebih memilih dipenjara selama puluhan tahun daripada ketahuan bahwa dirinya tidak bisa baca-tulis. Dia malu ketahuan buta aksara, maka dari itu dia lebih memilih dipenjara. Sementara si cowoknya, aku lupa pemerannya siapa, si cowoknya ini malu ketahuan punya hubungan gelap dengan Kate Winselt yang seorang tersangka. Padahal dia kuliah sebagai pengacara. Dia bisa menyelamatkan Kate Winselt dari kurungan penjara. Tapi karena gengsi ketahuan punya hubungan gelap, maka dia memilih diam.
Entahlah, kadang-kadang kita seperti menciptakan ketakutan-ketakutan sendiri. Berpikir sempit, berpikir negatif. Aku malu ketahuan bohong oleh Bu Britney dan Bu Barbara. Padahal kalau dipikir-pikir belum tentu reaksi mereka negatif, lebih tepatnya belum tentu mereka akan peduli karena aku cuma orang asing bagi mereka. Jadi, mau aku bohong atau nggak, reaksi mereka paling sekadar ‘cukup tahu’. Tapi aku gengsi. Aku tidak mau mereka membatin seperti itu tentangku.
Sama seperti tokoh yang diperankan Kate Winselt, belum tentu orang-orang peduli dengan buta aksaranya. Si Kate Winselt-nya saja yang ketakutan berlebihan. Jadi intinya, kadang kita menciptakan ketakutan-ketakutan sendiri karena terlalu berpikir sempit. Sehingga tindakan yang dipilih, ya itu tadi, memperjuangkan sesuatu yang tidak berguna karena gengsi. Gengsi yang muncul karena berpikir sempit. Haha… fool me.
Yah… Aku jadi penasaran, adakah alasan psikologis yang lebih kuat, yang mendasari keputusan bodoh macam ini. Ah aku jadi kepingin baca bukunya Abraham Masllow dan Stanley Hall tentang psikologi, pola pikir manusia, dan kebutuhan manusia. Next time deh. Oke, sekian cerita bodoh dari saya. Semoga dengan mengakui kebodohan, memahami kesalahan, bisa lebih berpikiran terbuka dan tidak mengulangi kesalahan.



1 komentar:

Anonim mengatakan...

Kenapa pake saya atau aku sekarang, gak pake gue lagi?
Oh iya nulis lagi dong, kangen tulisan2 waktu awal 2015 yg judulnya almost pessimist. nope! it's totally impossible, sama tulisan yang pertama gue baca tentang kerja di cafe yg gajinya 600 rb tuh :)