Nenek, atau aku lebih
sering memanggilnya simbah. Well, 15
Agustus 2015 kemarin aku pergi ke Jogja sendirian dengan kereta. Tidak biasanya
aku tertarik pergi ke rumah keluarga kalau bukan waktu lebaran atau ada moment penting. Kutinggalkan seluruh
kepenatan yang ada di Solo dan bertolak ke Jogja selama 4 hari.
Alasanku selain ingin
menenangkan pikiran adalah juga karena simbah ingin belajar mengaji. Ya,
simbahku ini belum bisa mengaji. Aku juga baru tahu kalau simbah tidak bisa
mengaji. Atau lebih tepatnya, sebenarnya selama ini aku pura-pura tidak tahu
bahwa simbah tidak bisa mengaji.
3 atau 4 tahun yang
lalu aku pernah dengar simbah ingin belajar mengaji. Tapi karena semua keluarga
sibuk, keinginan simbah tidak ada yang menindak lanjuti. Aku pun terlalu
tenggelam dengan dunia SMA-ku.
Jujur aku sedikit
menyalahkan tanteku, anak bungsu simbah yang sejak SMP sudah sekolah di sekolah
agama. Pikirku, tante kan sekolah di sekolah agama. Harusnya yang ngajarin
simbah ngaji ya tante.
Well,
lebih
tepatnya sebenarnya bukan menyalahkan, tapi berusaha menghindar dari tanggung
jawab. Kalau dipikir-pikir, walaupun aku bukan anak simbah, melainkan cucu
simbah, dan walaupun tanteku bersekolah di sekolah agama, tapi bukan berarti
aku tidak punya tanggung jawab atas keinginan baik simbahku. Ada darah simbah
dalam darahku. Aku tidak akan pernah ada kalau ibuku tidak dilahirkan oleh
simbah. Hanya karena keegoisanku lantas aku menutup mata atas kenyataan bahwa
aku turut bertanggung jawab atas simbah.
Ya, singkat cerita
sekarang aku sedang membantu simbah belajar Iqro. Alhamdulillah beliau sudah
hafal 16 huruf. Aku tidak mau memaksa beliau lekas hafal. Dalam sehari beliau
bisa menghafal 4 huruf saja aku sudah sangat kagum. Mengingat usia beliau sudah
menginjak kepala 6, beliau punya ingatan yang baik terhadap huruf arab yang
pastinya sangat asing bagi beliau.
Hari pertama aku
mengajari beliau, aku hampir menitikkan air mata. Seketika aku merasa seperti
orang yang paling jahat. Berulang kali aku bertanya pada diri sendiri. Kemana saja
aku selama ini? 20 tahun hidup di dunia, baru kali ini tergerak mengajari
simbah. 20 tahun lamanya. Selama 20 tahun ini pula aku merasa baru kali ini aku
menjadi orang yang benar-benar berguna.
Saat belajar mengaji,
beliau sempat bertanya pada diri sendiri, “Kenapa simbah nggak belajar ngaji
dari dulu-dulu, ya?” tanya beliau. Senyum malu tampak terbentang sesaat di
wajah tuanya. “Yaaa… dulu tante sibuk belajar sendiri, dan simbah juga sibuk
kerja. Sama-sama sibuk. Tapi, kalau disempat-sempatkan sebenarnya ya bisa, ya?”
Senyum malu itu kini perlahan berubah menjadi senyum penuh sesal.
Aku memberikan beberapa
kalimat dukungan yang intinya adalah bahwa belajar tidak akan pernah mengenal
terlambat. Dalam hati aku berdoa, tolong beri umur panjang pada simbahku. Izinkan
beliau lancar membaca Al-Qur’an.
Namun, di sisi lain
mulai terbersit pertanyaan dalam pikiranku. Akankah kelak aku juga akan meminta
diajari oleh cucuku? Meminta diajari sesuatu yang dulu tidak sempat kupelajari
di masa muda hanya karena alasan sibuk, yang sebenarnya hanyalah karena faktor
malas dan egois? Akankah begitu? Iya kalau masih diberi umur panjang, iya kalau
anak, cucu, atau saudara yang lain peduli dan rela meluangkan waktu untuk
mengajariku. Kalau tidak? Mungkin aku hanya akan tersenyum bodoh menyesali
kemalasan serta keegoisanku di masa muda.
Tapi yang patut
disyukuri adalah bahwa aku masih muda, yang insyaallah aku masih punya waktu
panjang. Aku akan mulai belajar memanfaatkan waktu sebaik mungkin. Termasuk menghabiskan
waktu bersama simbah. Mendengar cerita masa kecilnya, cerita tentang anak-anaknya,
cerita tentang cucu-cucunya, dan banyak hal lagi. Menjadi pendengar yang baik.
Kini aku baru sadar
betapa aku tidak pernah menganggap raga tua itu benar-benar ada. Selama ini aku
hanya tahu bahwa aku punya simbah, salah satu anggota keluarga, ibu dari ibuku,
dan tinggal di Jogja. Kini, aku sadar bahwa raga tua itu adalah nenekku. Simbahku.
Aku baru sadar bahwa aku punya nenek.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar