Hai! Assalamu’alaikum. Ada
sebuah cerita lucu yang kualami ketika di Jogja. 18 Agustus 2015, hari kedua di
umur Indonesia yang sudah mencapai 70 tahun, aku berencana pulang ke Solo. Pukul
15.30 sore aku telah tiba di Stasiun Tugu. Ternyata ada sebuah aturan baru
bahwa pembelian tiket kereta api Prameks pindah ke pintu selatan. Terpaksalah aku
berjalan dari loket utama yang ada di pintu timur menuju ke pintu selatan. Asal
kalian tahu, jarak dari pintu timur menuju ke pintu selatan itu
sanggggggaaaaaaaaat jauh, kalau jalan kaki. Kalau mau naik ojek bayar 10 ribu,
itu pun cuma bisa setengah jalan. Kalau naik becak mungkin 20 ribu, atau bahkan
lebih, apalagi aku ini kan anak mami yang nggak bisa nawar. Hehe.
Oke, singkat cerita saat
aku berjalan menuju loket selatan, ada dua orang wanita paruh baya yang
mengajakku berbincang. Mereka sama-sama kecele
sepertiku. Keduanya berpostur super gendut dan tinggi. Sebut saja nama mereka
Britney dan Barbara, biar rada keren. Nah, Bu Britney ini dandanannya heboh. Lipstik
merah menyala, baju tipis menerawang bermotif kulit macan, dan ups… tali
bra-nya kelihatan berwarna hijau glitter. Rambutnya keriting kecil-kecil
seperti orang timur. Sementara Ibu Barbara lebih sederhana dengan kemeja pink
stabilo ukuran XXXL, celana bahan kain, serta kerudung warna pink senada.
Selama perjalanan dari
loket timur menuju loket selatan, Bu Britney terus saja sambat (mengeluh). Sementara Bu Barbara lebih banyak diam, pasrah. Tampak
raut wajah Bu Britney kesal setengah mati. Dengan baju motif macan dan badan besar,
ia benar-benar seperti macan galak yang akan memakan orang. Well, oke itu terlalu hiperbola. Yah intinya
perjalanan singkat itu menjadi ramai karena ada Bu Britney yang terus
menggerutu.
Sesampainya di loket
selatan, kami dihadapkan dengan 2 pilihan tiket perjalanan ke Solo
1.
Prameks. Rp 8.000. Berangkat pukul 18.00.
Tiba di Solo pukul 19.11
2.
Madiun Jaya. Rp 15.000. Berangkat pukul
16.30. Tiba di Solo pukul 17.30
Jam pada waktu itu
menunjukkan pukul 15.30. Entah tersambar setan geblek mana aku memilih tiket
Prameks, yang baru akan berangkat pukul 18.00. Pikirku, aku akan menghabiskan
waktu dengan keliling Malioboro, karena selama 4 hari di Jogja aku juga tidak
ke mana-mana, hanya di rumah menemani simbahku. It’s my time to have fun, pikirku.
“Jenengan, mau naik
kereta apa, Bu?” tanya Bu Britney kepada Bu Barbara. Ia berdecak kesal. Bu
Barbara belum menjawab, Ia sudah mengeluh kembali, “Saya mau naik Madiun Jaya
saja, jam setengah lima. Saya pengen segera pulang. Nunggu Prameks jam enam yo suwe biangetttt! Sampai Solo jam
tujuh malam!”
Pertanyaan sekaligus
keluhan Bu Britney itu tampaknya memprovokasi Bu Barbara. Dengan wajah pasrah,
Bu Barbara menjawab, “Ya… ikut Madiun Jaya wae,
weh,” putusnya.
Bu Britney beralih
padaku, “Mbak naik kereta yang mana?”
“Prameks saja, Bu,” jawabku
mantab. Aku masih tergiur dengan bujuk rayu Malioboro.
“Prameks?” mata Bu
Britney yang penuh eye liner luntur
itu melebar. “Jam enam baru berangkat, lho, Mbak!”
“Iya, Bu. Yang jemput
bisanya jam segitu,” ujarku bohong. Padahal di rumah bapak atau pun ibu sedia
setiap saat menjemputku.
“Kalau Prameks baru
berangkat jam enam, ya?” Bu Barbara tiba-tiba bertanya sekali lagi. Padahal ia
sudah tahu jawabannya. Dari pertanyaan kosong itu, tampak sekali ia sedikit
ingin berubah pikiran. Mungkin ia mulai tertarik karena ada aku sebagai teman. Atau
ada alasan lain, entahlah aku tidak bisa membaca pikiran.
“Kalau naik Madiun Jaya
sampai Solo jam berapa, ya?” Bu Barbara kembali bertanya. Aku yakin, kali ini
pun Bu Barbara sudah tahu jawabannya. Ia pasti hanya memperpanjang waktu agar
bisa berpikir ulang.
“Satu jam, Bu. Nanti sampai
Solo jam setengah enam. Kalau Prameks jam tujuh malam baru sampai,” aku
menerangkan. Lucunya, jelas-jelas aku paham dengan jadwal perkeretaapian
tersebut, bahkan aku sampai menerangkan kepada orang lain. Tapi aku tidak
berubah pikiran sama sekali.
“Oh… jam setengah enam
sampai Solo, ya. Sementara kalau Prameks jam segitu baru berangkat. Sampai Solonya
jam tujuh.” Bu Barbara mengangguk-angguk.
Mampus,
dalam
hati tiba-tiba aku tersadar. Iya juga ya, kalau pakai Madiun Jaya jam setengah
enam sudah sampai. Sementara kalau pakai Prameks, jam segitu baru berangkat.
Aku mulai goyah.
“Yoweslah, Madiun Jaya,
saja,” Bu Barbara akhirnya memutuskan.
Kami pun sudah memegang
pilihan masing-masing—walau aku mulai ragu. Kami bertiga kemudian menuju loket,
yang mana ternyata loket untuk Prameks dan Madiun Jaya sama.
Yang menempati antrian
pertama adalah Bu Britney. Di belakangnya ada Bu Barbara dan aku. Melihat baju
macan Bu Britney, entah mengapa aku jadi ingin berubah pikiran. Tapi… ah
bodohnya aku, aku kan sudah bilang pada mereka bahwa yang menjemputku bisanya
jam tujuh malam. Kalau aku beli tiket Madiun Jaya, ketahuan bohong dong nanti
aku.
“Monggo, Mbak!” Bu Britney telah selesai bertransaksi. Ia melewatiku
dan menyempatkan tersenyum padaku. Aku semakin bimbang. Prameks atau Madiun
Jaya? Madiun Jaya, deh. Aduh… tapi nanti masa tiba-tiba aku bilang bahwa bapak
saya bisa menjemput jam setengah enam. Duh… tapi kok kelihatan banget aku
bohong.
Kini di hadapanku giliran
Bu Barbara melakukan transaksi. Aku sedikit menguping. Petugas loket itu sempat
berkata pada Bu Barbara, “Ibu tidak dapat kursi. Nanti berdiri ya, Bu!” kata si
petugas loket kepada Bu Barbara. Mendengar bahwa tidak akan mendapat kursi,
bagai anggota dewan tidak dapat kursi di parlemen, Bu Barbara tampak semakin
pasrah. Sedangkan aku justru sedikit
tenang. Muncul pembelaan dalam batinku, tuh
pakai Madiun Jaya bakalan berdiri lu, Ris! Pegel lu ntar! batinku berusaha menguatkan
pilihanku.
Bu Barbara telah
selesai bertransaksi. Kini tiba giliranku. Aku menelan ludah, masih ragu. Eye shadow biru ngejreng yang memenuhi
kelopak mata si Mbak petugas loket kian membuat otakku tidak bisa berpikir
jernih.
“Prameks satu, Mbak!” Kalimat
tersebut meluncur begitu saja dari
mulutku bersamaan dengan tanganku yang menyerahkan uang pembayaran. Lantas, tiket
Prameks itu pun telah sah menjadi milikku.
Aku segera menuju area
peron. Sesaat aku memandang ke luar pagar stasiun. Jalanan menuju Malioboro
terlihat padat merayap. Dengan waktu 2,5 jam yang tersisa mana cukup untuk
jalan-jalan? Solat Ashar 15 menit, naik ojek dari pintu selatan ke Malioboro
kalau macet begini 15 menit, balik dari Maliobro ke stasiun 20 menit karena jalannya
agak berputar. Hampir satu jam terbuang. Tinggal satu setengah jam untuk
jalan-jalan. 1,5 jam jalan-jalan dapet apa? Mana buat bayar ojek pulang-pergi
butuh sekitar 20 ribu, mana tasku berat banget pula. Ya mendingan naik Madiun
Jaya. Kalau pun alasanku enggan naik Madiun Jaya adalah karena di kereta nanti tidak
dapat duduk, Prameks pun biasanya juga penuh. Jadi di Prameks pun 90% tidak
akan bisa duduk.
Ya Allah… bego banget gue. Udah musti muter
dari loket timur ke loket selatan yang jaraknya jauh banget, musti nunggu Prameks
2,5 jam, nanti pas di kereta juga nggak bakal dapet tempat duduk pula. Mendingan
naik Madiun Jaya. Biar ketahuan bohong sama ibu-ibu itu, toh mereka orang
asing. Kenal juga pas di kereta doang. Peduli apa mereka perkara aku bohong
atau nggak. Ya ampuuuun… aku benar-benar merasa bodoh. Berulang kali aku
merutuki diriku sendiri. Jujur, penyebab utama aku lebih memilih naik kereta
Prameks adalah karena aku takut ketahuan bohong di hadapan dua ibu-ibu asing yang
bahkan namanya saja aku tidak tahu. Bukan karena tergiur Malioboro atau pun
karena tidak mendapat kursi. Bego, kan?
Well,
tapi alhamdulillah. Aku punya kesibukan lain selama menunggu. Yaitu, menulis. Iya
menulis cerita kebodohanku ini. Beruntung ke mana-mana aku membawa pulpen dan
buku tulis. Alhasil, waktu selama 2,5 jam tidak terasa sama sekali. Tiba-tiba
saja tulisanku selesai dan waktu sudah menunjukkan waktu maghrib. Aku segera
solat, dan tak lama kemudian kereta Prameks datang. Dan alhamdulillah, kereta Prameks longgggggggaaaaaaar banget. Aku mendapat
tempat duduk di kursi empuk dan bebas mau ngapain aja. Ya Allah… Engkau masih
sayang sama aku ternyata. Well, dari
sekelumit kisah ini ada beberapa hal yang bisa dipetik sebagai pelajaran:
1.
Menunggu adalah hal yang BT banget. Tapi
kalau cara kita memandang adalah dengan cara pandang yang menyenangkan ternyata
bisa dijalani dengan menyenangkan juga.
2.
Kebohongan kecil ternyata bisa bikin panik
juga, apalagi kebohongan besar
3.
Ada kalanya manusia memperjuangkan
sesuatu yang tidak berguna hanya karena gengsi.
4.
Aku jadi punya cerita
5.
Aku punya pengalaman
6.
Nambah ilmu
Hahaha… yang poin ketiga ini, nih. Ada kalanya
manusia memperjuangkan sesuatu yang tidak berguna hanya karena gengsi. Aku jadi
ingat film The Readers. Pemainnya Kate Winselt. Di film itu diceritakan Kate
Winselt lebih memilih dipenjara selama puluhan tahun daripada ketahuan bahwa
dirinya tidak bisa baca-tulis. Dia malu ketahuan buta aksara, maka dari itu dia
lebih memilih dipenjara. Sementara si cowoknya, aku lupa pemerannya siapa, si
cowoknya ini malu ketahuan punya hubungan gelap dengan Kate Winselt yang
seorang tersangka. Padahal dia kuliah sebagai pengacara. Dia bisa menyelamatkan
Kate Winselt dari kurungan penjara. Tapi karena gengsi ketahuan punya hubungan
gelap, maka dia memilih diam.
Entahlah, kadang-kadang kita seperti menciptakan
ketakutan-ketakutan sendiri. Berpikir sempit, berpikir negatif. Aku malu
ketahuan bohong oleh Bu Britney dan Bu Barbara. Padahal kalau dipikir-pikir
belum tentu reaksi mereka negatif, lebih tepatnya belum tentu mereka akan
peduli karena aku cuma orang asing bagi mereka. Jadi, mau aku bohong atau
nggak, reaksi mereka paling sekadar ‘cukup tahu’. Tapi aku gengsi. Aku tidak
mau mereka membatin seperti itu tentangku.
Sama seperti tokoh yang diperankan Kate Winselt,
belum tentu orang-orang peduli dengan buta aksaranya. Si Kate Winselt-nya saja
yang ketakutan berlebihan. Jadi intinya, kadang kita menciptakan
ketakutan-ketakutan sendiri karena terlalu berpikir sempit. Sehingga tindakan
yang dipilih, ya itu tadi, memperjuangkan sesuatu yang tidak berguna karena
gengsi. Gengsi yang muncul karena berpikir sempit. Haha… fool me.
Yah… Aku jadi penasaran, adakah alasan psikologis
yang lebih kuat, yang mendasari keputusan bodoh macam ini. Ah aku jadi kepingin
baca bukunya Abraham Masllow dan Stanley Hall tentang psikologi, pola pikir
manusia, dan kebutuhan manusia. Next time
deh. Oke, sekian cerita bodoh dari saya. Semoga dengan mengakui kebodohan,
memahami kesalahan, bisa lebih berpikiran terbuka dan tidak mengulangi
kesalahan.