Just Nail It
Hari Ini bukan hari
yang spesial. Aku tidak berulang tahun, adikku tidak berulang tahun, ayah
maupun ibuku juga tidak berulang tahun. Tidak ada yang spesial hari ini. Aktivitas
perkuliahan pun juga sama saja. Just like another day.
Yang unik dari hari ini
adalah, aku dan Mbak Cahya (Pimpinan Redaksi) memperbaiki mading LPM Motivasi
kami yang ada di Gedung D FKIP. Keadaan mading benar-benar memprihatinkan. Triplek
yang menjadi alas kami menempelkan berbagai lembaran berita itu lepas dari
bingkai kayu penyangganya, sehingga mading (atau mungkin namanya maplek. Majalah
triplek, bukan mading majalah dinding. Hehehe) kepunyaan kami itu teronggok
begitu saja di bawah kayu penyangga. Bahkan tulisan “Mading LPM Motivasi” sudah
tidak genap dan hanya bisa dibaca menjadi “Mading LPM Motiv” karena beberapa
hurufnya terkelupas. Di mading tersebut pun sudah tidak ada satu pun kertas
yang menempel, alias tidak ada berita sama sekali yang kami sampaikan.
Aku yang sore itu sudah
dalam keadaan lelah, menjadi semakin lelah (Oke, gue tau bahasa gue sumpah
mampus nggak enak banget). Maksudnya, itu mading kosong mlompong, padahal kami
anak-anak pers yang seharusnya menjadi sumber informasi bagi mahasiswa. Sedih,
bray!
Sekitar bakda maghrib
kami segera memperbaiki mading tersebut. Kami sebelumnya sudah membeli beberapa
paku di Toko Pak Amir—toko yang lumayan bikin takjub, karena dari paku sampai
kertas kado dijual di sana. Btw, itu bisa disebut toserba nggak ya, karena
saking lengkapnya? Hehehe—Lanjut, setelah kami membeli paku, kami segera memaku
agar triplek tersebut bisa kembali nangkring di bingkai kayu penyangganya.
Bakda maghrib, langit
sudah petang, kampus sudah cukup lengang, dan lantunan ayat- ayat Al-Quran dari
beberapa masjid sayup-sayup terdengar lembut. Sementara itu, kami justru
memecah kekhusukan suasana magrib dengan menempa palu dan paku. Suara dua besi
yang beradu, yang ternyata cukup memekakan telinga.
Beberapa kali Mbak
Cahya tampak berhenti mengayunkan palu. Pandangan penuh waspada ia layangkan
mengikuti sosok sekuriti penjaga Gedung D yang melintas. Entah siapa nama
sekuriti tersebut, yang jelas kedatangannya membuat kami takut.
“Aku takut dimarahin
Pak Satpam, nih!” bisik Mbak Cahya diiringi cengiran kaku.
Aku hanya diam saja. Kami
sama-sama mengamati sosok sekuriti tersebut. Air mukanya tampak datar. Cuek. Dingin.
Mampus, deh. Bakal kena semprot nih
maghrib-maghrib malah main pukul-pukul paku, pikirku waktu itu.
Pak Sekuriti tampak
menatap sejenak pada kegiatan kami. Namun beruntung, Pak Sekuriti memalingkan
wajah dan berlalu begitu saja. Kami pun
secara refleks dapat menghela napas lega.
Mbak Cahya kembali
memaku triplek mading tersebut. Dari sudut satu beralih ke sudut lainnya, ia lakukan
dengan… ya… yang penting tuh paku bisa bikin si triplek nempel di bingkai kayu
penyangga.
Pada sudut terakhir,
aku meminta agar aku yang memasang paku. Awalnya gerakan tanganku ketika
mengayun palu terasa kaku. Tapi lama-lama aku menemukan ritme dalam memukul
paku tersebut.
“Kayaknya aku lebih
jago deh, Mbak!” ujarku membanggakan diri ketika kulihat si paku yang kupukul
terlihat lebih rapi menusuk triplek. Entah seperti apa kategori ‘rapi’ itu, yang
penting paku milikku terlihat lebih kokoh. Sementara itu, Mbak Cahya hanya
tersenyum dan mengiyakan pendapatku.
Setelah selesai
memperbaiki mading tersebut, kami pun meninggalkan Gedung D. Sesaat Mbak Cahya
sempat berpesan, “Dek, madingnya dicek ya dua minggu sekali,” katanya. Aku
mengangguk menyanggupi.
Seketika aku teringat
mading milik LPM Motivasi kami yang ada di Gedung C, Gedung dimana kelasku berada. Mading yang ada di
gedung itu juga kosong. Tidak ada satu pun lembaran kertas yang tertempel. Dan anyway,
mading yang diletakkan di Gedung C itu memiliki letak yang cukup strategis. Yaitu
di lobi yang sering digunakan para mahasiswa menunggu dosen datang. Ingatanku
kembali berputar, demi menjawab satu pertanyaan yang tiba-tiba terbit: Ada nggak sih temen yang nanya ‘Kenapa
mading Motivasi kosong’? Dan jawaban dari pertanyaan itu ternyata tidak
ketemu dalam ingatanku. Entah ingatanku yang payah atau bagaimana, tapi
sepertinya tidak ada yang menanyakan kabar mading kami.
Mading kami sering
tidak diacuhkan. Jarang sekali ada mahasiswa yang bersedia berdiri, diam
sejenak untuk membaca berita-berita yang kami sampaikan di mading. Entah ini
karena perkembangan teknologi global yang mematikan eksistensi si mading, atau
karena mading kami yang kurang menarik, atau karena daya baca mahasiswa yang
masih rendah, atau juga karena rendahnya kepedulian mahasiswa tentang kabar
seputar kampus. Banyak kemungkinan. Yang jelas, aku salut dengan usaha Pimpinan
Redaksiku ini. Sore-sore, sudah capek luar biasa dengan rutinitas seharian di
kampus, masih mau mengurusi mading bobrok di Gedung D. Tatapan heran dari
beberapa mahasiswa yang tampak masih berkeliaran di sekitar Gedung D, sedikit
membuatnya malu ketika harus memaku. Tapi tidak ia hiraukan. The point is, I
see a dedication. And hope. Hanya sebuah benda—yang di mata orang lain—mungkin tidak
ada artinya, tapi tetap ia pertahankan. Karena itu adalah mading LPM Motivasi.
Dedikasi dan harapan.
Dari mading itu kami berharap bisa membantu mahasiswa dalam memperluas informasi.
Melalui sekelumit peristiwa memperbaiki mading itu aku pun belajar dari
Pimredku tentang arti dedikasi. Dedication
and Hope. Betapa susahnya menjaga kedua hal itu agar tetap menyala.
Ah… kan… ngomongin
harapan jadi inget film Shawsank Redemption. Bikin pengen nonton lagi. Tapi
tugas masih bejibun. Yah…
Well, sekian postingan
kali ini. Nggak ngerti deh ini postingan ada value-nya kagak. Toh postinganku
sebelum-sebelumnya juga isinya begini doang. Curcol nggak jelas. Wkwkwkwk. Yeah…
finally, see you guys!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar