Minggu, 03 November 2013

Surat Kaleng Sang Senior

Lampiran

Dengan ini saya Aristi Aminna Dian Pradana menyatakan bahwa cerpen berjudul Surat Kaleng Sang Senior orisinil dan belum pernah dipublikasikan ke media manapun sebelumnya. Kepada pihak Aneka Yess! mohon mempublikasikan cerpen saya. Terimakasih atas perhatian dan kesediaannya untuk mempublikasikan cerpen saya.

















Tertanda
Aristi Pradana


Surat Kaleng Sang Senior
Pena bertinta hitam itu masih berkeras berada dalam pelukan kelima jari Dria. Pena itu belum mendapat komando untuk menuangkan ide sang empunya ke atas kertas. Padahal kini jarum jam telah merujuk pada angka 2 pagi. Dria memang sedang dilanda badai bingung. Semua junior di pramukanya diharuskan membuat surat cinta untuk para seniornya, dan akan dibacakan di acara api unggun nanti malam.
Dria bingung harus menguntai kata serupa apa agar suratnya nampak paling berkesan di mata senior terkasihnya. Memang, ini hanya ajang hura-hura untuk meramaikan acara api unggun. Namun Dria berniat menggunakan surat ini sebagai jembatan nyata untuk memintal cintanya dengan Kak Faro, senior pujaannya.
Dria bukan penyair. Nilai Bahasa Indonesianya juga ngepas. Kalau begitu pasti surat cintanya gak romantis dan datar abis! Hopeless, ia melirik secarik kertas di hadapannya yang masih sepi akan tulisan. Yang tertoreh barulah sebaris salam, Dear senior 3. Maksud dari senior 3 adalah nomor urut setiap senior. Aturannya memang tidak boleh menuliskan nama melainkan nomer urut sang senior.
Triiing....di tengah kehopelessan, tiba-tiba otaknya berdering nyaring menandakan ada ide terinstal di otaknya. “Hmm...kalo gak bisa romantis kenapa gak ngajak perang aja,” pikir Dria. Agar suratnya dibaca oleh Kak Faro, suratnya harus menarik. Agar suratnya menarik, suratnya harus beda. Kalau yang lain isinya cuma penjabaran cinta, surat Dria akan berisi deretan makian alias surat kaleng. Dengan begitu perhatian Kak Faro pasti terenggut. Setelah itu tinggal pembersihan nama.
Kalau urusan maki-memaki, Dria tinggal mengingat detik-detiknya bersama Alfa yang tak pernah menyentuh kata damai. Alfa juga salah satu seniornya. Dia orang terrese dalam jajaran top ten rese peoples menurut Dria. Alfa sering banget mengeritiknya sebagai pinsa (ketua regu). Alfa seperti mencari-cari kesalahan Dria. Makanya Dria benci banget sampai ia berani membentak-bentak Alfa. Padahal jabatan Alfa cukup berbahaya untuk dibentak. Yaitu Ketua 1. Dria bisa saja diseret ke pembina, lalu ke guru BP, lalu ke Kepala Sekolah, lalu di seret ke rumah dan dilarang menginjakkan kaki lagi di SMAnya. Untungnya Alfa tidak pernah melaporkannya walau jutaan semburan bentakkan dihujankan Dria.
Dria mulai mengremind detik-detik bersama Alfa. Kalimat ketus Alfa, ke-sok-tau-an Alfa, kejaiman Alfa, semua itu membuat Dria punya cita-cita jangka pendek. Yaitu meninju hidung mancung Alfa yang selama ini menjadi mahkotanya dalam mendongkrak pesonanya di depan kaum hawa.
Dari semua itu lahirlah surat yang sangat ringkas namun cukup dapat memacu darah tinggi kumat. Sebuah surat kaleng dengan Alfa sebagai ilustrasi tokohnya. Itulah yang akan diberikannya pada Faro. Kini Dria tinggal menyemplungkannya ke dalam amplop pink dan menuliskan inisialnya― nama pengirim harus ditulis dengan inisial―Yaitu DTM. Driana Tisha Mafadi.
@@@
 “Nah, ini dia acara yang paling kita tunggu. Pembacaan surat cinta. Gimana kalo kita mulai dari....senior 3!” Pilihan yang dijatuhkan Kak Rio sebagai presenter di malam api unggun itu kontan membuat Dria super girang. Senior 3 = Kak Faro!
Dria langsung buru-buru dandan instan dan tanya sana-sini meminta orang lain mengapresiasi penampilannya, “Eh... cantik gue masih nempel kan? Nggak ngilang kemana-mana kan?”
 “Masih. Lo kan udah ngabisin 2 botol lem kayu. Nggak bakal lepas tuh cantik,” jawab Ane asal, sekedar untuk melegakkan Dria. Tapi toh itu cukup melegakkannya juga.
Kak Faro pun maju sambil menenteng selembar surat, “Surat ini berasal dari sanggah (kelompok) Apel dan berinisial DTM,” tuturnya membuat Dria semakin girang. Sanggah Apel dan DTM! Cocok banget!
“DTM adalah... Dri...” Kak Faro memperlambat tempo bicaranya untuk menambah aksen dramatis. Tapi justru itu membuat Dria geregetan. Kelamaan! Bilang aja Dria! “Dri....silia Dewanti” lanjut Kak Faro.
Gubrak! Dada Dria tiba-tiba sesak seperti di banting. What the...? Bukan suratnya yang dibaca? Bagaimana bisa?! Padahal suratnya jelas-jelas paling mencolok secara fisik maupun isi! Kenapa bukan suratnya?! Udah dibela-belain bertapa sampai jam 2 pagi cuma buat nyari ilham, dan sekarang suratnya gak dibaca! Kontan Dria jadi bad mood. Ia malas melihat adegan demi adegan yang menceritakan si centil Lia alias Drisilia sedang menyemai benih-benih flirting untuk pangerannya.
Dria sibuk ngedumel sendiri dalam hati. Sampai ia tak sadar bila kini telah gantian pembacaan surat lainnya. “Habis senior 3, kita ke senior...Berapa ya? 13 deh. Kak Alfa silakan maju!” pekik Kak Rio.
“Halah Alfa! Berani taruhan dia sama sekali gak dapet surat cinta!” gumam Dria pada dirinya sendiri.
“Gue yakin lo kalah taruhan! Melek donk, Dri! Alfa itu kan cakep gilak!” Dea tiba-tiba menyahut.
“Cakep nenek lo perot! Liat, semua onderdil mukanya itu edisi taun 45. Alias dia itu muka katro!”
“Gak usah belagu lo! Kayak lo bisa ngedapetin dia aja!” protes Dea sarkasme. Dria hanya mendelik sebal menanggapi ocehan sinis Dea yang memang telah menjadi trademarknya dari dulu.
Dria sama sekali tidak berminat untuk memperhatikan Alfa. Tapi mendadak perhatiannya terpaksa tersita karena tiba-tiba telinganya menangkap kalimat berbunyi ‘Driana Tisha Mafadi dari sanggah Apel’ diutarakan oleh Alfa. Awalnya Dria berpikir itu hanya halusinasinya. Tapi bombardir dari kiri-kanannya yang tiba-tiba menyerangnya membuatnya mulai sadar bila suratnya memang nyasar.
“Surat lo juga buat Alfa?!” alis dan bibir Dea menukik tajam ke bawah saat menanyakannya.
“Enggak!” Dria menggeleng cepat.
“Lo kan Tom and Jerry-nan sama dia? Kok lo malah nyatain cinta sih?” Ane ikutan mengintrogasi.
“Gue bilang enggak!” Dria berang.
“Tapi inisial lo ada di sini!”
Deg! Suara tenang Alfa yang tiba-tiba menyeruak ditengah riuh perdebatan itu, berhasil membuat jantung Dria mendadak absen berdetak satu detik. Suratnya untuk....Alfa? Gimana bisa suratnya nyasar?
“DTM itu berarti Driana Tisha Mafadi, nama panjang lo kan? DTM juga berarti Dua Tiga Mei sebagai tanggal lahir lo. Iya kan?” cecar Alfa membuat Dria terpojok dan ternganga. Ternganga karena baru tahu DTM juga bisa berarti tanggal lahirnya dan ternganga karena Alfa ternyata tahu tanggal lahirnya.
“Bisa aja itu kebetulan pas sama gue. Atau lo yang salah liat kali,” Dria berkelit. “Bukan buat senior 13 tapi buat senior....3 mungkin. GR amat sih lo!” Dria masih ngarep senior 3.
 “Masih nyangkal?” Alfa menyeringai lebar, “Jelas-jelas di sini ditulis Dear Senior 13. Dan bukti yang paling kuat adalah, surat kayak gini pastinya cuma lo yang berani nulis!” Alfa menunjukkan surat itu. Dan benar saja. Itu surat Dria yang full akan makian!
“Sebagai pinsa,” Alfa mulai berkhotbah, membuat Dria langsung melengos jenuh. Itu merupakan permulaan kalimat yang sudah sangat sering didengar Dria hingga Dria hapal kelanjutannya.“Lo harusnya bisa memberi contoh untuk bermain jujur. Lo ini pinsa apaan? Pinsa bullshit? Pinsa gak becus? Pinsa―”
FINE!” potong Dria. Ia langsung bangkit dari duduknya, menyabet sepucuk surat di tangan Alfa, dan membacanya dengan sangat-sangat lantang. Ia bosan terus-menerus disalahkan.
 “Dear Senior 13. Elo  itu orang TERRESE, TERNYEBELIN, TERJELEK, TERNAJIS, DAN TERMENJIJIKAN! JANGAN HARAP GUE SUDI NYATAIN CINTA BUAT LO!” teriak Dria dengan penjedaan yang super jelas. Supaya Alfa ngerti sengerti-ngertinya.
Dria ingin berontak. Gimana bisa si angka 3 ini ngajak temennya, si angka 1? Gue kan nulisnya cuma angka 3 gak pake 1. Huh! Angka 13 emang angka sial! Rutuknya. Ia memandang sebal angka 1 dan 3 yang berdiri berdampingan seolah mengejeknya.
Tapi, tunggu. Ada yang aneh dengan angka 1-nya. Dria mengamati angka 1 itu. Angka 1 ini nampak agak cacat. Seperti ditulis dengan tidak sengaja. Wait! Dria ingat. Saat menulisnya tadi pagi-pagi buta di dalam kemah, kaki Ane menyenggol sikunya. Sehingga tak sengaja tercoret dan menyerupai angka 1. Sialan!
“Gak ada yang nyuruh lo bikin surat kaleng,” tandas Alfa, “Sebagai hukumannya, besok malam lo harus bikin surat cinta buat gue dan HARUS ADA KALIMAT MENYATAKAN CINTA KE GUE!” Kalimat itu terdengar lebih mengerikan dari pada kalimat ‘Serahkan harta atau nyawa!’ bagi Dria.
“Tapi sebenernya―”
“CUKUP!” bentakkan Alfa menggelegar memotong kalimat Dria dan memotong kesunyian hutan, “Gue udah sabar ngadepin lo! Kalau lo masih nantang, gue aduin ke pembina!” ancamnya.
Perlahan pertahanan Dria mulai runtuh. Semula ia berani menatap tajam-tajam hingga ke titik terdalam manik mata Alfa. Namun sekarang ia hanya bisa menjatuhkan pandangan pada ujung sepatunya. Ia
tahu kali ini Alfa tidak main-main.
@@@
Gemuruh tepuk pramuka dibaluri yel-yel penyemangat membahana di balik gemerisik dedaunan pohon  jati yang telah ratusan tahun bersemayam di kaki Gunung Salak. Pagi itu terasa dingin. Namun bagi Dria yang membuat suasana pagi itu begitu dingin bukanlah suhu yang dibawah 15°. Melainkan Alfa. Entah mengapa ia merasa tatapan dingin Alfa terus mengawalnya ke manapun ia pergi.
Memang, Alfa mengawasinya. Dalam hati ia berjanji tidak akan mencabut pandangannya dari Dria walau hanya sedetik. Karena ia tahu, sebentar lagi seseorang akan menjahati gadisnya.
@@@
Dria sudah tidak peduli bila keributan ini menguar di udara dan terendus oleh para senior atau seniorita. Ia juga tidak peduli bahwa nasibnya sebagai pinsa akan dipertaruhkan. Yang ia pedulikan sekarang hanyalah menyadarkan Dea bahwa bukan dirinya yang mencuri kalung berlian Dea. Bagaimana bisa kalung itu ada di tasnya sementara mengetahui bila Dea membawa kalung saja tidak.
“Sejak kapan maling mau ngaku, Dri?! Bukti ini udah nunjukin semuanya!” cecar Dea.
“Enggak!” Dria hanya bisa berteriak di tengah keputusasaannya. Kini semua orang melempar pandangan mencerca kepadanya. Ia memaksa kerongkongannya menelan ludah yang rasanya seperti berduri. Ia harap air matanya tidak menitik sekarang.
“Dasar maling! Bener firasat gue. Awalnya gue gak percaya yang ngambil itu elo. Tapi ternyata....”
“Dea, gue berani sumpah kalau gue gak ngambil kalung lo!”
“Makan aja sumpah lo! Sekali maling tetep maling! Tampang lo itu sok alim ya, padahal busuk!” kalimat itu mendarat dengan sangat tidak mulus di hati Dria. Membuat air matanya terperas seketika.
“Ada apa ribut-ribut?”
Mampus lo, Dri! Batin Dria memelas, karena lagi-lagi pemilik suara yang kerap menyarangkan kata-kata ketus di lorong telinganya itu, tiba-tiba menyeruak di tengah pertengkarannya dengan Dea.
Alfa. Ia menempatkan diri dengan benar. Inilah saatnya ia pasang badan sebagai hero di depan Dria.
Tidak seperti sebelumnya, ia hanya menjadi hero di balik punggung Dria.
“Kak, dia nyuri kalungku. Kalungku itu berlian asli dan harganya jutaan,” tuding  Dea tanpa perasaan, “Kak, aku nemuin kalungku di tasnya Dria. Itu berarti dia malingnya!”.
Alfa menggulirkan pandangan pada Dria. Dria menatap Alfa penuh harap. Seakan mengharapkan ada sejumput rasa ingin membela yang terbit di balik mata tajam Alfa. Namun Dria segera sadar dari mimpi yang terlampau mustahil itu. Mana mungkin Alfa yang sangat membencinya mau membelanya?!
“Kak, maling kayak dia harusnya―”
“Udah?” dengan enteng Alfa memotong kalimat Dea. Ia tak tahan melihat Dria menangis. Ia ingin segera menyelamatkan Dria. “Udah puas menghancurkan diri lo sendiri?” tanyanya membuat semua orang mendongak, bingung. “Lo gak perlu repot-repot buang ludah sebanyak ini kalo mau ngehancurin diri sendiri. Karena gak cuma gue kok yang liat lo masukin kalung lo sendiri ke tas Dria,” tuturnya.
Dria tercengang. Semua tercengang. Apa lagi Dea. Ia tak berkutik. Boroknya telah terbongkar.
“Gue gak akan nyidang lo, karena gue masih punya rasa kasihan buat lo. Tapi, pembimbing langsung yang akan nyidang lo, Dea,” tukas Alfa membuat Dea semakin tercekat. “Dan Dria, ikut gue!” perintah Alfa.
@@@
Alfa mengangsurkan selembar sapu tangan pada Dria. Tapi Dria bergeming. Alfa menghela napas. Ia bertekad tetap akan menghapus air mata yang membanjiri pipi Dria. Namun, kehadiran tangan lembutnya di pipi Dria ditampik mentah-mentah oleh Dria. Ditangkapnya sekelebat tangan Alfa dan diambilnya sapu tangan di genggaman Alfa. Lalu diusapnya sendiri pipinya yang basah. “Gue bisa sendiri,” ujarnya lirih.
Sejenak rasa kecewa melingkupi Alfa. Ia kecewa karena niat baiknya yang tersamarkan tak pernah terbaca oleh Dria. Sesekali ia ingin menunjukkan kebaikannya secara terang-terangan. .“Kenapa lo selalu begini?” tanya Alfa lembut. Kelembutnya yang terbilang baru nampak kali ini itu, mengundang rasa penasaran Dria. “Kenapa lo selalu menolak tawaran tulus gue?” Alfa melengkapi kalimatnya yang belum tuntas.
“Maksud lo?”
“Yang lo liat gak seperti apa yang gak lo tau, Dri.” Tatapan Alfa sangat teduh saat mengutarakannya. “Gue tau lo benci gue karena gue selalu nganggep lo salah. Tapi, lo kira itu semua tanpa tujuan?” Tanya Alfa membuat kening Dria senantiasa berkerut bingung. “Ya. Tujuan. Gue galak sama lo karena...musuh lo, Dea dan sahabat gue, Faro, gak suka kalau gue suka sama lo.” jelas Alfa menjawab kebingungan Dria.
Alfa memang selalu berhasil menohok sisi hati Dria yang paling dalam. Entah karena ia bisa membuat Dria marah besar, membuat Dria tercekat, tercengang dan sekarang Alfa sukses membawa Dria ke dalam labirin bertabur tanda tanya. Dea? Faro? Jadi selama ini  ternyata Alfa selalu menyelamatkannya dari Dea? Dan arti kata ‘Faro gak suka kalau Alfa suka Dria?’ Itu berarti cinta Dria kepada Faro terbalas. Tapi di sisi lain, ternyata cowok di hadapannya juga diam-diam menyukainya dari balik tirai keangkuhan yang sengaja dibentangkannya, demi sahabat...
@@@
Saat lidah api yang meliuk-liuk itu tersibak oleh hembusan angin malam, nampak sekilas wajah Alfa yang keemasan diterpa cahaya api unggun sedang mengamatinya. Dria berdiri ketakutan dengan secarik surat cinta terselip di kedua tangannya. Dengan berdirinya ia di tengah lingkaran pramuka ini semua bisa melihatnya dengan leluasa. Termasuk Alfa. Dan itu membuatnya semakin takut.
Dear senior 13,” Dria memulai suratnya, “Jujur, aku gak pinter bikin kata-kata. Dan aku juga gak suka bertele-tele. Jadi to the point aja. Aku cinta kamu. Dan aku berharap kamu ngizinin aku jadi pacarmu,” ujar Dria terburu-buru, karena entah mengapa jantungnya seperti terguncang hebat saat mengutarakannya.
 “Dria!” seseorang memanggilnya. Itu Faro. Apa yang akan dilakukannya? Menembak Dria? Dria harap tidak. Karena ia rasa hatinya telah condong pada Alfa. Dria harap Faro sadar diri bahwa dialah pengganjal hubungannya dengan Alfa. “Dri, lo serasi sama Alfa. Dan...Bro! Maju bro! Jemput tuan putri lo!” Tanpa diduga kalimat itulah yang meluncur dari bibir Faro.
Faro menggiring Alfa ke depan. Alfa menawarkan tanggannya untuk menggandeng Dria. Dan untuk pertama kalinya, bukanlah sebuah penolakan yang menjadi reaksi Dria terhadap tawaran Alfa£
Oleh. Aristi Pradana







Hai! Anyway, ini cerpen keberapa yang gue kirim ke majalah gue udah lupa. Yang jelas nih cerpen selesai gue tulis tanggal 15 September 2011. Media yang gue bidik waktu itu adalah majalah Aneka yess. Dan karena berbulan-bulan nggak ada kabar. Ya udah, berarti nih cerpen udah resmi ditolak. Hehe
Oya, di cerpen ini kan ada lampiran segala tuh. Itu lampirannya salah. Jangan ditiru ya. Hehe maklum masih pemula.
Ya udah deh, komen gue sama kayak cerpen-cerpen gue lainnya yang resmi ditolak media. Waktu gue nulis cerpen ini gue cuma mementingkan pemilihan diksi dan plotting cerita aja. Tapi gue nggak berusaha membuat cerita ini bernyawa. Jadinya ya kesannya fake gitu.
Okelah, thanks gans karena sudah sudi mampir di warung cerpen saya. See you next time. Kayaknya ini cerpen terakhir dari deretan "cerpen yang ditolak redaksi". Karena gue kehilangan file-file cerpen yang dulu pernah gue kirim ke media.
Oke deh. Once again thanks sudah mampir. Semoga postingan ini bisa memberi faedah. (Ceilaaah faedah. Tinggi bener bahasa gue. Hehehe)

1 komentar:

Unknown mengatakan...

bingung bacanya, hehe