Minggu, 03 November 2013

Dramma da Rome (Sandiwara dari Roma)


Cut!” teriakkan Pak Han praktis menghentikan jalannya geladi resik. “Vea, kemari sebentar!” Beliau mengedikkan dagu pada sosok gadis manis yang didaulat memerankan tokoh Putri Isolde.
Pak Han menaikkan kaca matanya yang melorot sebelum berbicara pada gadis manis penyandang nama Vea yang kini telah berdiri di depannya itu. Sepasang manik hitam mata nya yang kental akan ketegasan menulusuri wajah Vea sesaat. Membuat anak didiknya itu harus menetralkan degup jantungnya yang bertalu-talu karena mengira akan menerima hembusan lahar kemarahan.
 “Tatapan matamu ke Pangeran Tristan harusnya memuja karena Tristanlah cinta Isolde,” tukas Pak Han, “Sedangkan ke Raja Marke harusnya biasa saja. Tapi kenapa kamu malah membaliknya?!”
“Maaf, Pak. Saya akan berusaha lagi.” Vea menunduk, galau. Ia belum bisa mengekspresikan jatuh cinta pada sosok Pangeran Tristan yang diperankan Ryd karena ia membenci Ryd. Ia juga belum bisa mengekspresikan rasa benci pada sosok Raja Marke yang diperankan Tristan karena ia mencintai Tristan. Ia tahu ia harus profesional. Tapi, prahara yang membalur ketiganya amat sukar diusir sejenak demi totalitas akting. Ia masih memainkan hatinya di kehidupan nyata. Lagipula mengapa Pak Han tidak memilih Tristan yang memerankan Pangeran Tristan? Nama keduanya saja sudah ditakdirkan sama.
*
Berbutir-butir bintang yang tersemai di langit Roma kian meleburkan romantisme drama Tristan dan Isolde. Teater outdoor yang digelar di halaman Universitas La Sapienza ini cukup berhasil mengumpulkan para pemuda Indonesia yang menempa ilmu di Roma, serta para WNI yang tinggal di sana. Pertunjukkan ini memang untuk ajang kumpul orang Indonesia.

Sembari menunggu gilirannya tampil, Vea sibuk melakukan re-reading dengan orang yang paling ia benci. Ryd. Perannya sebagai Isolde menuntutnya banyak menghabiskan waktu dengan Ryd.
Seharusnya Tristan pemeran Pangeran Tristan. Karena ia murni memiliki bakat akting. Sedangkan Ryd, ia hanya modal tampang dan uang sogokan! Hatinya menggerutu masih tak terima.
“Seneng ya bisa ngalahin abang sendiri?” ia mencoba sedikit renyah.
Ryd menyeringai, “Tristan? Ya, abang tiriku itu memang jago akting. Tapi akhirnya aku pemeran utamanya kan? Dan dia hanya peran kedua.”
Well, Kamu hebat. Selama ini gak ada anak teater yang bisa nyaingin bakat alami Tristan. Kalaupun ada pasti nyogok. Haha...najis banget!” sindirnya.
Ryd berpura-pura mengumbar tawa menganggap hal itu bodoh. Padahal di hatinya rasa malu jelas terpapar. Vea tahu tabiat Ryd yang satu ini dan dalam hati ia menertawakannya. Itu sangat menyenangkan. Seperti berhasil melucuti topeng bidadari milik si buruk rupa yang mengaku secantik bidadari.
Tak lama kemudian, sosok Tristan turun dari panggung. Vea pun buru-buru mengejarnya dan  tak lupa mengatakan alasan klise kepada Ryd sebelum melenggang pergi, “Aku mau ke toilet!”
*
Tristan berdiri di jembatan kuno yang melengkung di atas kanal kecil tak jauh dari area teater. Pandangannya begitu serius menjurus pada riak sungai yang memantulkan sepotong bulan sabit.
Vea meredam bunyi langkah stilettonya agar Tristan tak pergi bila tahu ia datang.
“Mau apa ke sini?” Deg! Belum ada 5m ia mendekat, Tristan sudah menegurnya.
Sedikit kendur niatnya, tapi ia tetap memberanikan diri. “Boleh ngobrol sebentar? Kita udah lama gak ngobrol.”
“Habis ini adeganku,” tukas Tristan tanpa menaruh pandangan sedikit pun padanya dan buru-buru bertolak pergi.
Namun, ia segera menangkap tangan Tristan, menghalanginya pergi. “Gak baca script ya? Masih ada 2 scene lagi baru adeganmu.”
Tristan melepaskan gamitan lembut Vea yang membungkus lengannya. “Sori, aku mau ke toilet!”
Alasan basi! Batin Vea geram. “Gak! Kamu gak mau ke toilet. Aku tahu itu karena aku juga sering pakai alasan itu!” Ia mencegat langkah Tristan dan berdiri di hadapannya, “Aku punya hak untuk memilih, Tristan! Dan aku milih kamu!”
Tristan masih tak menatapnya sama sekali. Sikapnya begitu dingin sekarang. “Aku juga punya hak untuk menolak!”
“Atas dasar apa kamu menolak? Karena balas budi kepada ayah angkatmu? Karena ia telah berjasa kepada keluargamu dan kamu harus balas budi kepadanya dengan menyerahkan aku ke adik tirimu, Ryd?” Vea terengah-engah mengatakannya. Dadanya sampai naik turun terbawa emosi. “Kamu pikir aku bola yang bisa dioper-oper? Kamu gak mikir bola itu kesakitan ditendang-tendang?! Kamu gak gentle! Kamu gak ngehargain aku sebagai manusia! Kamu cuma mikirin dirimu sendiri dan nganggep aku barang barter!”
“Tristan, Vea! Ada instruksi sebentar!”
Suara itu memaksa Vea menahan kegeramannya yang kian menjadi karena suara itu menyebabkan Tristan pergi secara legal. Tristan terselamatkan oleh Pak Han!
Vea mendesah. “Kenapa kamu membuat cerita kita seperti kisah Tristan dan Isolde, Tristan?”
*
Tristan dan Isolde adalah legenda dari daratan Eropa pada jaman medievale1. Kisah ini mengisahkan cinta segitiga dimana Tristan harus menyerahkan gadis pujaannya, Isolde, kepada ayah angkatnya, Raja Marke. Pada akhirnya Isolde memang menikah dengan Raja Marke, namun diam-diam ia menjalin hubungan terlarang dengan Tristan.
Dan versi Tristan-Vea-Ryd pun memiliki kisah yang tak jauh beda. Tristan harus menyerahkan gadis pujaannya, Vea, kepada saudara tirinya, Ryd. Tapi bedanya, Vea dan Tristan tidak menjalin hubungan gelap walaupun menurut presepsi orang mereka memiliki hubungan spesial...
*
Didukung Backdrop2 taman, dan follow spot3 yang sempurna, adegan romantis Tristan dan Isolde sukses menghanyutkan penonton ke dalam ke-kartasis4-an.
Pangeran Tristan membelai sayang rambut Isolde. Malam ini akting Ryd sangat natural. Pandangan penuh kasihnya menghujan deras di matanya. Entahlah mungkin ia melibatkan perasaan pribadinya yang memang mengincar Vea. Sebaliknya, Vea melakukan semua adegan ini hanya atas dasar profesionalisme. Tidak lebih. Titik.
Di balik layar, diam-diam sosok Tristan selalu membidik setiap adegan yang dimainkan Vea. Hatinya kian retak tatkala adegan Pangeran Tristan mendaratkan kecupan di dahi Isolde. Sudah cukup sepanjang adegan tangan Vea diremat Ryd. Hatinya bak digurat lidah api cemburu. Tapi ia harus mulai membiasakan diri. Karena Ryd akan menuangkan semua adegan ini ke dalam alur nyata kehidupan kelak bila ia melepas gadisnya.
Tristan tak ingin melepas Vea. Tapi Ryd harus mendapatkan Vea. Ia terdiam. Abstain. Ia biarkan hatinya menelan ketidakpastian.
*
Gemuruh di dada Tristan kian meraja. Inilah saatnya ia sepanggung dengan Vea. adegan Raja Marke dengan Isolde akhirnya tiba. Itu sebabnya ia begitu gugup berakting. Ia belum siap menatap Vea. apalagi di scene ini ada adegan Raja Marke menyatakan cintanya pada Isolde, yang berarti ia menyatakan cinta pada Vea....
Di scene ini dikisahkan di acara makan malam, dusta Isolde terkuak karena saat Raja Marke menyatakan cintanya, Isolde tak sengaja malah menyebut nama Tristan bukan nama Raja Marke.
Sementara Vea, ia mengebalkan telinganya agar saat untaian kata cinta Tristan mengalun begitu merdu di lorong telinganya, ia tak melambung karena itu hanya dialog. Bukan kenyataan. Ia juga berusaha memingit hatinya di lingkup sandiwara. Aku adalah putri Isolde...batinnya.
Atmosfer canggung mulai membungkus. Mereka duduk berhadapan terpisahkan meja makan bergaya Baroque5.
“Isolde.” Diraihnya jemari lentik Vea yang terkulai anggun di sisi meja.  Ia menelan ludah susah payah. Inilah saatnya. Aku adalah Raja Marke... Bisiknya menstimulus diri.
 “Isolde, kau adalah ratuku...wanitaku...penghuni hatiku...pemilik cintaku,” desahnya mengungkapkan perasan Raja Marke yang sebenarnya selama ini juga sangat ingin ia ungkapkan. “Isolde, apakah aku juga pemilik cintamu?” Raja Marke menatap Isolde, menunggu jawaban.
Vea membeku. Akting Tristan yang menawan memburaikan pertahanannya. Ia terbuai dialog sakti Tristan dan melupakan kata pertama dalam kalimat itu.
“Vea,” Tristan mengguncang pelan tangan Vea, menyadarkan.
Vea terhenyak. Lalu lamat-lamat ia mengucapkan dialognya, “Aku...sangat mencintaimu...Tristan.” Vea menatap Tristan. Begitu dalam. Tristan dapat membaca tatapan mata Vea yang menegaskan bila Tristan yang Vea maksud bukanlah Tristan-nya Isolde. Melainkan ia. Hatinya remuk. Vea mencintainya begitu tulus. Tapi, ia harus melepasnya.
Di atas panggung, batin mereka saling terkoneksi. Tak ada yang tahu apa yang sedang terjadi di atas panggung sebenarnya. Ini bukan kisah Tristan & Isolde. Tapi Tristan & Vea.
“Raja Marke marah!” tiba-tiba Pak Han berbisik dari balik tirai, mengingatkan.
Tristan sedikit geragapan dan segera ingat dialognya. “Isolde, apa yang kau katakan?”
“Em...m-maksudku, aku mulai mencintai Tristan sebagai anakku, Raja.”
“Bohong! Kalian berhubungan di belakangku!” tuding Raja.
Kini, panggung yang sesungguhnya telah kembali. Raja Marke yang sedang murka kepada Isolde-lah yang ada di atas panggung.
“Pengawal, panggil Tristan!”
Ryd naik ke atas panggung sebagai Pangeran Tristan dan langsung meluncur bersujud di kaki Raja. “A-aku...mengaku bersalah. Ampuni aku, Ayah!” pintanya.
 “Aku bukan ayahmu! Kau hanya anak angkat!” bentak Raja. Bug! Tanpa belas kasih, Raja menendangnya. “Dasar anak hina!”
Pangeran terisak dan merangkak kembali meminta ampun, “Ayah, ampuni anak angkatmu yang hin―”
 “KAU BUKAN LAGI PANGERAN KERAJAAN CORNWALL! MENJIJIKAN! ANAK ANGKAT TAK TAHU DIRI! KAU TAK LAYAK HIDUP!” Bug! Lagi, Raja menendangnya  seperti menyingkirkan kucing kotor dari kakinya.
Ryd berakting terjerembab. Sedetik kemudian ia bangkit dari jatuhnya. Namun, ada yang ganjil di air mukanya. Seperti ekspresi marah dan tidak terima.
“DASAR ANAK ANGKAT ! KAU SAMPAH!”
“CUKUP!” Ryd tiba-tiba memotong dialog Tristan. Ada apa dengannya?
Bug! Tiba-tiba Ryd menghunuskan tinju di ulu hati Tristan. “Kau yang tak tahu diri, kau yang sampah, bodoh! Ayahku telah menyisihkan uang untuk pengemis sepertimu hingga kau bisa kuliah di Roma! Dan sekarang kau berniat mengambil Vea? Hah?! ”desis Ryd. Ini tak ada di script! Ryd tersulut emosi. Ia tak terima dikatai menjijikan, sampah, dan sebagainya karena menurutnya yang patut dipredikati kata itu adalah Tristan, si anak angkat.
“Ryd! Akting!” Tristan mengingatkan Ryd. Namun Ryd makin beringas. Semua orang tercengang. Para pemain yang ada di atas panggung bingung harus berbuat apa.
“Hei! Apa mereka masih berakting? Orang itu benar-benar berdarah!” pekik salah seorang penonton. Sial! Para penonton yang tadinya mengira itu bagian akting mulai cemas saat bibir Tristan sobek dan berdarah terkena tinju Ryd.
“Bodoh! Apa maksud Ryd?!” di balik layar, Pak Han khawatir. Ini bukan plotnya!
Mengerti drama ini di ujung tanduk, Vea segera ambil bagian walau ini bukan gilirannya. “Stop!” Ia menarik Ryd. “Tristan, ia ayahmu. Kau bukan pendendam! Jangan lakukan itu!” Ia memisahkan keduanya dengan topeng Isolde.
Ryd menatap Vea, bingung. Yang diucapkan Vea tak ada di script. Ia tak tahu Vea berimprovisasi. Ilmu aktingnya terlalu dangkal.
Alih-alih kasihan pada Tristan, Vea berpura-pura membatu Raja Marke. “Raja, Biar kubantu berdiri,” Isolde hendak mendirikan Raja. Tapi tanpa kasihan Raja malah mendorong Isolde hingga tersungkur.
“Aku terlalu suci kau sentuh!” bentak Raja tak begitu jelas dengan bibir berdarah-darah. Tristan menahan nyeri.
“Raja...maafkan kami!” Isolde kembali mengemis.
“Untuk apa memaafkan perempuan jalang sepertimu!” Sama seperti memperlakukan Pangeran Tristan, Raja juga menendang Isolde.
“Raja....” Isolde menghambur kembali bersujud di kaki raja dengan lelehan air mata.
Drama kembali berjalan normal. Bahkan lebih apik. Beberapa adegan yang hilang karena insiden Ryd, tak disadari penonton. Para penonton bahkan tak rela berkedip demi menontonnya. Di balik tirai, Pak Han tersenyum penuh rasa bangga terhadap pemainnya yang dapat melakukan improvisasi.
Sementara Ryd, ia menyadari bahwa bakat akting tak bisa dibeli. Ia malu kepada kakak tirinya, Tristan. Perlahan, ia ikut dalam improvisasi. Ia mau bersimpuh di kaki Tristan untuk akting dan... untuk semua tindakkannya kepada Tristan.
“Maafkan aku...,” mohon Ryd. “Tristan,” tambahnya lirih.
Tristan mendengar bukan nama Raja Marke yang disebut Ryd, melainkan namanya. Ia tersenyum samar kepada adik tirinya di balik akting penuh kemarahan yang sedang dilakoninya.
*
Cosa desidera da ordine?6 Pelayan itu menyuguhkan menu.
Prendero questo7,” Vea menunjuk gelato rasa fichi di kertas menu.
Si pelayan mencatat pesanan Vea lalu berganti menyodorkan kertas menu pada Tristan.
Stesso8.” Tristan menolak kertas menu itu. Lantas, si pelayan mengangguk dan segera hilang di keramaian kafe kecil di sudut kota Roma itu.
Disinilah, Tristan mengajak Vea untuk bertemu setelah sekian lama ia menarik diri begitu jauh dari Vea. Ia ingin menunjukkan sikap jantan. Ia ingin meminta maaf. Tapi ternyata itu tak semudah kelihatannya. Beberapa menit suasana kikuk menguasai mereka. Mereka hanya melakukan gerakan-gerakan tidak penting seperti garuk-garuk kepala dan mengubah posisi duduk, menandakan bila mereka salah tingkah.
Hanya agar ada sesuatu yang bisa dikerjakan, Tristan berinisiatif hendak mengeruk beberapa sendok gula dari cangkir gula di tengah meja untuk coffe late-nya. Tapi tak disangka, ternyata Vea memiliki ide yang sama. Akhirnya kedua tangan mereka bertemu di gagang sendok gula kuno bergambar Marcopolo itu. Keadaan pun menjadi semakin kikuk.
“Maaf,” Vea mengalah dan menarik tangannya. Namun, Tristan segera menariknya lagi. Takkan dibiarkannya Vea hilang dari genggamannya, lagi.
“Aku yang minta maaf,” tuturnya kalem. “Kamu sudah terlalu banyak mengalah.” didorongnya cangkir gula itu pada Vea.
Vea tercenung sejenak. Lekas, ia menngangsurkan gula ke dalam coffe lattenya sebanyak dua sendok.  Namun, di sendokkan kedua riak wajahnya berubah seperti terkejut dan ia menunda menakarkan gula itu ke dalam lautan coffe latte. Ia tertarik pada gundukkan gula di sendok itu. Sepertinya gundukkan gula itu mengubur sesuatu.
“Punya siapa ya?” Vea menemukan selingkar cincin terkubur di dalamnya. Diamatinya cincin itu. Ia tertawa kecil saat mengetahui hiasan cincin itu ternyata berbentuk televisi. Unik. Pikirnya.
“Televisi dilambangkan huruf T & V yang berarti Tristan dan Vea,” jelas Tristan tenang. Dikeluarkannya sebuah cincin yang sama persis dari sakunya.
Riak mata bening Vea seketika terperangah dibuatnya. “K-kamu...”
“Aku minta maaf, karena telah mencampakkanmu dan karena....terlalu lama memutuskan bertunangan.”
T-t-tristan....melamarnya? Benarkah? Speachless, Vea hanya bisa tertawa renyah dibarengi kilatan-kilatan air mata yang tanpa seizinnya menutupi kebeningan matanya.
Tristan tersenyum teduh dan mengeluarkan sehelai sapu tangan wanginya, “Dasar cewek! Aku udah siapin ini!” disodorkannya sapu tangan itu.
Lagi. Vea dibuatnya tak bisa berujar apa-apa. Di ujung sapu tangan itu terdapat jahitan huruf yang sangat tidak rapi yang membuktikan bahwa si penjahit itu adalah Tristan sendiri. Dan jahitan itu bertuliskan Ti amo9...
Ti amo troppo10, Tristan....”

Oleh. Aristi Pradana
Glosarium


1)        Abad pertengahan
2)        Latar belakang
3)        Lampu spot yang dapat mengikuti arah gerak pemain
4)        Pencucian jiwa
5)        Gaya interior abad ke-16 bernuansa klasik
6)        Mau pesan apa?
7)        Saya pilih yang ini
8)        Sama
9)        Aku mencintaimu
10)    Aku juga mencintaimu (Italia)



Hai-hai, ya itu tadi cerpen gue yang ditolak redaksi. Cerpen ini dulu mau gue kirim ke majalah Story. Nih cerpen gue tulis bulan Maret 2011. Di cerpen ini gue belum ngerti bahwa pentingnya sebuah cerpen itu adalah bagaimana membuat cerpen itu terasa "bernyawa". Di cerpen ini gue cuma berusaha tampil bagus dengan senjata "diksi". Padahal untuk nyiptain cerpen bagus itu nggak perlu diksi tingkat tinggi. Dengan diksi minimalis pun sebuah cerita juga bakalan jalan dan berasa apik. Kayak novel-novelnya Mbak Orizuka. Menurut gue novel beliau terasa apik justru karena diksinya yang minimalis. 
Ya udah deh, itu tadi persembahan cerpen dari gue. Thanks udah mampir baca-baca ya :D

NB: O ya, nih cerpen sama sekali nggak mengalami perbaikin. Cerpen ini keadaannya bener-bener sama kayak ketika nih cerpen gue kirim ke majalah.









Tidak ada komentar: