“Cut!” teriakkan
Pak Han praktis menghentikan jalannya geladi resik. “Vea, kemari sebentar!” Beliau
mengedikkan dagu pada sosok gadis manis yang didaulat memerankan tokoh Putri
Isolde.
Pak Han menaikkan
kaca matanya yang melorot sebelum berbicara pada gadis manis penyandang nama
Vea yang kini telah berdiri di depannya itu. Sepasang manik hitam mata nya yang
kental akan ketegasan menulusuri wajah Vea sesaat. Membuat anak didiknya itu harus
menetralkan degup jantungnya yang bertalu-talu karena mengira akan menerima hembusan
lahar kemarahan.
“Tatapan matamu ke Pangeran Tristan harusnya
memuja karena Tristanlah cinta Isolde,” tukas Pak Han, “Sedangkan ke Raja Marke
harusnya biasa saja. Tapi kenapa kamu malah membaliknya?!”
“Maaf, Pak. Saya akan
berusaha lagi.” Vea menunduk, galau. Ia belum bisa mengekspresikan jatuh cinta pada
sosok Pangeran Tristan yang diperankan Ryd karena ia membenci Ryd. Ia juga
belum bisa mengekspresikan rasa benci pada sosok Raja Marke yang diperankan Tristan
karena ia mencintai Tristan. Ia tahu ia harus profesional. Tapi, prahara yang
membalur ketiganya amat sukar diusir sejenak demi totalitas akting. Ia masih memainkan
hatinya di kehidupan nyata. Lagipula mengapa Pak Han tidak memilih Tristan yang
memerankan Pangeran Tristan? Nama keduanya saja sudah ditakdirkan sama.
*
Berbutir-butir
bintang yang tersemai di langit Roma kian meleburkan romantisme drama Tristan
dan Isolde. Teater outdoor yang digelar di halaman Universitas La
Sapienza ini cukup berhasil mengumpulkan para pemuda Indonesia yang
menempa ilmu di Roma, serta para WNI
yang tinggal di sana. Pertunjukkan ini memang untuk ajang kumpul orang
Indonesia.
Sembari menunggu
gilirannya tampil, Vea sibuk melakukan re-reading dengan orang
yang paling ia benci. Ryd. Perannya sebagai Isolde menuntutnya banyak menghabiskan
waktu dengan Ryd.
Seharusnya Tristan pemeran
Pangeran Tristan. Karena ia murni memiliki bakat akting. Sedangkan Ryd, ia hanya
modal tampang dan uang sogokan! Hatinya menggerutu masih tak terima.
“Seneng ya bisa
ngalahin abang sendiri?” ia mencoba sedikit renyah.
Ryd menyeringai, “Tristan?
Ya, abang tiriku itu memang jago akting. Tapi akhirnya aku pemeran utamanya
kan? Dan dia hanya peran kedua.”
“Well, Kamu
hebat. Selama ini gak ada anak teater yang bisa nyaingin bakat alami Tristan.
Kalaupun ada pasti nyogok. Haha...najis banget!” sindirnya.
Ryd berpura-pura mengumbar
tawa menganggap hal itu bodoh. Padahal di hatinya rasa malu jelas terpapar. Vea
tahu tabiat Ryd yang satu ini dan dalam hati ia menertawakannya. Itu sangat
menyenangkan. Seperti berhasil melucuti topeng bidadari milik si buruk rupa
yang mengaku secantik bidadari.
Tak lama kemudian, sosok
Tristan turun dari panggung. Vea pun buru-buru mengejarnya dan tak lupa mengatakan alasan klise kepada Ryd
sebelum melenggang pergi, “Aku mau ke toilet!”
*
Tristan berdiri di
jembatan kuno yang melengkung di atas kanal kecil tak jauh dari area teater. Pandangannya
begitu serius menjurus pada riak sungai yang memantulkan sepotong bulan sabit.
Vea meredam bunyi
langkah stilettonya agar Tristan tak pergi bila tahu ia datang.
“Mau apa ke sini?” Deg!
Belum ada 5m ia mendekat, Tristan sudah menegurnya.
Sedikit kendur
niatnya, tapi ia tetap memberanikan diri. “Boleh ngobrol sebentar? Kita udah
lama gak ngobrol.”
“Habis ini
adeganku,” tukas Tristan tanpa menaruh pandangan sedikit pun padanya dan buru-buru
bertolak pergi.
Namun, ia segera menangkap
tangan Tristan, menghalanginya pergi. “Gak baca script ya? Masih ada 2 scene
lagi baru adeganmu.”
Tristan melepaskan gamitan
lembut Vea yang membungkus lengannya. “Sori, aku mau ke toilet!”
Alasan basi! Batin Vea
geram. “Gak! Kamu gak mau ke toilet. Aku tahu itu karena aku juga sering pakai
alasan itu!” Ia mencegat langkah Tristan dan berdiri di hadapannya, “Aku punya
hak untuk memilih, Tristan! Dan aku milih kamu!”
Tristan masih tak
menatapnya sama sekali. Sikapnya begitu dingin sekarang. “Aku juga punya hak
untuk menolak!”
“Atas dasar apa kamu
menolak? Karena balas budi kepada ayah angkatmu? Karena ia telah berjasa kepada
keluargamu dan kamu harus balas budi kepadanya dengan menyerahkan aku ke adik
tirimu, Ryd?” Vea terengah-engah mengatakannya. Dadanya sampai naik turun
terbawa emosi. “Kamu pikir aku bola yang bisa dioper-oper? Kamu gak mikir bola itu
kesakitan ditendang-tendang?! Kamu gak gentle! Kamu gak ngehargain aku
sebagai manusia! Kamu cuma mikirin dirimu sendiri dan nganggep aku barang
barter!”
“Tristan, Vea! Ada
instruksi sebentar!”
Suara itu memaksa
Vea menahan kegeramannya yang kian menjadi karena suara itu menyebabkan Tristan
pergi secara legal. Tristan terselamatkan oleh Pak Han!
Vea mendesah. “Kenapa
kamu membuat cerita kita seperti kisah Tristan dan Isolde, Tristan?”
*
Tristan dan Isolde
adalah legenda dari daratan Eropa pada jaman medievale1. Kisah
ini mengisahkan cinta segitiga dimana Tristan harus menyerahkan gadis
pujaannya, Isolde, kepada ayah angkatnya, Raja Marke. Pada akhirnya Isolde
memang menikah dengan Raja Marke, namun diam-diam ia menjalin hubungan
terlarang dengan Tristan.
Dan versi Tristan-Vea-Ryd
pun memiliki kisah yang tak jauh beda. Tristan harus menyerahkan gadis
pujaannya, Vea, kepada saudara tirinya, Ryd. Tapi bedanya, Vea dan Tristan
tidak menjalin hubungan gelap walaupun menurut presepsi orang mereka memiliki
hubungan spesial...
*
Didukung Backdrop2
taman, dan follow spot3 yang sempurna, adegan romantis Tristan
dan Isolde sukses menghanyutkan penonton ke dalam ke-kartasis4-an.
Pangeran Tristan
membelai sayang rambut Isolde. Malam ini akting Ryd sangat natural. Pandangan
penuh kasihnya menghujan deras di matanya. Entahlah mungkin ia melibatkan
perasaan pribadinya yang memang mengincar Vea. Sebaliknya, Vea melakukan semua
adegan ini hanya atas dasar profesionalisme. Tidak lebih. Titik.
Di balik layar, diam-diam
sosok Tristan selalu membidik setiap adegan yang dimainkan Vea. Hatinya kian retak
tatkala adegan Pangeran Tristan mendaratkan kecupan di dahi Isolde. Sudah cukup
sepanjang adegan tangan Vea diremat Ryd. Hatinya bak digurat lidah api cemburu.
Tapi ia harus mulai membiasakan diri. Karena Ryd akan menuangkan semua adegan
ini ke dalam alur nyata kehidupan kelak bila ia melepas gadisnya.
Tristan tak ingin
melepas Vea. Tapi Ryd harus mendapatkan Vea. Ia terdiam. Abstain. Ia biarkan
hatinya menelan ketidakpastian.
*
Gemuruh di dada Tristan kian meraja. Inilah saatnya ia sepanggung
dengan Vea. adegan Raja Marke dengan Isolde akhirnya tiba. Itu sebabnya ia
begitu gugup berakting. Ia belum siap menatap Vea. apalagi di scene ini
ada adegan Raja Marke menyatakan cintanya pada Isolde, yang berarti ia
menyatakan cinta pada Vea....
Di scene ini
dikisahkan di acara makan malam, dusta Isolde terkuak karena saat Raja Marke
menyatakan cintanya, Isolde tak sengaja malah menyebut nama Tristan bukan nama
Raja Marke.
Sementara Vea, ia
mengebalkan telinganya agar saat untaian kata cinta Tristan mengalun begitu
merdu di lorong telinganya, ia tak melambung karena itu hanya dialog. Bukan
kenyataan. Ia juga berusaha memingit hatinya di lingkup sandiwara. Aku adalah
putri Isolde...batinnya.
Atmosfer canggung
mulai membungkus. Mereka duduk berhadapan terpisahkan meja makan bergaya Baroque5.
“Isolde.” Diraihnya
jemari lentik Vea yang terkulai anggun di sisi meja. Ia menelan
ludah susah payah. Inilah saatnya. Aku adalah Raja Marke... Bisiknya
menstimulus diri.
“Isolde, kau adalah ratuku...wanitaku...penghuni
hatiku...pemilik cintaku,” desahnya mengungkapkan perasan Raja Marke yang
sebenarnya selama ini juga sangat ingin ia ungkapkan. “Isolde, apakah aku juga
pemilik cintamu?” Raja Marke menatap Isolde, menunggu jawaban.
Vea membeku. Akting
Tristan yang menawan memburaikan pertahanannya. Ia terbuai dialog sakti Tristan
dan melupakan kata pertama dalam kalimat itu.
“Vea,” Tristan mengguncang
pelan tangan Vea, menyadarkan.
Vea terhenyak. Lalu
lamat-lamat ia mengucapkan dialognya, “Aku...sangat mencintaimu...Tristan.” Vea
menatap Tristan. Begitu dalam. Tristan dapat membaca tatapan mata Vea yang menegaskan
bila Tristan yang Vea maksud bukanlah Tristan-nya Isolde. Melainkan ia. Hatinya
remuk. Vea mencintainya begitu tulus. Tapi, ia harus melepasnya.
Di atas panggung,
batin mereka saling terkoneksi. Tak ada yang tahu apa yang sedang terjadi di
atas panggung sebenarnya. Ini bukan kisah Tristan & Isolde. Tapi Tristan &
Vea.
“Raja Marke marah!”
tiba-tiba Pak Han berbisik dari balik tirai, mengingatkan.
Tristan sedikit
geragapan dan segera ingat dialognya. “Isolde, apa yang kau katakan?”
“Em...m-maksudku,
aku mulai mencintai Tristan sebagai anakku, Raja.”
“Bohong! Kalian berhubungan
di belakangku!” tuding Raja.
Kini, panggung yang
sesungguhnya telah kembali. Raja Marke yang sedang murka kepada Isolde-lah yang
ada di atas panggung.
“Pengawal, panggil
Tristan!”
Ryd naik ke atas
panggung sebagai Pangeran Tristan dan langsung meluncur bersujud di kaki Raja. “A-aku...mengaku
bersalah. Ampuni aku, Ayah!” pintanya.
“Aku bukan ayahmu! Kau hanya anak angkat!”
bentak Raja. Bug! Tanpa belas kasih, Raja menendangnya. “Dasar anak hina!”
Pangeran terisak
dan merangkak kembali meminta ampun, “Ayah, ampuni anak angkatmu yang hin―”
“KAU BUKAN LAGI PANGERAN KERAJAAN CORNWALL!
MENJIJIKAN! ANAK ANGKAT TAK TAHU DIRI !
KAU TAK LAYAK HIDUP!” Bug! Lagi, Raja menendangnya seperti menyingkirkan kucing kotor dari
kakinya.
Ryd berakting
terjerembab. Sedetik kemudian ia bangkit dari jatuhnya. Namun, ada yang ganjil
di air mukanya. Seperti ekspresi marah dan tidak terima.
“DASAR ANAK ANGKAT
! KAU SAMPAH!”
“CUKUP!” Ryd
tiba-tiba memotong dialog Tristan. Ada apa dengannya?
Bug! Tiba-tiba Ryd menghunuskan
tinju di ulu hati Tristan. “Kau yang tak tahu diri, kau yang sampah, bodoh!
Ayahku telah menyisihkan uang untuk pengemis sepertimu hingga kau bisa kuliah
di Roma! Dan sekarang kau berniat mengambil Vea? Hah?! ”desis Ryd. Ini tak ada
di script! Ryd tersulut emosi. Ia tak terima dikatai menjijikan, sampah,
dan sebagainya karena menurutnya yang patut dipredikati kata itu adalah
Tristan, si anak angkat.
“Ryd! Akting!”
Tristan mengingatkan Ryd. Namun Ryd makin beringas. Semua orang tercengang. Para
pemain yang ada di atas panggung bingung harus berbuat apa.
“Hei! Apa mereka
masih berakting? Orang itu benar-benar berdarah!” pekik salah seorang penonton.
Sial! Para penonton yang tadinya mengira itu bagian akting mulai cemas saat bibir
Tristan sobek dan berdarah terkena tinju Ryd.
“Bodoh! Apa maksud Ryd?!”
di balik layar, Pak Han khawatir. Ini bukan plotnya!
Mengerti drama ini
di ujung tanduk, Vea segera ambil bagian walau ini bukan gilirannya. “Stop!” Ia
menarik Ryd. “Tristan, ia ayahmu. Kau bukan pendendam! Jangan lakukan itu!” Ia
memisahkan keduanya dengan topeng Isolde.
Ryd menatap Vea,
bingung. Yang diucapkan Vea tak ada di script. Ia tak tahu Vea
berimprovisasi. Ilmu aktingnya terlalu dangkal.
Alih-alih kasihan
pada Tristan, Vea berpura-pura membatu Raja Marke. “Raja, Biar kubantu berdiri,”
Isolde hendak mendirikan Raja. Tapi tanpa kasihan Raja malah mendorong Isolde
hingga tersungkur.
“Aku terlalu suci
kau sentuh!” bentak Raja tak begitu jelas dengan bibir berdarah-darah. Tristan
menahan nyeri.
“Raja...maafkan
kami!” Isolde kembali mengemis.
“Untuk apa
memaafkan perempuan jalang sepertimu!” Sama seperti memperlakukan Pangeran
Tristan, Raja juga menendang Isolde.
“Raja....” Isolde
menghambur kembali bersujud di kaki raja dengan lelehan air mata.
Drama kembali
berjalan normal. Bahkan lebih apik. Beberapa adegan yang hilang karena insiden
Ryd, tak disadari penonton. Para penonton bahkan tak rela berkedip demi
menontonnya. Di balik tirai, Pak Han tersenyum penuh rasa bangga terhadap
pemainnya yang dapat melakukan improvisasi.
Sementara Ryd, ia
menyadari bahwa bakat akting tak bisa dibeli. Ia malu kepada kakak tirinya,
Tristan. Perlahan, ia ikut dalam improvisasi. Ia mau bersimpuh di kaki Tristan
untuk akting dan... untuk semua tindakkannya kepada Tristan.
“Maafkan aku...,” mohon
Ryd. “Tristan,” tambahnya lirih.
Tristan mendengar
bukan nama Raja Marke yang disebut Ryd, melainkan namanya. Ia tersenyum samar kepada
adik tirinya di balik akting penuh kemarahan yang sedang dilakoninya.
*
“Cosa desidera
da ordine?6”
Pelayan itu menyuguhkan menu.
“Prendero questo7,”
Vea menunjuk gelato rasa fichi di kertas menu.
Si pelayan mencatat
pesanan Vea lalu berganti menyodorkan kertas menu pada Tristan.
“Stesso8.”
Tristan menolak kertas menu itu. Lantas, si pelayan mengangguk dan segera
hilang di keramaian kafe kecil di sudut kota Roma itu.
Disinilah, Tristan
mengajak Vea untuk bertemu setelah sekian lama ia menarik diri begitu jauh dari
Vea. Ia ingin menunjukkan sikap jantan. Ia ingin meminta maaf. Tapi ternyata
itu tak semudah kelihatannya. Beberapa menit suasana kikuk menguasai mereka. Mereka
hanya melakukan gerakan-gerakan tidak penting seperti garuk-garuk kepala dan
mengubah posisi duduk, menandakan bila mereka salah tingkah.
Hanya agar ada
sesuatu yang bisa dikerjakan, Tristan berinisiatif hendak mengeruk beberapa sendok
gula dari cangkir gula di tengah meja untuk coffe late-nya. Tapi tak
disangka, ternyata Vea memiliki ide yang sama. Akhirnya kedua tangan mereka
bertemu di gagang sendok gula kuno bergambar Marcopolo itu. Keadaan pun menjadi
semakin kikuk.
“Maaf,” Vea mengalah
dan menarik tangannya. Namun, Tristan segera menariknya lagi. Takkan dibiarkannya
Vea hilang dari genggamannya, lagi.
“Aku yang minta
maaf,” tuturnya kalem. “Kamu sudah terlalu banyak mengalah.” didorongnya
cangkir gula itu pada Vea.
Vea tercenung
sejenak. Lekas, ia menngangsurkan gula ke dalam coffe lattenya sebanyak
dua sendok. Namun, di sendokkan kedua riak
wajahnya berubah seperti terkejut dan ia menunda menakarkan gula itu ke dalam
lautan coffe latte. Ia tertarik pada gundukkan gula di sendok itu.
Sepertinya gundukkan gula itu mengubur sesuatu.
“Punya siapa ya?” Vea
menemukan selingkar cincin terkubur di dalamnya. Diamatinya cincin itu. Ia
tertawa kecil saat mengetahui hiasan cincin itu ternyata berbentuk televisi.
Unik. Pikirnya.
“Televisi dilambangkan
huruf T & V yang berarti Tristan dan Vea,” jelas Tristan tenang. Dikeluarkannya
sebuah cincin yang sama persis dari sakunya.
Riak mata bening
Vea seketika terperangah dibuatnya. “K-kamu...”
“Aku minta maaf,
karena telah mencampakkanmu dan karena....terlalu lama memutuskan bertunangan.”
T-t-tristan....melamarnya?
Benarkah? Speachless, Vea hanya bisa tertawa renyah dibarengi kilatan-kilatan
air mata yang tanpa seizinnya menutupi kebeningan matanya.
Tristan tersenyum
teduh dan mengeluarkan sehelai sapu tangan wanginya, “Dasar cewek! Aku udah
siapin ini!” disodorkannya sapu tangan itu.
Lagi. Vea dibuatnya
tak bisa berujar apa-apa. Di ujung sapu tangan itu terdapat jahitan huruf yang
sangat tidak rapi yang membuktikan bahwa si penjahit itu adalah Tristan
sendiri. Dan jahitan itu bertuliskan Ti amo9...
“Ti amo troppo10,
Tristan....”
Oleh.
Aristi Pradana
Glosarium
1)
Abad
pertengahan
2)
Latar
belakang
3)
Lampu
spot yang dapat mengikuti arah gerak pemain
4)
Pencucian
jiwa
5)
Gaya interior abad ke-16 bernuansa klasik
6)
Mau
pesan apa?
7)
Saya
pilih yang ini
8)
Sama
9)
Aku
mencintaimu
10)
Aku
juga mencintaimu (Italia)
Hai-hai, ya itu tadi cerpen gue yang ditolak redaksi. Cerpen ini dulu mau gue kirim ke majalah Story. Nih cerpen gue tulis bulan Maret 2011. Di cerpen ini gue belum ngerti bahwa pentingnya sebuah cerpen itu adalah bagaimana membuat cerpen itu terasa "bernyawa". Di cerpen ini gue cuma berusaha tampil bagus dengan senjata "diksi". Padahal untuk nyiptain cerpen bagus itu nggak perlu diksi tingkat tinggi. Dengan diksi minimalis pun sebuah cerita juga bakalan jalan dan berasa apik. Kayak novel-novelnya Mbak Orizuka. Menurut gue novel beliau terasa apik justru karena diksinya yang minimalis.
Ya udah deh, itu tadi persembahan cerpen dari gue. Thanks udah mampir baca-baca ya :D
NB: O ya, nih cerpen sama sekali nggak mengalami perbaikin. Cerpen ini keadaannya bener-bener sama kayak ketika nih cerpen gue kirim ke majalah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar