Lampiran
Dengan
ini saya Aristi Aminna Dian Pradana
menyatakan bahwa cerpen berjudul Surat Kaleng Sang Senior orisinil
dan belum pernah dipublikasikan ke media manapun sebelumnya. Kepada pihak Aneka
Yess! mohon mempublikasikan cerpen saya. Terimakasih atas perhatian dan
kesediaannya untuk mempublikasikan cerpen saya.
Tertanda
Aristi
Pradana
Surat
Kaleng Sang Senior
Pena
bertinta hitam itu masih berkeras berada dalam pelukan kelima jari Dria. Pena
itu belum mendapat komando untuk menuangkan ide sang empunya ke atas kertas.
Padahal kini jarum jam telah merujuk pada angka 2 pagi. Dria memang sedang
dilanda badai bingung. Semua junior di pramukanya diharuskan membuat surat
cinta untuk para seniornya, dan akan dibacakan di acara api unggun nanti malam.
Dria
bingung harus menguntai kata serupa apa agar suratnya nampak paling berkesan di
mata senior terkasihnya. Memang, ini hanya ajang hura-hura untuk meramaikan
acara api unggun. Namun Dria berniat menggunakan surat ini sebagai jembatan nyata
untuk memintal cintanya dengan Kak Faro, senior pujaannya.
Dria
bukan penyair. Nilai Bahasa Indonesianya juga ngepas. Kalau begitu pasti surat
cintanya gak romantis dan datar abis! Hopeless, ia melirik secarik
kertas di hadapannya yang masih sepi akan tulisan. Yang tertoreh barulah
sebaris salam, Dear senior 3. Maksud dari senior 3 adalah nomor urut
setiap senior. Aturannya memang tidak boleh menuliskan nama melainkan nomer
urut sang senior.
Triiing....di
tengah kehopelessan, tiba-tiba otaknya berdering nyaring menandakan ada
ide terinstal di otaknya. “Hmm...kalo gak bisa romantis kenapa gak ngajak
perang aja,” pikir Dria. Agar suratnya dibaca oleh Kak Faro, suratnya harus
menarik. Agar suratnya menarik, suratnya harus beda. Kalau yang lain isinya cuma
penjabaran cinta, surat Dria akan berisi deretan makian alias surat kaleng.
Dengan begitu perhatian Kak Faro pasti terenggut. Setelah itu tinggal
pembersihan nama.
Kalau
urusan maki-memaki, Dria tinggal mengingat detik-detiknya bersama Alfa yang tak
pernah menyentuh kata damai. Alfa juga salah satu seniornya. Dia orang terrese
dalam jajaran top ten rese peoples menurut Dria. Alfa sering banget
mengeritiknya sebagai pinsa (ketua regu). Alfa seperti mencari-cari kesalahan
Dria. Makanya Dria benci banget sampai ia berani membentak-bentak Alfa. Padahal
jabatan Alfa cukup berbahaya untuk dibentak. Yaitu Ketua 1. Dria bisa saja
diseret ke pembina, lalu ke guru BP, lalu ke Kepala Sekolah, lalu di seret ke
rumah dan dilarang menginjakkan kaki lagi di SMAnya. Untungnya Alfa tidak
pernah melaporkannya walau jutaan semburan bentakkan dihujankan Dria.
Dria
mulai mengremind detik-detik bersama Alfa. Kalimat ketus Alfa,
ke-sok-tau-an Alfa, kejaiman Alfa, semua itu membuat Dria punya cita-cita
jangka pendek. Yaitu meninju hidung mancung Alfa yang selama ini menjadi
mahkotanya dalam mendongkrak pesonanya di depan kaum hawa.
Dari
semua itu lahirlah surat yang sangat ringkas namun cukup dapat memacu darah
tinggi kumat. Sebuah surat kaleng dengan Alfa sebagai ilustrasi tokohnya.
Itulah yang akan diberikannya pada Faro. Kini Dria tinggal menyemplungkannya ke
dalam amplop pink dan menuliskan inisialnya― nama pengirim harus ditulis
dengan inisial―Yaitu DTM. Driana Tisha Mafadi.
@@@
“Nah, ini dia acara yang paling kita tunggu.
Pembacaan surat cinta. Gimana kalo kita mulai dari....senior 3!” Pilihan yang
dijatuhkan Kak Rio sebagai presenter di malam api unggun itu kontan membuat
Dria super girang. Senior 3 = Kak Faro!
Dria
langsung buru-buru dandan instan dan tanya sana-sini meminta orang lain mengapresiasi
penampilannya, “Eh... cantik gue masih nempel kan? Nggak ngilang kemana-mana kan?”
“Masih. Lo kan udah ngabisin 2 botol lem kayu.
Nggak bakal lepas tuh cantik,” jawab Ane asal, sekedar untuk melegakkan Dria.
Tapi toh itu cukup melegakkannya juga.
Kak
Faro pun maju sambil menenteng selembar surat, “Surat ini berasal dari sanggah
(kelompok) Apel dan berinisial DTM,” tuturnya membuat Dria semakin girang. Sanggah
Apel dan DTM! Cocok banget!
“DTM
adalah... Dri...” Kak Faro memperlambat tempo bicaranya untuk menambah aksen
dramatis. Tapi justru itu membuat Dria geregetan. Kelamaan! Bilang aja Dria!
“Dri....silia Dewanti” lanjut Kak Faro.
Gubrak!
Dada Dria tiba-tiba sesak seperti di banting. What the...? Bukan
suratnya yang dibaca? Bagaimana bisa?! Padahal suratnya jelas-jelas paling
mencolok secara fisik maupun isi! Kenapa bukan suratnya?! Udah dibela-belain
bertapa sampai jam 2 pagi cuma buat nyari ilham, dan sekarang suratnya gak dibaca!
Kontan Dria jadi bad mood. Ia malas melihat adegan demi adegan yang
menceritakan si centil Lia alias Drisilia sedang menyemai benih-benih flirting
untuk pangerannya.
Dria
sibuk ngedumel sendiri dalam hati. Sampai ia tak sadar bila kini telah gantian
pembacaan surat lainnya. “Habis senior 3, kita ke senior...Berapa ya? 13 deh.
Kak Alfa silakan maju!” pekik Kak Rio.
“Halah
Alfa! Berani taruhan dia sama sekali gak dapet surat cinta!” gumam Dria pada
dirinya sendiri.
“Gue
yakin lo kalah taruhan! Melek donk, Dri! Alfa itu kan cakep gilak!” Dea
tiba-tiba menyahut.
“Cakep
nenek lo perot! Liat, semua onderdil mukanya itu edisi taun 45. Alias dia itu
muka katro!”
“Gak
usah belagu lo! Kayak lo bisa ngedapetin dia aja!” protes Dea sarkasme. Dria
hanya mendelik sebal menanggapi ocehan sinis Dea yang memang telah menjadi trademarknya
dari dulu.
Dria
sama sekali tidak berminat untuk memperhatikan Alfa. Tapi mendadak perhatiannya
terpaksa tersita karena tiba-tiba telinganya menangkap kalimat berbunyi ‘Driana
Tisha Mafadi dari sanggah Apel’ diutarakan oleh Alfa. Awalnya Dria berpikir itu
hanya halusinasinya. Tapi bombardir dari kiri-kanannya yang tiba-tiba
menyerangnya membuatnya mulai sadar bila suratnya memang nyasar.
“Surat
lo juga buat Alfa?!” alis dan bibir Dea menukik tajam ke bawah saat
menanyakannya.
“Enggak!”
Dria menggeleng cepat.
“Lo
kan Tom and Jerry-nan sama dia? Kok lo malah nyatain cinta sih?” Ane ikutan
mengintrogasi.
“Gue
bilang enggak!” Dria berang.
“Tapi
inisial lo ada di sini!”
Deg!
Suara tenang Alfa yang tiba-tiba menyeruak ditengah riuh perdebatan itu,
berhasil membuat jantung Dria mendadak absen berdetak satu detik. Suratnya
untuk....Alfa? Gimana bisa suratnya nyasar?
“DTM
itu berarti Driana Tisha Mafadi, nama panjang lo kan? DTM juga berarti Dua Tiga
Mei sebagai tanggal lahir lo. Iya kan?” cecar Alfa membuat Dria terpojok dan
ternganga. Ternganga karena baru tahu DTM juga bisa berarti tanggal lahirnya
dan ternganga karena Alfa ternyata tahu tanggal lahirnya.
“Bisa
aja itu kebetulan pas sama gue. Atau lo yang salah liat kali,” Dria berkelit. “Bukan
buat senior 13 tapi buat senior....3 mungkin. GR amat sih lo!” Dria masih
ngarep senior 3.
“Masih nyangkal?” Alfa menyeringai lebar, “Jelas-jelas
di sini ditulis Dear Senior 13. Dan bukti yang paling kuat adalah, surat
kayak gini pastinya cuma lo yang berani nulis!” Alfa menunjukkan surat itu. Dan
benar saja. Itu surat Dria yang full akan makian!
“Sebagai
pinsa,” Alfa mulai berkhotbah, membuat Dria langsung melengos jenuh. Itu
merupakan permulaan kalimat yang sudah sangat sering didengar Dria hingga Dria
hapal kelanjutannya.“Lo harusnya bisa memberi contoh untuk bermain jujur. Lo
ini pinsa apaan? Pinsa bullshit? Pinsa gak becus? Pinsa―”
“FINE!”
potong Dria. Ia langsung bangkit dari duduknya, menyabet sepucuk surat di
tangan Alfa, dan membacanya dengan sangat-sangat lantang. Ia bosan terus-menerus
disalahkan.
“Dear Senior 13. Elo itu orang TERRESE, TERNYEBELIN, TERJELEK,
TERNAJIS, DAN TERMENJIJIKAN! JANGAN HARAP GUE SUDI NYATAIN CINTA BUAT LO!”
teriak Dria dengan penjedaan yang super jelas. Supaya Alfa ngerti
sengerti-ngertinya.
Dria
ingin berontak. Gimana bisa si angka 3 ini ngajak temennya, si angka 1? Gue kan
nulisnya cuma angka 3 gak pake 1. Huh! Angka 13 emang angka sial! Rutuknya. Ia
memandang sebal angka 1 dan 3 yang berdiri berdampingan seolah mengejeknya.
Tapi,
tunggu. Ada yang aneh dengan angka 1-nya. Dria mengamati angka 1 itu. Angka 1
ini nampak agak cacat. Seperti ditulis dengan tidak sengaja. Wait! Dria
ingat. Saat menulisnya tadi pagi-pagi buta di dalam kemah, kaki Ane menyenggol
sikunya. Sehingga tak sengaja tercoret dan menyerupai angka 1. Sialan!
“Gak
ada yang nyuruh lo bikin surat kaleng,” tandas Alfa, “Sebagai hukumannya, besok
malam lo harus bikin surat cinta buat gue dan HARUS ADA KALIMAT MENYATAKAN
CINTA KE GUE!” Kalimat itu terdengar lebih mengerikan dari pada kalimat
‘Serahkan harta atau nyawa!’ bagi Dria.
“Tapi
sebenernya―”
“CUKUP!”
bentakkan Alfa menggelegar memotong kalimat Dria dan memotong kesunyian hutan,
“Gue udah sabar ngadepin lo! Kalau lo masih nantang, gue aduin ke pembina!”
ancamnya.
Perlahan
pertahanan Dria mulai runtuh. Semula ia berani menatap tajam-tajam hingga ke
titik terdalam manik mata Alfa. Namun sekarang ia hanya bisa menjatuhkan
pandangan pada ujung sepatunya. Ia
tahu kali ini Alfa
tidak main-main.
@@@
Gemuruh
tepuk pramuka dibaluri yel-yel penyemangat membahana di balik gemerisik
dedaunan pohon jati yang telah ratusan
tahun bersemayam di kaki Gunung Salak. Pagi itu terasa dingin. Namun bagi Dria
yang membuat suasana pagi itu begitu dingin bukanlah suhu yang dibawah 15°.
Melainkan Alfa. Entah mengapa ia merasa tatapan dingin Alfa terus mengawalnya
ke manapun ia pergi.
Memang,
Alfa mengawasinya. Dalam hati ia berjanji tidak akan mencabut pandangannya dari
Dria walau hanya sedetik. Karena ia tahu, sebentar lagi seseorang akan
menjahati gadisnya.
@@@
Dria
sudah tidak peduli bila keributan ini menguar di udara dan terendus oleh para senior
atau seniorita. Ia juga tidak peduli bahwa nasibnya sebagai pinsa akan dipertaruhkan.
Yang ia pedulikan sekarang hanyalah menyadarkan Dea bahwa bukan dirinya yang
mencuri kalung berlian Dea. Bagaimana bisa kalung itu ada di tasnya sementara
mengetahui bila Dea membawa kalung saja tidak.
“Sejak
kapan maling mau ngaku, Dri?! Bukti ini udah nunjukin semuanya!” cecar Dea.
“Enggak!”
Dria hanya bisa berteriak di tengah keputusasaannya. Kini semua orang melempar
pandangan mencerca kepadanya. Ia memaksa kerongkongannya menelan ludah yang
rasanya seperti berduri. Ia harap air matanya tidak menitik sekarang.
“Dasar
maling! Bener firasat gue. Awalnya gue gak percaya yang ngambil itu elo. Tapi
ternyata....”
“Dea,
gue berani sumpah kalau gue gak ngambil kalung lo!”
“Makan
aja sumpah lo! Sekali maling tetep maling! Tampang lo itu sok alim ya, padahal
busuk!” kalimat itu mendarat dengan sangat tidak mulus di hati Dria. Membuat
air matanya terperas seketika.
“Ada
apa ribut-ribut?”
Mampus
lo, Dri! Batin Dria memelas, karena lagi-lagi pemilik suara yang kerap
menyarangkan kata-kata ketus di lorong telinganya itu, tiba-tiba menyeruak di
tengah pertengkarannya dengan Dea.
Alfa.
Ia menempatkan diri dengan benar. Inilah saatnya ia pasang badan sebagai hero
di depan Dria.
Tidak seperti
sebelumnya, ia hanya menjadi hero di balik punggung Dria.
“Kak,
dia nyuri kalungku. Kalungku itu berlian asli dan harganya jutaan,” tuding Dea tanpa perasaan, “Kak, aku nemuin kalungku
di tasnya Dria. Itu berarti dia malingnya!”.
Alfa
menggulirkan pandangan pada Dria. Dria menatap Alfa penuh harap. Seakan
mengharapkan ada sejumput rasa ingin membela yang terbit di balik mata tajam
Alfa. Namun Dria segera sadar dari mimpi yang terlampau mustahil itu. Mana
mungkin Alfa yang sangat membencinya mau membelanya?!
“Kak,
maling kayak dia harusnya―”
“Udah?”
dengan enteng Alfa memotong kalimat Dea. Ia tak tahan melihat Dria menangis. Ia
ingin segera menyelamatkan Dria. “Udah puas menghancurkan diri lo sendiri?”
tanyanya membuat semua orang mendongak, bingung. “Lo gak perlu repot-repot
buang ludah sebanyak ini kalo mau ngehancurin diri sendiri. Karena gak cuma gue
kok yang liat lo masukin kalung lo sendiri ke tas Dria,” tuturnya.
Dria
tercengang. Semua tercengang. Apa lagi Dea. Ia tak berkutik. Boroknya telah terbongkar.
“Gue
gak akan nyidang lo, karena gue masih punya rasa kasihan buat lo. Tapi,
pembimbing langsung yang akan nyidang lo, Dea,” tukas Alfa membuat Dea semakin
tercekat. “Dan Dria, ikut gue!” perintah Alfa.
@@@
Alfa
mengangsurkan selembar sapu tangan pada Dria. Tapi Dria bergeming. Alfa
menghela napas. Ia bertekad tetap akan menghapus air mata yang membanjiri pipi
Dria. Namun, kehadiran tangan lembutnya di pipi Dria ditampik mentah-mentah
oleh Dria. Ditangkapnya sekelebat tangan Alfa dan diambilnya sapu tangan di
genggaman Alfa. Lalu diusapnya sendiri pipinya yang basah. “Gue bisa sendiri,”
ujarnya lirih.
Sejenak
rasa kecewa melingkupi Alfa. Ia kecewa karena niat baiknya yang tersamarkan tak
pernah terbaca oleh Dria. Sesekali ia ingin menunjukkan kebaikannya secara
terang-terangan. .“Kenapa lo selalu begini?” tanya Alfa lembut. Kelembutnya yang
terbilang baru nampak kali ini itu, mengundang rasa penasaran Dria. “Kenapa lo
selalu menolak tawaran tulus gue?” Alfa melengkapi kalimatnya yang belum
tuntas.
“Maksud
lo?”
“Yang
lo liat gak seperti apa yang gak lo tau, Dri.” Tatapan Alfa sangat teduh saat
mengutarakannya. “Gue tau lo benci gue karena gue selalu nganggep lo salah.
Tapi, lo kira itu semua tanpa tujuan?” Tanya Alfa membuat kening Dria
senantiasa berkerut bingung. “Ya. Tujuan. Gue galak sama lo karena...musuh lo,
Dea dan sahabat gue, Faro, gak suka kalau gue suka sama lo.” jelas Alfa
menjawab kebingungan Dria.
Alfa
memang selalu berhasil menohok sisi hati Dria yang paling dalam. Entah karena
ia bisa membuat Dria marah besar, membuat Dria tercekat, tercengang dan
sekarang Alfa sukses membawa Dria ke dalam labirin bertabur tanda tanya. Dea? Faro?
Jadi selama ini ternyata Alfa selalu
menyelamatkannya dari Dea? Dan arti kata ‘Faro gak suka kalau Alfa suka Dria?’
Itu berarti cinta Dria kepada Faro terbalas. Tapi di sisi lain, ternyata cowok
di hadapannya juga diam-diam menyukainya dari balik tirai keangkuhan yang sengaja
dibentangkannya, demi sahabat...
@@@
Saat
lidah api yang meliuk-liuk itu tersibak oleh hembusan angin malam, nampak
sekilas wajah Alfa yang keemasan diterpa cahaya api unggun sedang mengamatinya.
Dria berdiri ketakutan dengan secarik surat cinta terselip di kedua tangannya.
Dengan berdirinya ia di tengah lingkaran pramuka ini semua bisa melihatnya
dengan leluasa. Termasuk Alfa. Dan itu membuatnya semakin takut.
“Dear
senior 13,”
Dria memulai suratnya, “Jujur, aku gak pinter bikin kata-kata. Dan aku juga gak
suka bertele-tele. Jadi to the point aja. Aku cinta kamu. Dan aku
berharap kamu ngizinin aku jadi pacarmu,” ujar Dria terburu-buru, karena entah
mengapa jantungnya seperti terguncang hebat saat mengutarakannya.
“Dria!” seseorang memanggilnya. Itu Faro. Apa
yang akan dilakukannya? Menembak Dria? Dria harap tidak. Karena ia rasa hatinya
telah condong pada Alfa. Dria harap Faro sadar diri bahwa dialah pengganjal
hubungannya dengan Alfa. “Dri, lo serasi sama Alfa. Dan...Bro! Maju bro! Jemput
tuan putri lo!” Tanpa diduga kalimat itulah yang meluncur dari bibir Faro.
Faro
menggiring Alfa ke depan. Alfa menawarkan tanggannya untuk menggandeng Dria.
Dan untuk pertama kalinya, bukanlah sebuah penolakan yang menjadi reaksi Dria
terhadap tawaran Alfa£
Oleh.
Aristi Pradana
Hai! Anyway, ini cerpen keberapa yang gue kirim ke majalah gue udah lupa. Yang jelas nih cerpen selesai gue tulis tanggal 15 September 2011. Media yang gue bidik waktu itu adalah majalah Aneka yess. Dan karena berbulan-bulan nggak ada kabar. Ya udah, berarti nih cerpen udah resmi ditolak. Hehe
Oya, di cerpen ini kan ada lampiran segala tuh. Itu lampirannya salah. Jangan ditiru ya. Hehe maklum masih pemula.
Ya udah deh, komen gue sama kayak cerpen-cerpen gue lainnya yang resmi ditolak media. Waktu gue nulis cerpen ini gue cuma mementingkan pemilihan diksi dan plotting cerita aja. Tapi gue nggak berusaha membuat cerita ini bernyawa. Jadinya ya kesannya fake gitu.
Okelah, thanks gans karena sudah sudi mampir di warung cerpen saya. See you next time. Kayaknya ini cerpen terakhir dari deretan "cerpen yang ditolak redaksi". Karena gue kehilangan file-file cerpen yang dulu pernah gue kirim ke media.
Oke deh. Once again thanks sudah mampir. Semoga postingan ini bisa memberi faedah. (Ceilaaah faedah. Tinggi bener bahasa gue. Hehehe)