Kamera
“Bro, cantik tuh! Sebelah kanan lo.”
Siang itu, seusai jam kuliah, Anton iseng-iseng melirik seorang gadis
manis yang berdiri sendirian tak jauh di sebelah kananku. Siang itu taman
kampus memang ramai oleh mahasiswa-mahasiswi yang baru keluar kelas. Mungkin
gadis itu sedang menunggu teman, jemputan, atau mungkin menunggu pacarnya.
“Jepret dong, bro! Bawa-bawa kamera masa cuma lo anggurin. Pemandangan
bagus tuh!” Anton terlihat semakin tertarik pada gadis itu. Dia bahkan
sepertinya ingin sekali merebut kamera digital di tanganku untuk mengabadikan
sosok manis itu. “Woi! Kamera mulu yang lo urusin! Liat bentar dong! Nyesel lo
entar!” Kali ini Anton sampai menoyor kepalaku agar tidak terus menunduk mengotak-atik
kamera.
Aku berdecak kesal sesaat. Akhirnya dengan malas aku mengangkat wajah
dari kesibukan mengotak-atik kamera, dan menggulirkan pandangan pada sosok yang
sangat dipuja Anton itu. Lalu, segera saja sosok manis berbalut dress pink pucat selutut itu tertangkap mataku. Aku mengamati sejenak,
melihatnya dalam kurun waktu beberapa detik. Hmm… ya memang cantik. Sangat
cantik malah. Tinggi, putih, langsing, modis. Perfect-lah. Tapi trus kenapa? Apa untungnya buatku kalau dia
cantik?
“Cantik, kan?
Apa gue bilang!” Anton menepuk pundakku dengan bangga.
“Iya cantik,” ujarku enteng membenarkan pendapat Anton.
“Lo nggak pengen deketin dia?” bisik Anton jail.
“Buat apa?”
“Ah… bego lo!” Anton lagi-lagi menoyor kepalaku. “Bro, gue bilangin ya.
Lo itu punya peluang buat ngedapetin tuh cewek! Gue kadang bingung sama lo. Lo
tuh bego beneran ato apa, hah? Lo tuh cakep, smart, kesayangan banyak dosen, bakat fotografi lo juga hebat.
Kenapa lo milih Sasi buat jadi pacar lo sih? Apa spesialnya dia?”
Aku menanggapi ocehan Anton hanya dengan senyum ringan. “Spesialnya? Simpel
aja.” Senyumku tanpa sadar mengembang semakin lebar. Ah… kenapa aku selalu
seperti ini kalau mengingat Sasi? Hmm… dasar cinta! Bikin gila!
“Apa yang bikin lo suka sama si Sasi?” kejar Anton semakin penasaran.
Aku menghela napas sejenak lalu memutuskan untuk duduk lesehan di
rerumputan taman kampus yang hijau subur. Anton yang masih menunggu alasanku
ikut duduk di sebelahku.
“Well, semua orang emang
nganggep Sasi itu biasa-biasa aja,” aku mulai menjelaskan. “Tapi justru itu
yang bikin gue ngerasa dia beda. Karena cuma gue satu-satunya orang yang bisa
menemukan keistimewaannya. Gue jadi ngerasa kalau dia emang sengaja nyimpen
keistimewaannya itu cuma buat gue doang. Dan karenanya, gue jadi ngerasa
diistimewakan.” Aku tersenyum lebar di akhir penjelasanku.
“Hahaha…!” Anton malah tertawa lebar mendengar penjelasanku. “Bullshit lo! Puitis banget sih lo.
Lama-lama gue jatuh cinta sama lo!” komentarnya di akhir tawa.
Aku tidak peduli dan kembali sibuk mengotak-atik kameraku. Memangnya
kenapa? Apa yang salah dengan Sasi? Memang itu pendapatku tentang Sasi. Dia
memang tidak secantik artis. Dia hanya cukup manis buatku. Dia juga tidak sepintar
Einstein dan tidak sekaya anak pengusaha real
estate. Tapi lalu apa masalahnya? Aku tidak pernah keberatan dengan segala kekurangannya.
Jadi kenapa aku harus pusing-pusing complaint
tentang kekurangan-kekurangannya kalau aku bisa menemukan kelebihannya dan merasa
nyaman dengan kelebihannya itu?
“Ah… udah ah. Gue cabut dulu ya!” Anton tiba-tiba bangkit berdiri sambil
mengeluarkan kunci motornya dari saku celana. “Ngomong-ngomong, tuh bidadari lo
baru aja turun dari kahyangan!”
Aku mengikuti arah pandang Anton dan segera mendapati Sasi sedang
berjalan ke arahku. Gadis itu tersenyum hangat serta melambaikan tangan singkat
padaku. Tanpa sadar senyumku lagi-lagi mengembang lebar. Aduh… aku bisa
benar-benar gila karena cinta!
“Hey!” Sasi menyapaku dan Anton dengan nada ramah seperti biasanya.
Anton membalas dengan senyum yang juga ramah. Lalu sepertinya ia sadar
diri akan menjadi obat nyamuk. Karena setelah itu ia memilih undur diri dengan
berbasa-basi sejenak, kemudian buru-buru pergi.
“Kamera kamu kenapa?” Seperginya Anton, Sasi ikut duduk lesehan di
sebelahku.
“Nggak kenapa-napa kok,” jawabku singkat.
“Beneran nggak kenapa-napa? Kok diotak-atik terus? Nggak rusak, kan?”
Rusak? Sasi mengira kameraku rusak? Hmm… tiba-tiba muncul ide di otakku.
Menjaili pacar sebentar? Kayaknya seru tuh.
“Iya nih rusak. Nggak tau deh kenapa. Tiba-tiba mati gitu.” Aku pura-pura
panik sambil terus mengotak-atik kamera. Sandiwara dimulai!
“Hah? Beneran rusak? Kan
kamu belinya baru beberapa minggu yang lalu. Masa udah rusak? Coba deh dicek
dulu!” Nada suara Sasi mulai terdengar panik.
“Iya beneran. Semua pengaturan-pengaturan udah aku cek. Tapi tetep aja nggak
mau jalan! Trus musti gimana nih?”
Sasi terdiam sejenak. Keningnya berkerut rapat pertanda ia ikut berpikir.
“Baterainya low-bat, kali?” ujarnya.
“Udah kamu cek belum baterainya? Kali aja kamu keasikan motret sampe lupa
merhatiin batere.”
“Udah aku cek juga. Nggak low-bat
kok. Masih full. Pokoknya semuanya
udah aku cek deh tadi. Trus tiba-tiba mati gitu aja.”
“Masa sih? Kok aneh.” Sasi semakin serius berpikir. Kepalanya dimiringkan
dan tatapannya tertuju lurus pada kameraku. “Padahal kamu udah hunting foto sampe luar kota ya pake kamera ini?”
ujarnya lirih. Ia menatapku prihatin.“Wah… sayang banget dong kalau
foto-fotonya sampe ilang.”
“Itu dia masalahnya. Aku udah bela-belain ke Jogja, Solo, sampe Lombok pula. Masa ilang gitu aja? Aduh… sial-sial!” Aku
menggaruk-garuk rambutku secara kasar untuk memperdalam akting kesalku.
Sasi masih terdiam. Gadis itu juga masih mengerutkan kening pertanda ia
masih ikut berpikir. Diam-diam aku menahan senyum. Melihatnya, rasanya aku jadi
merasa semakin sayang saja.
“Garansi tokonya masih nggak?” tanyanya kemudian.
“Garansi? Masih sih. Tapi kan
foto-foto yang udah aku ambil nggak bisa balik lagi.”
“Oh iya ya.” Sasi bergumam pelan. Gadis itu sepertinya mulai putus asa.
“Coba deh kamu bongkar dulu. Kali aja ada yang salah. Kabelnya atau apanya
gitu.”
“Nggak kok. Udah aku bongkar juga.”
Sasi menghela napas panjang. “Coba kamu nyalain lagi,” katanya putus asa.
Kali ini aku menurutinya. Pura-pura kutekan tombol on pada kameraku yang sebenarnya dari tadi sudah menyala. Lalu dengan
sedikit taktik, aku bisa membuat kamera itu seperti baru menyala setelah tombol
on ditekan.
“Nah, tuh bisa nyala!” Sasi memekik senang.
“Eh iya. Bisa nyala!” Aku juga pura-pura memekik senang. “Coba aku cek
foto-fotonya dulu ya!”
“Iya buruan dicek! Mudah-mudahan masih ada semua!”
Segera aku membuka foto-foto yang paling terakhir kuambil. Dan yang
pertama kali muncul di layar adalah foto-foto Sasi yang sedang tampak bingung,
panik, bahkan putus asa.
“Lho, kok isinya aku semua sih?!” Sasi bergumam bingung.
Aku diam saja sambil mati-matian menahan tawa.
“Lho, lho, lho, tunggu-tunggu. Ini kayaknya baru aja kamu ambil ya
fotonya? Background tempatnya, baju
yang aku pake… trus… hey! Kamu ngerjain aku ya?!”
“Hahahaha….!” Aku langsung tertawa terpingkal-pingkal. Akhirnya Sasi
sadar juga. Sedari tadi selain aku berpura-pura panik karena kameraku rusak,
aku juga diam-diam mengabadikan setiap ekspresi Sasi ketika mendengar kameraku
rusak. Setiap ekspresi paniknya, ekspresi khawatirnya, ekspresi putus asanya.
Semuanya dapat tertangkap jelas di kameraku hanya dengan sedikit taktik agar
kamera terlihat dalam keadaan mati, tapi tetap bisa menjepret gambar.
“Ah… rese! Curang!” Sasi masih berteriak-teriak kesal. Senyum salah
tingkahnya serta pipinya yang memerah terlihat menggemaskan bagiku. Melihatnya,
tentu saja aku tidak mau menyia-nyiakan momen itu. Lagi-lagi tanpa
sepengetahuan Sasi, dengan kecepatan tangan layaknya pesulap, aku bisa
mengabadikan salah satu ekspresi yang kusenangi itu. Dan… Clap! Aku berhasil
mengabadikan ekspresi itu.
“Hayo! Kamu ngapain lagi, ha? Kamu pasti diem-diem motret aku lagi, kan? Ah… hapus! Pokoknya
hapus!” Gadis itu berusaha merebut kameraku.
“Eh, jangan dong!” Aku berusaha menyembunyikan kameraku di belakang
punggung.
“Reno,
hapus! Aku malu tau!”
“Iya nanti di rumah aku hapus!”
“Nggak! Harus sekarang!”
“Aduh… Ntar dirumah langsung aku hapus kok. Beneran!”
“Ah… nggak percaya! Kamu suka bohong! Ayo hapus sekarang! Mana sini, aku
aja yang ngehapus!” seru Sasi.
Sasi terus memburu kameraku. Sementara itu aku melakukan tindakan
sebaliknya. Aku terus menyembunyikan kameraku. Jangan sampai foto-foto itu
terhapus. Tentu saja aku tidak mau kehilangan gambar-gambar berharga itu.
Well, setiap orang memiliki
kriteria yang berbeda dalam menentukan pasangan. Ada yang menyukai seseorang karena kecantikan
atau ketampanannya, ada yang karena kepandaiannya, ada yang karena hartanya,
ada yang karena statusnya, ada yang karena hobinya, ada yang karena
perlakuannya, ada yang karena sifatnya, dan macam-macam.
Lalu bagaimana denganku? Mengapa aku memilih Sasi? Simpel saja. Aku
memilih Sasi karena dia memiliki segudang ekspresi menawan yang tidak pernah
disadari kebanyakan orang. Dia memiliki ekspresi-ekspresi yang selalu pas
ketika aku diam-diam mengarahkan kamera hanya dengan sekali bidik. Ekspresinya
sangat natural dan menawan. Ketika gadis itu tersenyum, tertawa, melamun,
bosan, bahkan ketika panik, khawatir, ataupun putus asa seperti yang baru saja
kudapatkan berkat menjailinya. Semua ekspresinya terlihat hidup. Dan itu yang
kusebut sebagai kelebihannya yang tidak pernah disadari orang lain. Dan aku
merasa nyaman dengan semua itu, dan aku menyukainya, dan aku memilihnya, dan aku ingin terus
memotretnya.