Assalamu’alaikum.
Hai guys. Hari ini saya mau share tentang sahabat kecil saya di Solo Mengajar.
Sahabat kecil saya hari ini adalah Annisa. Dia anak yang cerdas. Mudah
menangkap pengetahuan apa pun yang disampaikan oleh kakak-kakak volunteer. Sangat menyenangkan mengajari Annisa
karena daya tangkapnya yang fast response—nggak kayak para penjual olshop yang
kadang slow response hehe.
Oke
balik lagi.
Intinya,
mengajari Annisa itu sangat mudah. Namun, ada satu kekurangannya. Yaitu dominan.
Kecerdasannya menjadikannya paling dominan dalam suatu kelas. Sering kali ketika
saya melontarkan pertanyaan kepada anak-anak, Annisa yang paling cepat
menjawab. Hal tersebut membuat anak-anak lain tidak memiliki kesempatan berpikir
dan menjawab. Ketika saya melemparkan pertanyaan khusus yang memang saya
tujukan kepada anak lain, Annisa juga turut menjawab. Kalau sudah begitu saya
sering memperingatkannya secara halus, “Annisa tolong diam dulu, ya. Pertanyaannya
kan bukan buat Nisa. Biar temen-temen yang lain yang jawab. Kan tadi Nisa udah
jawab.”
Nah,
tapi kalau sudah begitu Annisa jadi suka ngambek. Dia sering menganggap saya
tidak memperhatikannya dan lebih memperhatikan anak-anak lain. Lebih parahnya,
kadang dia jadi tidak mau menjawab pertanyaan-pertanyaan sama sekali. Ibarat
kata, dia melakukan mogok bicara. Dia menjadi pasif dan cemberut terus
sepanjang pembelajaran. Saya jadi merasa kalau saya sudah berlaku tidak adil
kepada Annisa. Dia juga memiliki hak untuk menjawab seperti teman-temannya yang
lain. Tapi jujur saya memang mengutamakan yang lain, yang belum bisa menjawab. Saya
sempat ada ide supaya Annisa yang sekarang kelas 3 SD itu digabung dengan
anak-anak kelas 4 saja. Namun, Annisa tidak mau karena teman-teman akrabnya ada
di kelas 3.
Saya
lumayan senang dan pusing kalau menghadapi Annisa. Dia cerdas di bidang
akademik. Tapi dalam hal emosional dia masih kurang. Itu yang menjadi PR bagi
saya sebagai volunteer di Solo Mengajar.
Karakter
Annisa yang saya analisis adalah:
1a. Memiliki
daya tangkap di atas teman-temannya
2b. Senang
berkompetisi
3c. Selalu
ingin menjadi yang paling pintar
d. Tidak
senang ada anak lain yang lebih pintar
5e. Tidak
sabaran, mudah marah.
f. Berteman
dengan anak yang sama-sama punya keberanian dalam unjuk diri. Tapi, sering
mengatai ‘Bodoh’ atau memprotes teman-temannya itu maupun kepada anak
lain ketika mereka menjawab salah.
Karakter
Annisa yang memiliki daya tangkap baik serta karakter senang berkompetisinya
adalah dua karakter yang benar-benar dibutuhkan oleh generasi muda sekarang
ini. Namun manajemen emosionalnya yang kurang membuat kelebihan-kelebihan
Annisa tersebut menjadi tidak
tersalurkan untuk kebermanfaatan bersama. Saat ini saya beserta volunteer
lainnya sedang menggodok formula agar dapat mengarahkan Annisa menjadi pribadi
yang lebih kooperatif. Kemungkinan kelas 3 akan dipisah menjadi dua kelompok.
Satu untuk kelompok yang sudah dapat mengerti pelajaran-pelajaran sekolah,
sehingga tinggal melanjutkan, sementara yang satu lagi untuk kelompok yang
belum paham pelajaran-pelajaran sekolah. Namun, kembali timbul pertimbangan
dalam benak kami. Kami takut kalau penggolongan tersebut dapat menimbulkan
sistem kasta di antara anak-anak kelas 3 tersebut, yang secara tidak langsung
mempengaruhi mindset mereka bahwa yang bergabung dengan kelompok satu adalah
anak pintar sementara yang bergabung dengan kelompok dua adalah anak yang kurang
pintar.
Sejauh
ini, setelah satu bulan lamanya kami menjadi volunteer, kami sering melakukan
pertemuan-pertemuan antara sesama volunteer untuk mengevaluasi kegiatan
pembalajaran. Saya berharap agar Annisa tetap bisa berada satu kelas dengan
teman-temannya di kelas 3. Saya ingin mengubah mindset anak-anak lain supaya
lebih giat belajar agar dapat turut berkompetisi dengan Annisa. Bukannya malah melempem
takut karena pembelajaran didominasi Annisa. Nah, itu tantangannya. Ya… inilah
the art of teaching yang saya temui dalam bulan pertama saya menjadi volunteer
di Solo Mengajar. Saya harap saya bisa bermanfaat di sana, dan bisa menjadi
pribadi yang lebih mengerti psikologi anak. Sekaligus menjadi pribadi yang
lebih dewasa, karena ketika saya berhadapan dengan anak-anak, saya yang merasa
sudah dewasa ini tiba-tiba menjadi sadar kalau ternyata saya belum pantas
dikatakan dewasa. Karena masih ada banyak sifat kekanak-kanakan saya yang
seperti sikap kekanak-kanakan anak didik saya. Ya oke deh, daripada malah jadi
curhat, saya akhiri saja postingan kali ini. Next time saya akan bahas tentang
suka duka, serta berbagai faedah yang saya dapatkan dengan mengikuti kegiatan
sukarelawan semacam ini. See you guys. Semangat, sukses, terus bermanfaat, dan
jadilah inspirasi. O ya, mungkin yang punya saran, usulan, atau komentar bisa
tolong dituliskan di bawah postingan. Terima kasih banyak :D