Minggu, 01 Juli 2012

cerpen-part 1 Aku Hanya Perlu Diam


Part 1: Aku Hanya Perlu Diam

Cinta. Ada banyak reaksi orang ketika mendengar satu kata itu. Ada yang tertawa, ada yang marah, ada yang menangis, ada yang kesal, ada yang biasa saja, ada yang senang, ada yang terharu, dan banyak lagi.
Lalu bagaimana dengan reaksiku?
Aku hanya diam. Kenapa hanya diam? Karena ketika aku diam, kau akan bertanya, “Kenapa diem aja?”
Lalu aku akan menjawab pertanyaanmu dengan senyuman.
“Kenapa cuma senyum?” kau bertanya lagi.
Aku masih diam.
Kau semakin gemas. “Apa aku berbuat salah?” tebakmu mengira-ngira.
Kali ini aku mengembuskan napas. Hanya aku yang tahu jawabannya.
xOx

Aku tidak perlu bereaksi apa-apa ketika mendengar kata cinta. Karena aku sudah merasakannya. Kau perhatian. Aku yakin itu. Karena kau bertanya kenapa aku diam.
Kau dapat menenangkanku. Aku juga yakin itu. Ketika kedua alismu terangkat dan kedua matamu menatapku lekat-lekat, lalu bibirmu bertanya, “Kenapa cuma senyum?” Di saat itulah aku bisa melihat sorot teduh matamu yang tulus. Itu yang selalu membuatku tenang.
Kau selalu menjaga perasaanku. Aku juga yakin itu. Ketika kau melihatku hanya diam dan takut kau telah melukai perasaanku, kau akan bertanya, “Apa aku berbuat salah?” Di saat itulah aku mengerti betapa kau sangat menjaga perasaanku.
Itu semua adalah darimu yang selalu membuatku tersenyum.
Tapi ada satu yang membuatku kecewa. Kau tidak perasa.
Drrrt… drrt… drrt… ponselmu di meja bergetar. Di layar ponselmu tertulis ‘MyDear’. Kau tersenyum ketika mengetahui siapa si penelepon itu.
Aku hapal apa yang akan kau lakukan setelah ini. Kau akan menempelkan ponselmu di telinga kiri, lalu berkata lembut, “Pagi, sayang.”, lalu tersenyum mendengar suara halus di seberang sana yang membalas sapaanmu, lalu kau akan semakin tersenyum, tersenyum, tersenyum, dan akhirnya kau berkata padaku, “Nin, aku duluan ya! Thanks udah nemenin makan!”
Finalnya, kau akan meninggalkanku sendirian di kafe ini. Seperti hari-hari kemarin.
Ya, aku tidak perlu bereaksi apa-apa ketika mendengar kata cinta. Karena aku sudah merasakannya…. dan karena cinta itu memang bukan untukku. Aku hanya perlu diam.
xOx

cerpen-part 2 Ferdi


Part 2: Ferdi

“Ferdi! Ini yang kamu cari, kan?”
Pagi itu seperti biasa, kau selalu lebih dulu menemukan apa yang kucari. “Hebat! Thanks ya!” ucapku sambil menerima buku karangan Dan Brown yang kausodorkan.
Selanjutnya seperti biasa pula, aku berjalan menuju meja pustakawan. Tapi tiba-tiba kau memanggilku.
“Ferdi!”
Aku menoleh. Terlihat kau berdecak sesaat dan mengacungkan sebuah kartu untukku. “Lupa lagi, kan, kartu perpusnya?”
“Oh… iya! Pake kartu ya nyewanya?” tanyaku tolol. Tentu saja pakai kartu!
Ya, akhirnya semua ini berakhir seperti biasanya pula. Aku meminjam kartumu untuk menyewa buku karangan Dan Brown. Aku juga tidak tahu kenapa aku selalu lupa membawa kartu. Tapi untungnya kau selalu ada meminjamiku kartu.
“Terima kasih!” ucapku padamu.
xOx

Aku sudah merenungkan hal ini berulang kali. Kau memahamiku dengan baik. Sampai kebiasaan-kebiasaan kecil seperti yang selalu terjadi di perpustakaan pun kau tahu. Apa ini karena kita sudah tiga tahun menjadi teman kuliah? Ya, kurasa itu salah satu faktornya. Hmm… tapi aku tidak mau berpikir macam-macam. Kau teman terbaik yang kumiliki.
xOx

Pagi menjelang siang. Seusai kuliah sekitar pukul sepuluh, seperti biasa aku mampir ke kafetaria mungil di seberang kampus. Seperti biasa pula aku tidak punya teman sarapan dan aku mengajakmu.
“Hey, meja itu kosong! Ayo cepet!”
Kau menarikku untuk buru-buru menempati meja di dekat jendela kaca besar. Diam-diam aku tersenyum. Ini lucu bagiku. Kau terlalu terobsesi untuk menempati meja di dekat jedela kaca besar itu. Sehingga begitu melihat meja itu kosong, kau langsung menyerbu seperti melihat artis.
Selanjutnya acara sarapan ini berlangsung seperti biasa. Mengenyangkan dan menyenangkan. Saking menyenangkannya kita sampai tidak beranjak pergi walau makanan kita sudah habis sejak sejam yang lalu.
Drrt… drrt… drrt… ponselku di meja bergetar. ‘MyDear’. Aku tersenyum melihat siapa penelepon itu.
“Pagi, sayang!” sapaku ringan. Selanjutnya aku berbincang-bincang ringan dengan lawan bicaraku di telepon yang tidak lain adalah kekasihku, “Iya ini udah selesai kuliahnya… Oh kamu udah di sana? Hahaha… iya-iya… Oke… bisa kok… Ya udah aku ke sana, ya!”
Klik. Aku mengakhiri sambungan teleponku. Lalu aku mendongak. Menatapmu yang hanya diam tersenyum. Ya, kau pasti sudah tahu juga kebiasaanku yang ini.
Aku berkata sedikit tidak enak, “Nin, aku duluan ya! Thanks udah nemenin makan!”
Kau hanya diam tersenyum dan mengangguk menanggapi salam perpisahanku.
xOx

Aku juga sudah merenungkan hal ini berulang kali. Apa tindakanku kelewatan menerima telepon pacar di hadapanmu? Jujur aku merasa tidak enak. Seperti pamer aku memiliki pacar sedangkan kau tidak. Tapi kita sudah terbiasa saling terbuka dalam segala hal. Aku justru merasa aneh kalau harus bersembunyi darimu hanya untuk menelepon pacar.
Tadi, di tengah perbincangan seru kita di kafetaria, iseng-iseng aku bertanya apakah kau sudah punya pacar? Apakah ada orang yang kaucintai? Dan kau hanya diam menanggapi pertanyaanku. Ketika aku bertanya kenapa hanya diam, kau justru tersenyum. Ketika aku bertanya kenapa kau hanya tersenyum, kau masih saja diam. Aku mulai bingung. Jangan-jangan kau tidak suka aku menanyaimu masalah pacar.
Oh ya ampun, kau membuatku gila!
xOx


cerpen-part 3 Bella


Part 3: Bella

“Hey!” Aku sedikit berjinjit dan melambaikan tangan begitu melihatmu berjalan di trotoar. Syukurlah kau segera melihatku sehingga aku tidak perlu berdadah-dadah terlalu lama seperti orang gila.
Kau tersenyum di seberang sana. Kau berkata tanpa suara dan aku mengerti apa yang kauucapkan. “Tunggu di situ!” katamu hanya dengan gerak bibir. Lalu kau menyebrang jalan dengan lincah. Menyelip di antara mobil-mobil dan beberapa angkutan umum.
“Udah lama?” tanyamu begitu kau berhasil mendarat di sisiku.
“Nggak kok. Baru aja,” jawabku. “Baru ngapain tadi? Sarapan?”
Kau meringis lucu. “Ya begitulah.”
“Dasar! Jam 10 baru sarapan!” Aku memukul bahumu manja. Lalu aku sedikit melongokkan kepala berusaha melihat ke dalam kafetaria mungil tempatmu berada tadi. “Sama temen kamu lagi?” tanyaku. Kali ini tanpa sadar nada suaraku terdengar aneh.
“Iya. Kayaknya dia masih di dalem,” kau hanya menjawab simpel.
Aku mengangguk-angguk acuh tak acuh. Lalu perhatianku jatuh pada sebuah buku tebal di tangan kananmu.
“Buku apa tuh?”
“Oh, ini novel karangan Dan Brown. Bagus lho. Mau baca?” Kau menyodorkan novel tebal itu.
Aku langsung menggeleng. Melihat jumlah halamannya saja aku sudah malas. “Tumben kamu mau baca buku tebel-tebel gitu. Kesambet setan apa?” godaku.
“Hahaha… wah menghina kamu!” Kau tertawa lebar sambil mengucek singkat rambutku. “Ini novel rekomendasi dari Nindya. Dia bilang bagus. Ya udah aku pinjem. Yakin nih kamu nggak mau baca?” Kau menawariku lagi.
Dan tanggapanku tetap sama. Aku hanya menggeleng. “Udah yuk! Langsung jalan aja!” pintaku cepat. Langsung kugandeng lenganmu dan seperti biasa kau akan mengantarku ke tempat bimbel setelah sebelumnya nongkrong dulu di tempat hang out.
xOx

Sebenarnya sedekat apa hubungan pertemanan kalian? Sering dalam hati aku memendam pertanyaan itu. Aku benar-benar penasaran.Ya, aku memang tidak heran kalian begitu dekat. Kalian sudah tiga tahun menjadi teman kuliah. Beberapa kali aku bertemu Nindya, dia juga terlihat biasa saja. Tapi, aku tidak tahu kenapa, sepertinya ada yang aneh ketika kau mulai bercerita tentang Nindya.
Diam-diam, tadi ketika masih di trotoar, aku menoleh mengamati kafetaria mungil itu. Dari kaca jendela besarnya yang bening, terlihat jelas gadis itu masih menghuni salah satu bangku di sana. Dia tersenyum ramah ketika mata kami bertemu. Dan aku juga balik tersenyum padanya.
Hmm… sepertinya tidak ada yang aneh. Mungkin aku saja yang terlalu paranoid.
xOx

Hari-hari berikutnya berlalu seperti biasa. Kau datang menemuiku setiap malam Minggu. Beberapa kali selain di malam Minggu kita juga pergi untuk sekedar hang out. Kau juga masih seperti biasa. Sering membuatku tertawa dan menyenangkan. Semuanya berjalan seperti biasanya. Tidak ada yang aneh.
Sampai suatu ketika aku mulai menyadari ada yang berubah darimu. Entah hanya perasaanku saja atau apa, tapi sepertinya kau semakin perhatian pada Nindya.
xOx

cerpen-part 4 Aku Hanya Perlu Tersenyum


Part 4 : Aku Hanya Perlu Tersenyum

Entah aku yang terlalu percaya diri atau ini memang benar. Aku merasa perhatianmu padaku berubah. Kau semakin sering membuatku bahagia. Kau seperti berusaha meminimalisir kesalahanmu padaku. Yang paling mencolok adalah sekarang kau tidak pernah menelepon Bella di depanku. Kau tidak pernah menemui Bella setelah makan pagi bersamaku di kafe kecil itu. Bukankah di jam-jam itu jadwal selesainya kuliah Bella dan biasanya kalian akan pergi bersama?
Jujur, aku merasa senang. Aku tidak lagi menahan perih karena harus melihatmu bersama gadis itu. Tapi ini justru terasa ganjil. Sesuatu yang terlalu sempurna adalah sesuatu yang justru harus dipertanyakan. Sebenarnya apa yang kausembunyikan?
xOx

Aku mendapat jawabannya tidak lama kemudian. Hari itu seperti biasa, sepulang kuliah kau mengajakku makan pagi di kafetaria. Aku sudah merasa aneh dari awal. Kau lebih banyak diam hari itu.
Lalu begitu kita selesai makan, aku memberanikan diri bertanya.
“Jam kuliah Bella berubah ya?” tanyaku.
“Enggak. Masih sama.”
Aku mendengar jawabanmu. Dari caramu bicara masih terdengar santai.
“Terus kenapa sekarang kamu jarang pergi sama dia?”
Kali ini kau terdiam. Cukup lama. Tapi aku tetap menunggu dengan sabar.
Kau menunduk. Kau tampak berpikir keras. Lalu kau menjawab dengan nada yang terdengar tegas, “Aku sengaja. Aku nggak mau terlalu banyak nyakitin kamu.”
Seketika aku membeku. Apa maksudmu berkata seperti itu? Kau tidak menjelaskan lebih lanjut maksud ucapanmu. Aku juga tidak berani bertanya lebih banyak. Tapi, aku takut dugaanku benar. Aku takut jika… kau tahu aku mencintaimu.
xOx

Aku masih menemukan sorot yang sama dari matamu. Sorot keteduhan yang tulus, yang dapat menenangkanku. Aku juga masih menemukan sikapmu yang sangat menjaga perasaanku. Kau juga masih perhatian kepadaku. Bahkan lebih. Secara garis besar, semua darimu masih sama. Dan aku menyukainya.
Tapi jika mengingat kejadian beberapa hari yang lalu, aku merasa canggung. Sangat-sangat canggung. Aku mulai ketakutan. Jangan-jangan kau benar-benar tahu jika aku mencintaimu.
“Nin, ngelamun lagi?” Kau menegurku pagi itu.
Aku buru-buru mengelak. “Enggak. Orang lagi baca buku,” sahutku enteng. Aku langsung pura-pura membolak-balik halaman buku di hadapanku. Tapi sebenarnya ya, aku melamun.
Lalu aku sedikit menoleh ke arahmu. Kau terlihat masih menyalin catatanku.
“Fer?”
“Hmm?” Kau mengangkat wajah dari buku catatan dan berhenti mencatat. Kini kau menatapku. Membuatku gugup setengah mati.
“Fer, aku ngerasa aneh,” ucapku pelan. Aku menunduk kembali menghadap buku.
Kau diam saja. Aku tahu kau pasti kebingungan. Itu maklum.
“Bella apa kabar, Fer?” tanyaku kemudian. Aku merasa ada yang aneh di dasar hatiku ketika mengucapkan nama itu.
“Dia baik-baik aja,” jawabmu sederhana.
Selanjutnya, hanya ada keheningan. Aku memilih diam. Begitu pula dirimu. Detik demi detik berlalu. Aku tetap membaca buku di hadapanku. Tapi tidak ada satu kata pun yang terserap ke otakku.
“Nin, boleh aku minta satu hal dari kamu?” Tiba-tiba kau berkata memecah keheningan.
Aku masih menunduk. Aku tidak berani menatap kedua matamu.
“Emangnya kamu minta apa?” tanyaku ragu.
Kau menghela napas. “Jangan berubah,” ucapmu pelan. “Dan jangan pergi.”
Seketika aku membatu. Aku tidak tahu harus menanggapi apa. Lalu tiba-tiba kau memutar bahuku hingga aku dapat menghadapmu sepenuhnya.
“Nin…” panggilmu lirih. Aku semakin menunduk. “Mungkin awalnya berat. Tapi aku yakin kamu bisa melewatinya,” kau berkata hati-hati. Aku tidak berani menebak ke mana arah pembicaraan ini. Aku hanya mendengarkan. “Nin, aku minta maaf. Aku udah banyak nyakitin kamu. Aku nggak meduliin perasaanmu. Aku minta maaf.”
Aku masih diam menunduk.
Well, aku nggak bisa berbuat banyak. Tapi aku rasa, kepastian adalah yang paling baik buat kamu,” ucapmu penuh kehati-hatian. “Nin, aku lebih suka kita tetep kayak gini,” ujarmu. “Aku lebih merasa nyaman kalau hubungan kita tetep sebatas hubungan pertemanan.”
Aku menelan ludah susah payah. Tenggorokanku mendadak terasa sangat-sangat kering. Semua kalimat yang kauucapkan meluncur dengan baik di lorong telingaku dan mendarat dengan begitu menyakitkan di hatiku. Aku tidak tahu kata apa yang paling tepat untuk mewakili perasaanku saat ini. Remuk, tapi nyatanya yang kurasa lebih dari remuk. Sakit, tapi nyatanya yang kurasa juga jauh lebih menyakitkan.
Ferdi… aku hanya bisa memanggil namamu dalam hati. Dan tiba-tiba aku ingin menangis.
“Nindya, kamu… kamu…” kau memilih tidak meneruskan kata-katamu. Lalu tiba-tiba kau justru memelukku. “Maaf, Nin, maaf,” bisikmu di satu telingaku.
Aku benar-benar ingin menangis sekarang. Tapi mati-matian kutahan semua itu. Aku masih ingin mengucapkan banyak hal padamu sebelum suaraku tertelan isak tangis.
“Fer, aku seneng kamu tahu perasaanku yang sebenernya ke kamu,” ucapku perlahan-lahan. Dalam hati aku bersusah payah menahan tangis. Lalu aku melanjutkan, “Dari awal aku juga nggak berharap untuk punya rasa yang lebih ke kamu. Semuanya berjalan alami. Aku…  aku minta maaf. Aku udah merusak persahabatan kita. Gara-gara aku hubungan kita pasti bakalan canggung. Nggak seharusnya aku nganggep kamu lebih dari sekedar sahabat.”
“Nggak. Kamu nggak salah sama sekali. Semua itu manusiawi.”
Aku mendengarkan kata-katamu. Aku semakin ingin menangis. Dan satu-persatu bulir air mataku akhirnya berjatuhan.
“Fer…” panggilku lirih. “Sekarang, aku cuma berharap persahabatan kita nggak berubah. Dan kamu nggak perlu meduliin aku. Aku nggak mau hubungan kamu sama Bella rusak karena aku. Aku bakal merasa bersalah banget.”
“Udah… udahlah. Kamu nggak perlu mikirin aku ataupun Bella dulu. Yang penting sekarang kamu harus bisa mengendalikan emosi kamu sendiri dulu, oke? Mungkin awalnya berat. Tapi aku yakin lama-lama kamu pasti bisa melewatinya. Aku percaya itu. Aku kenal kamu sejak tiga tahun lalu. Dan aku tahu kamu punya semangat yang kuat. Aku percaya itu.”
Aku terus mendengarkan kata demi kata yang kauucapkan. Semua itu terasa sangat menyejukkan. Terima kasih. Terima kasih Ferdi. Kamu mau menghargai perasaanku sedemikian rupa. Kamu mau menyemangatiku sampai sejauh ini. Dan kamu bisa bersikap bijak untuk menyikapi semua ini. Terima kasih. Terima kasih Ferdi.
xOx
Epilog

Aku masih menemukan sorot yang sama dari matamu. Sorot keteduhan yang tulus, yang dapat menenangkanku. Aku juga masih menemukan sikapmu yang sangat menjaga perasaanku. Kau juga masih perhatian kepadaku. Bahkan lebih.
Aku tidak peduli apa statusku terhadapmu. Yang penting kau selalu ada untukku ketika aku membutuhkanmu, kau selalu mengayomiku, dan kau selalu menjadi sahabat terbaikku.
Lalu apa reaksiku sekarang jika aku mendengar kata cinta?
Aku hanya perlu tersenyum. Aku tahu apa arti cinta sekarang. Cinta adalah ketegaran untuk menghadapi luka. Itu definisi cinta menurutku.
Terima kasih. Aku menyukai persahabatan yang seperti ini.


Cerpen-Pelarian


PELARIAN
Lantai 6.
Sore itu kota terlihat kabur. Tertutup tirai hujan yang menjuntai membasahi bumi. Aku tidak peduli hujan sedang lebat-lebatnya dan aku sudah basah kuyup diguyur hujan di teras atas ini. Ngomong-ngomong, ini baru pertama kalinya aku berdiri di balkon dalam keadaan hujan. Aku merasa kedinginan. Bahkan tulang-tulangku serasa dihunus pedang super dingin. Uh… dinginnya. Aku bergidik kedinginan. Tapi sepertinya rasa dingin ini tidak cukup mampu membunuhku.
Aku lalu melongokkan kepala di bibir balkon. Pemandangan kota di bawah sana semakin jelas terlihat. Para pejalan kaki yang berteduh di bawah payung beraneka warna di jalan sana terlihat kecil. Pohon-pohon, rumah-rumah, mobil-mobil, angkutan-angkutan umum, dan semua benda yang biasanya terlihat besar kini terlihat kecil dari lantai 6.
Aku sudah pernah mengamati hal-hal itu sebelumnya. Dan aku selalu bersyukur aku memiliki apartemen di lantai 6. Lalu sekarang aku juga bersyukur akan hal itu. Lantai 6 kurasa cukup tinggi. Dari lantai 6 ini pula kurasa cukup untuk melakukan aksi bunuh diri. Jika aku jatuh dari sini, pasti tulang-tulangku remuk seketika. Kemudian jiwaku bisa menyeruak dari tulang-tulang yang selama ini mengurungku, kemudian aku bisa bebas dari dunia yang bangsat ini.
Oke kalau begitu.
Aku memejamkan mata. Kucengkeram besi balkon dengan kesepuluh jariku. Kaki kananku mulai naik memanjat teralis balkon. Lalu disusul kaki kiriku. Kemudian aku tinggal mencondongkan tubuhku ke depan. Ya seperti ini.
Aku bisa merasakan jantungku berdebar. Tapi kunikmati saja. Ini saat-saat terakhirku merasakan detak-detak itu. Setelah ini aku tidak akan merasakannya lagi.
 “Selamat tinggal,” ucapku parau.
Aku semakin mencondongkan tubuhku ke depan. Aku mulai merasa seluruh berat badanku sudah beralih ke depan. Kesempatanku memilih semakin kecil. Hidup atau mati? Aku menelan ludah susah payah. Mati. Aku memilih mati.
Dan kesepuluh jemariku serta kedua kakiku mulai terasa seperti tergelincir dari pijakan. Kemudian aku memejamkan mata, lalu aku benar-benar terbang. Kesepuluh jemariku serta kedua kakiku tidak merasa menyentuh apa pun lagi. Beberapa detik lagi aku akan mati. Ah… ternyata mudah sekali untuk mati.
“Miauw….!”
Tunggu! Bunyi apa itu? Kucing? Ale? Kenapa aku masih mendengar ngeongannya? Oh… mungkin itu hanya Ale yang terkejut melihatku terjatuh dari balkon.
“Miauw….!”
Kali ini aku merasa kakiku dibelai bulu basah yang hangat. Apa ini? Sedetik sebelumnya aku merasa terbang. Tidak menyentuh apa-apa. Tapi kenapa sekarang…
Tunggu!
Aku membuka kedua mataku. Kemudian aku mengerjap cepat. Yang kulihat masih sama. Pohon-pohon, rumah-rumah, mobil-mobil, angkutan-angkutan umum, serta payung warna-warni yang terlihat kecil di bawah sana. Semuanya masih terlihat kecil.
Aku belum terjatuh. Aku belum mati. Aku masih hidup.
“Aku… aku… aku masih…”
Tanpa sadar aku menegakkan tubuhku. Tanpa sadar pula aku menurunkan kedua kakiku dari teralis balkon. Aku menjauh dari balkon. Aku  bisa merasakan langkahku gemetar. Sekujur tubuhku gemetar. Lalu aku merasa benar-benar tidak bisa berjalan lagi. Aku terduduk lemas di tengah balkon.
“Apa yang kupikirkan?! Bodoh!” aku bertanya pada diriku sendiri seperti memarahi diri sendiri.
Apa yang kupikirkan tadi?! Bodoh sekali aku! Berpikir mati akan lebih baik hanya karena dia sudah menghancurkan hidupku? Oh… ya ampun! Argh… ini semua gara-gara dia! Memangnya siapa dia? Aku benci dia! Jelas-jelas selama ini dia yang salah. Tapi dia selalu melempar kesalahan itu padaku. Siapa suruh membawa-bawa orang ketiga dalam hubungan ini? Dasar lawyer payah!
“URGH! BRENGSEK!” teriakku mengalahkan riuh rinai hujan. Aku ingin merasa melempar sesuatu. Aku butuh pelampiasan!
Aku memandang sekeliling. Ale. Kucing persia berbulu putih itulah yang hanya ada di sebelahku. Kugendong kucing yang basah kuyup itu dan… dan…
“ARGGGHHH…!” Aku justru menangis meraung-raung. Aku benar-benar terlihat seperti orang gila! Apalagi yang baru saja kupikirkan? Membanting kucing? Melempar kucing dari lantai 6? Bodohnya aku!!!!!
Semua ini memang karena dia. Erik. Hubungan yang sudah kami bangun susah payah selama tiga tahun. Hubungan yang sudah menghasilkan cincin pertunangan. Hubungan yang sudah memperkenalkan orang tuaku dan orang taunya. Hubungan yang kubilang sempurna. Tapi kemudian semuanya berantakan. Di bulan-bulan terakhir ini ternyata dia menemukan cinta yang lain. Lalu hari ini, tadi pagi, dengan teganya dia mendeklarasikan perpisahan kami. Dia bilang kami tidak cocok. Sama-sama keras kepala, sama-sama pemberontak. Dia bilang aku akan menemukan laki-laki yang lebih baik. Bullshit! Non-sense! Omong kosong! Bilang saja dia tertarik wanita lain yang lebih cantik dan sexy itu!
“AARGH…. AKU BENCI KAMU!!!!” teriakku lagi. Aku tidak mau mati hanya karena dia! Tidak! Aku masih memiliki karir cemerlang, teman-teman yang menyenangkan, dan keluarga yang sangat menyayangiku. Kenapa aku harus mati hanya karena dia?!
xOx

Aku menggigil kedinginan di trotoar di depan apartemenku. Sore masih berlumuran hujan. Dan aku dengan cerdasnya baru saja menerobos hujan hanya untuk ke rumah Erik. Ya, aku baru saja dari sana untuk mengembalikan semua barang-barang pemberiannya. Baju, perhiasan, DVD-DVD, semuanya. Tapi ketika aku menyerahkan Ale, dia tidak mau menerimanya. Dia bilang dia mau aku merawatnya. Ah… untuk apa aku merawat kucing?!
“Selamat sor—” Pemilik toko hewan peliharaan yang berada tepat di depan gedung apartemenku terlihat bingung melihatku datang basah kuyup.
“S-s-saya… mau… menj-menjual kucing i-ini,” ucapku terbata. Aku menggigil hebat. Bayangkan saja. Sudah berjam-jam aku berada di bawah guyuran hujan yang tak kunjung reda ini. Ketika merenung di balkon, perjalanan ke rumah mantanku, balik lagi ke apartemenku, dan sekarang aku keluar ke toko hewan di depan apartemenku.
“Anda yakin mau menjual kucing ini?” Laki-laki itu keluar dari meja kerjanya dan mendekatiku.
Aku mengangguk tegas sambil masih gemetar.
“Emm… sebentar!” Laki-laki itu menggaruk rambut sesaat lalu malah menghilang ke ruang di balik ruangan ini.
Entah apa yang dilakukannya. Aku duduk di satu-satunya kursi plastik hijau di ruang yang penuh kandang kucing itu. Ruangan ini sedikit ramai oleh ngeongan kucing. Lalu kuletakkan kandang kucing putih berisi Ale si kucing persia yang basah kuyup di sampingku. Sepertinya kucing itu juga menggigil kedinginan. Tapi apa peduliku?!
“Ini.” Laki-laki itu datang lagi. Membawa dua lembar handuk tebal. Satu handuk berwarna pink muda berukuran kecil, dan satu lagi handuk kuning berukuran besar. “Ini untuk Anda, dan kucing Anda.”
Sebenarnya aku enggan mengambil handuk itu. Aku mau cepat-cepat menjual kucing ini dan kembali ke apartemenku.
“T-terima kasih!” Tapi akhirnya kuambil juga handuk itu.
Laki-laki itu lalu berjongkok mengeluarkan Ale dari kandang dan membalutnya dengan handuk pink.
“Kenapa Anda mau menjual kucing ini?” tanyanya.
Aku masih menggigil. Aku malas menjawab karena kesusahan bicara dan karena aku memang tidak ingin membahas banyak.
Laki-laki itu lalu berdiri sambil menggendong Ale. Ale terlihat nyaman berada dalam pelukan laki-laki itu. Baguslah kalau begitu. Berarti aku tidak salah memilih tempat menjual Ale.
“Apa Anda benar-benar membutuhkan uang?” Laki-laki itu kembali bertanya. Aku melihat dahinya berkerut dan ia memperhatikanku dari atas sampai bawah.
Dengan kondisiku yang basah kuyup seperti ini memang tidak menutup kemungkinan dia berpikir aku benar-benar membutuhkan uang. Mana ada orang tidak kepepet yang mau menerobos hujan lebat begini? Tapi nyatanya memang ada. Aku.
“Kucing Anda bagus,” kata laki-laki itu tanpa menunggu jawabanku atas pertanyaannya tadi. “Bulunya, matanya, giginya, telinganya. Semuanya sehat dan terawat. Selama ini Anda merawat sendiri kucing ini?” tanyanya lagi.
Aku merasa mulai ingin marah. Kenapa laki-laki itu terus bertanya? Tentu saja aku merawat sendiri. Kucing itu adalah hadiah dari mantanku yang waktu itu masih kucintai setengah mati. Tentu saja aku rela melakukan apa saja hanya untuk kucing itu!
“Ya.” Aku tidak bisa marah. Aku masih punya harga diri. Akhirnya aku hanya menjawab satu kata itu.
“Oh…” Laki-laki itu mengangguk-angguk. Lalu kembali memeriksa Ale yang beberapa kali mengeong. “Berapa lama kucing ini Anda miliki?”
Diamlah! Aku meremat handuk kuning itu. Aku ingin segera kembali ke apartemen.
“Tiga tahun,” jawabku setelah berhasil menenangkan batinku.
“Hmm… tiga tahun, dan Anda merawatnya sendiri. Anda yakin mau menjual kucing ini?”
“YA! DAN SAYA TIDAK BUTUH UANG! TERIMA KASIH!” Aku melempar handuk kuning itu ke lantai dan langsung keluar dari toko hewan itu. Aku tidak peduli si pemilik toko itu menganggapku tamu aneh atau tidak sopan sekali pun. Aku hanya ingin membuang Ale di tempat yang tepat. Itu saja! Aku tidak mau ditanya-tanyai!
xOx

“ALEEEE!” Aku berteriak keras sambil berlari cepat menerobos orang-orang yang berlalu lalang di sepanjang trotoar.
Masih dengan piyama putih bergaris biru, ditambah sandal boneka Piglet, malam itu aku langsung berlari ke luar apartemen. Aku terus berlari, berlari, dan berlari menyusuri trotoar menuju toko hewan peliharaan itu. Sudah bisa ditebak. Ya, aku menyesali kebodohanku tadi sore. Membuang Ale? Yang benar saja!
CKRAK… Pintu kaca toko hewan itu kubuka secara kasar. Aku langsung berhadapan dengan laki-laki tadi sore. Dan lagi-lagi laki-laki itu belum selesai mengucapkan salam ketika menatapku.
“Selamat ma—Hey, Anda yang tadi sore, kan?” Keningnya langsung berkerut dan ia memperhatikanku dari atas sampai bawah persis seperti tadi sore.
Sejenak aku menduga-duga. Apa yang dipikirkan laki-laki itu kali ini. Melihat wanita datang malam-malam mengenakan piyama, sandal boneka, wajah dan rambut acak-acakkan, serta napas terengah-engah yang kentara sekali menunjukkan bila aku terus berlari di sepanjang perjalananku menuju toko ini.
“Anda datang kemari ingin mengambil kucing Anda lagi?”
Aku tercekat. Laki-laki itu tahu maksud kedatanganku.
“Emm… ya,” aku menjawab takut. Kuremat gagang pintu yang baru kusadari ternyata masih kugenggam.
Laki-laki itu lalu bangkit dari duduknya dan keluar dari mejanya.
“Datang di saat hujan lebat, lalu pergi begitu saja sambil berteriak Anda tidak butuh uang.” Laki-laki itu berjalan mendekatiku. “Sekarang, dengan kostum pajamas party, Anda datang lagi untuk mengambil kucing Anda. Hmm… Anda pikir ini lucu?” Laki-laki itu menaikkan sebelah alisnya.
Aku merasa tenggorokanku mengering seketika. Aku menelan ludah sebanyak yang kubisa dan menunduk menghindari tatapannya.
“Saya… saya minta maaf,” ucapku takut. Tapi sebenarnya kurasa aku tidak perlu meminta maaf. Ya, mungkin sedikit perlu untuk sikapku yang tidak sopan tadi. Tapi kemudian apa salahku? Aku tidak meminta uang darinya. Hanya menitipkan kucingku dari jam 5 sore tadi sampai sekarang jam 8 malam. Hanya tiga jam.
Aku mendengar laki-laki itu menghela napas. “Anda mungkin berpikir tindakan Anda tadi tidak merugikan, kan?”
Apa? Aku merasa ingin menyuruh laki-laki itu untuk mengulang kalimatnya lagi. Kenapa laki-laki itu seperti bisa membaca pikiranku?
“Kucing Anda demam dan flu,” kata laki-laki itu. “Anda pikir itu tidak merugikan? Karena kucing Anda, beberapa kucing saya ikut terkena flu!”
Heh? Masa? Spontan aku mengangkat wajah dari ketertundukkanku. Tadi sore Ale memang menemaniku merenung di balkon, di bawah hujan. Tapi, tunggu aku bisa membela diri.
“Sebagai pemilik toko hewan peliharaan yang cukup sukses seperti ini, bukannya Anda seharusnya dari awal tahu kucing saya sakit, sehingga Anda harus melakukan tindakan preventif agar kucing-kucing Anda yang lain tidak tertular?” Kalimatku mengalir lancar. Sebagai lawyer otakku berpikir cepat mengadakan pembelaan.
“Oh… begitu? Jadi Anda menyalahkan saya?”
“Oke, oke. Sebenarnya saya yang salah. Membuat kucing saya demam, lalu membawa kucing saya ke toko ini. Tapi Anda juga tetap salah. Sebagai pakar kucing seharusnya Anda tahu apa yang harus Anda lakukan?”
Laki-laki itu diam. That’s it. Dia baru kali ini berhadapan dengan lawyer sepertinya.
“Oke. Saya tidak mau berdebat dengan Anda. Tapi asal Anda tahu, kedatangan Anda tetap mendatangkan bad luck di toko saya!”
Aku berdecak. Aku hanya ingin mendapatkan Ale lagi dan pulang. Urgh… untuk kedua kalinya aku merasa tidak betah di toko ini. Dan untuk kedua kalinya pula orang ini menyebalkan. Tadi sore banyak bertanya, sekarang banyak berdebat.
“Oke begini saja,” aku mengarahkan satu tanganku ke hadapan laki-laki itu. “Anda butuh berapa untuk biaya pengobatan kucing-kucing Anda?”
“Saya tidak butuh uang!”
Oh… oke. Sekarang dia meniru gayaku.
“Lalu apa yang Anda butuhkan?” tanyaku hampir menyerah.
“Saya mau kucing-kucing saya sembuh.”
“Lalu apa yang bisa saya lakukan?”
“Menjauh dari toko ini.”
Keningku langsung berkerut rapat. “Anda mengusir saya? Saya mau mengambil kucing saya.”
“Tapi saya mau kucing saya sembuh.”
“Ya itu urusan Anda. Saya cuma mau mengambil kucing saya!”
“Masalahnya, sekarang kucing ini milik saya. Bukan milik Anda! Dan saya mau kucing saya sembuh. Keberadaan Anda di toko ini membawa bad luck untuk kucing-kucing saya!” Laki-laki itu menenteng kandang Ale yang menampakkan Ale sedang tertidur di dalamnya.
Kontan aku terbelalak tidak terima. “Tidak bisa! Anda tidak bisa berlaku seperti itu. Itu kucing saya!”
“Anda yang memberikannya pada saya tadi sore. Tiga jam yang lalu. Anda sudah lupa?”
“Arghhh…. sh*t!” Aku menjambak rambutku geram. Orang ini menyebalkan! Sejenak aku berjalan mondar-mandir di toko itu. Mencari akal dan menentramkan pikiran. “Oke… oke. Begini saja. Saya beli kucing ini,” kataku. Aku hampir tidak percaya. Aku membeli kucingku sendiri. Yang benar saja?!
“Anda mau membeli kucing ini?”
“Ya!” Aku mengangguk tegas.
“Maaf. Tapi saya tidak menjual kucing yang sedang sakit.”
“ARGHH…. Anda ini benar-benar… Argh!” Aku semakin ingin marah. Kenapa laki-laki ini selalu mempersulit semuanya? Apa dia tidak tahu aku sedang mengalami masa-masa sulit sekarang ini?
“Oke, kalau begitu saya rasa Anda tidak butuh apa-apa lagi. Jadi Anda bisa keluar,  sekarang.” Laki-laki itu berjalan tenang dan membukakan pintu untukku.
Argh! Apa-apaan ini??? Sepertinya aku tidak punya pilihan lain. Akhirnya aku hanya bisa menelan kemarahanku mentah-mentah dan berjalan ke luar toko itu.
Tapi tunggu! Aku punya satu senjata lagi untuk membawa pulang Ale! Aku pun segera berbalik lagi menghadap pemilik toko menyebalkan itu.
“Kenapa balik lagi?” Laki-laki itu langsung menyambutku sengak. Urgh!
“Anda bilang Anda tidak menjual kucing sakit, kan?”
“Ya.”
“Kalau begitu saya akan membeli kucing itu begitu kucing itu sembuh! Terima kasih. Selamat malam!”
xOx

Pagi itu sebelum berangkat ke kantor, aku menghentikan mobil di depan toko hewan kemarin. Terlihat jelas dari pintu kaca, laki-laki si pemilik toko itu langsung mendesah malas begitu melihatku. Tapi apa peduliku? Aku hanya ingin menemui Ale.
“Bukannya Anda bilang Anda akan membeli kucing ini begitu sembuh?”
“Saya hanya ingin memastikan kucing saya sudah sembuh atau belum.”
“Ini butuh waktu tiga sampai empat hari. Bahkan mungkin seminggu.”
Aku mendengarkan kata-kata laki-laki itu sambil lalu. Aku berjalan mondar-mandir di toko itu mencari kandang putih Ale. Dan ah… itu dia! Aku langsung berjongkok di depan kandangnya.
“Hey! Kalau Anda mau berinteraksi dengan kucing sakit Anda harus mengenakan sapu tangan dan masker dulu!”
“Tapi aku tidak bawa!”
“Ah… sehurusnya aku tahu itu dari awal!” Laki-laki itu menggaruk rambut asal-asalan dan malah menghilang ke ruang di balik ruang ini. Seperti kemarin. Entah apa yang dilakukan.
“Pakai ini!” Laki-laki itu sudah datang lagi dengan sepasang sarung tangan plastik dan masker.
Well, oke. Dari pada aku tidak bisa membelai Ale, lebih baik aku mengenakan semua yang diinginkan laki-laki itu.
“Oh… sini-sini sayang!” Aku langsung memeluk erat kucing yang selama tiga tahun sudah menemaniku itu.
 “Sepertinya Anda akan datang terus ke toko ini sampai kucing ini benar-benar sembuh. Benar atau tidak?”
Aku berbalik. Laki-laki itu menatapku dengan tatapan jengahnya.
“Oh… ternyata aku boleh datang ke sini setiap hari? Oke aku akan datang ke sini setiap hari. Terima kasih!” Aku tersenyum menang di balik masker. Terserah dia mau berkata apa.
“Sial!” Laki-laki itu menggeram. “Jadi saya justru memberi Anda ide, ya?” gumamnya lebih kepada diri sendiri.
Aku mengedikkan bahu acuh tak acuh. “Sudahlah. Kau tidak perlu berbicara formal lagi karena aku akan datang setiap hari. Kita bisa jadi teman, Tuan!”
“Hah… terserah!” Laki-laki itu mendengus kesal. “Seharusnya Anda tidak putus cinta!”
“Maaf, tadi kau bilang apa?” Aku langsung menoleh terkejut.
“Seharusnya Anda tidak putus cinta!” laki-laki itu berkata tenang. Lalu arah pandangannya tertuju pada Ale. “Kucing Anda yang memberi tahu saya tentang itu.”
“Oh, jadi selain kau bisa membaca pikiranku, kau juga bisa bahasa kucing? Orang yang aneh!”
“Kalung di leher kucing itu yang membuat saya tahu kalau Anda putus cinta.”
Aku berhenti bermain-main dengan Ale. Kutatap kalung merah berbandul hati di leher Ale. Bandul hati itu di dalamnya bertuliskan namaku dan nama Erik. Ada juga kata ‘love’ di dalamnya. What a disgusting thing! Langsung saja kulepas kalung itu dengan tenang dan kulempar kalung itu ke tong sampah.
Sementara itu, si pemilik toko mengeluarkan kotak berisi suntikan dan botol-botol berisi cairan.
“Bast! Come here!” Laki-laki itu menjentikkan jari tiga kali.
Lalu tanpa diduga, Ale melompat dari gendonganku dan menghampiri laki-laki itu.
Good boy, Bast!” Laki-laki itu tersenyum serta membelai Ale singkat kemudian menyuntikkan cairan-cairan itu ke tubuh Ale.
“Bast? Kau memanggilnya Bast? Dia punya nama! Namanya Ale!” seruku.
“Ini kucing saya. Terserah saya mau menamainya apa. Ada masalah?”
“Oh, oke. Aku lupa dalam beberapa hari Ale bukan kucingku.”
“Lagi pula nama Bast lebih bagus,” laki-laki itu bergumam pelan. “Dari pada A-L-E. Arlen Love Erik. Itu kepanjangannya, kan?”
“Hey!” Aku langsung melotot dan laki-laki itu justru tertawa lebar. “Memangnya “Apa arti nama Bast?” tanyaku sambil melepas masker dan duduk di kursi plastik di depan laki-laki itu.
“Arti nama Bast?” Laki-laki itu menatapku sebentar lalu kembali fokus pada Ale. “Bast adalah nama dewi berbentuk kucing menurut mitologi Mesir kuno. Dia melindungi rumah, kucing, dan ladang dari serangan hama tikus. Di zaman itu, orang-orang menganggap kucing sudah menyelamatkan mereka dari bencana kelaparan. Keberadaan kucing menyebabkan tikus semakin jarang. Akibatnya panen tidak pernah gagal.”
Aku mengangguk-angguk (sok) mengerti. Ini baru pertama kalinya laki-laki itu berbicara banyak dengan nada yang tidak sengak kepadaku. Ini momen-momen langka menurutku. Makanya aku memilih diam saja untuk menikmati suara dan gayanya.
Hmm… sepertinya aku baru saja berhasil membaca karakter laki-laki ini. Dia penyuka binatang, dan dia tahu mitologi-mitologi seperti itu. Dia punya karakter lembut, perhatian, dan filosofis. Orang seperti itu kadang agak membosankan. Tapi sikapnya cenderung selalu hangat dan menyenangkan untuk semua orang. Tidak seperti Erik. Keras kepala!
Ya, mungkin karena pekerjaan kami sama-sama lawyer, jadi kami sama-sama keras kepala. Lalu apa jadinya ya kalau orang keras kepala bertemu orang lembut, perhatian, dan filosofis seperti laki-laki ini? Apa si keras kepala itu akan luluh? Apa si keras kepala itu bisa merasa bahagia? Dan apa si keras kepala itu bisa melupakan mantannya karena bertemu orang lembut, perhatian, dan filosofis seperti laki-laki ini?
Hmm… Diam-diam aku mengamati laki-laki itu yang sedang merawat Ale. Dan satu ide gila muncul di benakku. Dia bisa kujadikan pelarian untuk melupakan Erik.
“Siapa namamu?” tanyaku kemudian.
Laki-laki itu mengangkat wajah dari Ale. “Kau menanyakan namaku? Itu penting bagimu?”
“Oh ayolah! Apa ruginya memberi tahu namamu?”
“Haah…” Laki-laki itu mendesah panjang. Ia melepaskan masker dan sarung tangannya lalu mengulurkan tangan kanannya padaku. “Namaku Rendra. Senang berkenalan denganmu, Arlen!” ucapnya tanpa senyum sama sekali.
Tapi aku tetap tersenyum lebar dan menjabat tangan laki-laki itu. “Senang berkenalan denganmu, Rendra!”
xOx

Perkenalan yang unik. Dan aku merasa Rendra benar-benar cocok untuk perlarianku. Hari-hari selanjutnya aku selalu datang ke toko itu. Rendra mulai terbiasa dengan kedatanganku. Tatapan jengahnya juga perlahan-lahan tergantikan dengan tatapan bersahabat. Dia juga mulai banyak bercerita padaku. Ya walaupun hanya seputar kucing. Tapi itu tetap menyenangkan bagiku. Entahlah, sepertinya usahaku menjadikannya sebagai pelarian cukup berhasil.
“Oke, Ale-mu sudah sembuh. Kau bisa membawanya pulang sekarang.” Rendra mengeluarkan Ale dari kandang dan segera kucing persia putih itu berlari ke arahku. Ya, akhirnya hari menyenangkan itu tiba. Ale sudah sembuh!
“Oh, Ale! Sini, sayang!” Langsung saja kugendong kucing lucu itu. Sambil bermain dengan Ale aku bertanya pada Rendra, “Berapa rupiah aku harus membayar untuk membeli kucing yang sebenarnya milikku sendiri ini?” tanyaku to the point.
“Hahaha… tidak perlu!” Rendra tertawa keras. “Waktu itu aku hanya menggertak menyuruhmu membayar supaya kau tidak bertindak seenaknya. Mentang-mentang baru patah hati kau ingin semua orang memahamimu? Enak saja!”
“Hahaha… maaf-maaf!” aku tertawa lebar.
“Oh ya, ngomong-ngomong apa wanita suka diberi cincin melalui kucing?”
“Hah? Apa?” Ale hampir saja terjatuh dari gendonganku saking terkejutnya aku mendengar pertanyaan Rendra. Apa dia baru saja menanyakan tentang… wanita?
“Apa wanita suka diberi cincin melalui kucing?” ulang Rendra.
Aku mengerjap cepat. “Emm… tergantung orangnya,” jawabku ragu.
“Kalau orang keras kepala sepertimu, bagaimana?”
Aku mengerutkan kening. Sebenarnya ke mana arah pembicaraan ini? Apa Rendra akan memberiku … cincin?
“Emm… dulu Erik memberiku cincin juga lewat kucing, Ale. Jadi kesimpulannya, ya aku suka hal itu.” Aku menjawab sejujurnya.
“Bagaimana cara laki-laki itu dulu memberimu cincin?”
Aku semakin bingung dan heran dengan pertanyaan Rendra. Tapi lalu aku tetap bersedia memberitahunya. “Erik menggantungkan cincin itu di kalung Ale. Lalu Ale mendatangiku. Hanya begitu. Simpel. Tapi menurutku romantis.” Aku tertawa singkat. “Ngomong-ngomong, kenapa kau tanya tentang wanita dan cincin?” Aku menyorongkan wajahku pada laki-laki itu dan menatapnya jail. “Siapa wanita itu? Beri tahu aku!”
“Hey, kau orang asing. Kenapa aku harus memberitahumu?”
“Justru karena aku orang asing berarti itu lebih aman. Aku tidak akan membeberkan ini kepada orang lain!” tegasku. “Aku seorang pengacara. Sekali aku penasaran, aku akan terus berusaha mencari tahu. Jadi ayolah beri tahu aku siapa wanita itu!”
“Haaah… oke!” Ia mendengus panjang sedikit kesal. “Dia wanita yang sudah lama aku sukai.”
“Oke. Lalu kau baru berani mengungkapkan perasaanmu sekarang?”
“Pintar! Kau sudah bisa menebak ceritanya. Jadi sekarang waktunya kau pulang.”
Noooo! Aku masih mau mendengar lebih banyak. Ceritakan lagi. Siapa namanya?”
“Hey, ini privasi! Jadi pulanglah!” Rendra mendorongku ke pintu toko.
“Rendra, aku sudah kauanggap sebagai temanmu, bukan? Kau tidak akan membiarkanku mati penasaran, kan?”
CKRAK… Tepat pada detik itu pintu terbuka dan seorang wanita masuk ke dalam toko. Wanita itu terlihat anggun. Mengenakan dress berbahan ringan warna biru muda, dan menggendong seekor kucing cokelat lucu.
“Hai!” sapa wanita itu ramah. Ia tersenyum manis padaku dan Rendra bergantian. “Rendra, kau bilang kau punya ikat leher yang bagus untuk kucingku. Bisa kulihat sekarang?”
Ikat leher? Maksudnya kalung? Aku mengerutkan kening. Hmm… sepertinya aku tahu maksud Rendra menanyakan tentang cara Erik memberiku cincin.
“Jadi dia yang kaumaksud?” aku berbisik pelan pada Rendra.
Rendra mengangguk samar. Segera tiba-tiba aku merasa ingin tertawa. Oke, aku rasa ini waktunya memberi mereka ruang privasi. Aku berbalik mengambil kandang Ale dengan satu tangan dan segera berpamitan pada mereka.
“Oke, aku harus kembali ke apartemen. Terima kasih sudah merawat Ale, ya!” Aku tersenyum pada Rendra.
Rendra membalas senyumku serta berbasa-basi sejenak. Selanjutnya aku pulang ke apartemenku dengan perasaan senang. Berbeda sekali dengan beberapa hari lalu ketika pikiranku kacau hingga aku berniat bunuh diri. Aku benar-benar senang hari ini.
Inilah maksudku menjadikannya pelarian. Pelarian bukan berarti aku harus menemukan pengganti Erik. Pelarian cukup berarti aku menemukan orang yang dapat membuatku senang, hingga aku lupa pada Erik. Dan aku senang berkenalan dengan Rendra. Berawal dari sebuah perkenalan unik. Ketika aku ingin menjual Ale karena patah hati. Lalu semuanya berjalan secara unik juga.
“Hai, Bast! Sekarang namamu bukan Ale lagi, kucing manis! Namamu sekarang Bast, si dewi kucing. Oke?” Aku memeluk Bast penuh sayang dan mencium kepalanya.
Kucing lucu itu hanya mengeong pelan dalam pelukanku.
“Oh, Bast! Aku sangat menyayangimu!”
xOx