Selasa, 26 Juni 2012

cerpen-sainganku dia

Sainganku, Dia!
Dear Shila…
Kamu begitu sempurna. Cantik, baik, dan bisa bersikap dewasa. Kadang alam bawah sadarku berkata demikian. Tapi kemudian otakku menolak mentah-mentah. Aku juga tidak kalah darimu. Aku pintar, berkali-kali menduduki ranking satu juara umum. Aku punya banyak teman, pertanda semua orang menyukaiku. Lihat, aku tidak kalah darimu. Bahkan, hey! Aku lebih menang darimu. Aku memiliki otak brilian dan memiliki banyak teman. Itu lebih baik daripada sekedar cantik, baik, dan bisa bersikap dewasa.
Aku yakin kamu menyadari bila orang-orang sering menyama-nyamakan kita. Dan aku yakin kamu juga sadar bila ada kemauan dalam diri kita untuk berkompetisi karena terlalu sering disamakan. Ada kemauan untuk saling mengungguli satu sama lain. Lalu lama-lama bukan hanya unsur persahabatan yang ada di antara kita. Tapi juga unsur persaingan.
Kamu sahabatku, adalah sainganku. Itu yang terpatri dalam otakku. Aku yakin kamu pun juga begitu. Oke kalau begitu kita lihat siapa yang menang. Aku atau kamu.
xOx

“Lin, Shila ada?”
Darren datang petang itu. Mengetuk pintu depan kos. Aku yang membuka pintu dan dia langsung menanyakanmu.
“Shila ada,” jawabku. “Emangnya ada perlu apa?”
“Aku mau minta ajarin dia kimia. Dia jago banget pelajaran kimia. Kamu tau itu, kan?”
Ya aku tau, dalam hati aku menjawab. Tapi secara lisan aku tidak mau mengakui kehebatanmu, apalagi di depan dia. Aku juga bisa kimia. Kenapa dia harus meminta bantuanmu? Dan aku juga sudah sering menduduki ranking satu. Kenapa dia lebih percaya padamu?
“Elin, siapa yang dateng malem-malem gini?”
Kamu tiba-tiba keluar dari kamarmu. Aku tidak heran. Kamu menempati kamar kos yang cukup dekat dengan pintu, tentu kamu tahu ada orang datang. Atau jangan-jangan kamu memang sudah tahu kalau dia yang datang, tapi kamu pura-pura tidak tahu karena tidak enak denganku. Begitu pula dengan dia. Dia pura-pura menanyakan kamu ada atau tidak, padahal sudah tahu kamu ada. Kalian pasti sudah janjian sebelumnya.
“Hey, Darren! Tumben malem-malem dateng!” Kamu pura-pura kaget begitu melihat siapa yang ada di ambang pintu kos.
Aku melengos sebal. Kalian tidak perlu berakting lagi. Aku tahu semuanya!
“Ya udah, aku masuk dulu, ya!” pamitku. Aku muak. Aku tidak mau tahu apa yang akan kalian lakukan.
Sepanjang petang itu, aku mengerjakan PR seperti biasa. Tapi berkali-kali aku mengintip dari balik gorden kamarku. Aku memata-matai kalian yang sedang sibuk belajar bersama di ruang tengah, tidak jauh dari kamarku. Aku bersyukur ada aturan laki-laki tidak boleh masuk ke kamar. Karena dengan begitu kalian berada di ruang tengah, sehingga aku bisa memata-matai.
Aku melihat kalian berinteraksi. Aku memang tidak mendengar apa yang kalian ucapkan. Tapi aku bisa mengerti bahasa tubuh kalian. Dia berkali-kali memujimu. Aku tahu pasti. Gerakan menepuk bahumu, mengangguk-anggukkan kepala sambil tersenyum bahkan tertawa lebar, lalu mengayun-ayunkan pensil ke arahmu. Dia pasti sedang memuji betapa pintarnya dirimu. Ah… menjijikkan!
Aku langsung menutup gorden. Apa yang kaumiliki yang tidak kumiliki hingga dia memilihmu?
xOx

Aku terlanjur menganggap persahabatan kita sebagai suatu persaingan. Dan kamu juga berpikiran begitu. Tapi kenapa dalam hal ini kita harus bersaing? Aku yakin, walaupun kita tidak saling mengakuinya, tapi kita sadar bila sebenarnya…
Aku dan kamu sama-sama mencintai dia.
Dia seperti juri. Lalu aku dan kamu seperti kontestan yang sedang bersaing di panggung. Aku yakin aku yang menang. Mungkin aku terlalu percaya diri waktu itu, karena pada akhirnya juri memilihmu. Dia memilihmu. Walaupun kamu diam saja, walaupun kamu menjalankan skenario kebohonganmu dengan baik, tapi aku tahu seminggu kemudian kalian jadian.
Dan sejak saat itu, setiap kali aku melihatmu atau melihatnya, setiap kali aku mendengar suaramu atau mendengar suaranya, rasanya hatiku sakit. Sangat sakit. Bukan hanya sakit karena cemburu. Tapi juga karena keputusannya memilihmu semakin memperjelas bila aku kalah darimu!
Aku benci kalian yang seolah-olah bersenang-senang tanpa menganggapku ada. Asal kamu tahu, Shila. Tiap kali kamu menceritakan dia, aku merasa sangat tersiksa. Sebenarnya aku sangat-sangat ingin menyuruhmu diam tiap kali kamu mulai menceritakan acara kencan kalian.
xOx

Aku sudah melihat sekelilingku. Seluruh anak kos dan semua murid sudah tahu kalian jadian. Aku tahu mereka semua memuji kalian. Mereka memuji kamu cantik, dan baik sehingga cocok dengan dia yang tampan, dan charming. Mereka memuji kalian pasangan yang sangat serasi.
Tiba-tiba semuanya serba dirimu dan dirinya. Semua orang membicarakan kalian. Aku merasa seperti bayangan kabur, yang transparan, tak terlihat, tak dianggap. Dan aku benci itu!
Aku ingin sekali berteriak, ‘Hey! Aku si ranking satu yang selalu berbagi jawaban kepada kalian semua ketika ulangan! Kenapa kalian hanya membicarakan Shila yang hanya menang tampang itu?!’
Bagiku, kalian adalah pasangan yang paling tidak ingin kudengar!
xOx


‘Tolong jangan ceritakan tentang dia lagi, Shila!’ Waktu itu aku sudah sangat-sangat ingin meneriakkan kalimat itu di depan wajahmu. Tapi tentu saja aku tidak tega, dan tidak berani berkata demikian. Akhirnya aku hanya bisa diam, menikmati jus manggaku yang terasa hambar.
“Lin, inget nggak waktu aku ngajarin Darren kimia kemarin?”
Argh…! Shila tolong berhenti menceritakan dia!
“Oh ya, Darren bilang dia langsung bisa ngerjain soal kimia abis aku jelasin. Gombal banget nggak sih? Hahaha….!”
“Aku balik ke kelas!”
Aku benar-benar tidak bisa menahan semua ini. Maaf, Shil. Aku nggak betah. Aku tahu waktu itu kamu pasti kebingungan tiba-tiba aku pergi dari kantin. Tapi aku tidak mau mendengar semua itu!
xOx


Oh… ya ampun. Marah itu melelahkan. Seharian itu aku hanya diam saja. Tidak mengajakmu bicara, tidak mengajakmu tersenyum. Aku seperti membangun benteng di antara kita. Dan sejenak aku merasa nyaman. Mungkin benar orang yang berkata bila menjauh ketika marah adalah tidakan cerdas.
Hmm… marah? Aku marah? Ya aku marah! Sangat marah!
Kalimat riangmu di kantin waktu itu membuatku marah. Kamu berkata dengan bangga tentang acara pacaran berkedok belajar bersama kalian itu. Apa maksudmu, Shil?! Kamu tahu dari awal kalau aku juga menyukainya. Tapi kenapa kamu seolah-olah tidak menjaga perasaanku? Kenapa kamu begitu tega? Apa kamu sedang memamerkan kemenanganmu itu padaku?
xOx

Will you be my prom date?
Ponselmu tertinggal di ruang TV kos sore itu. Aku tidak sengaja melihat SMS dari Darren. Aku tidak membuka SMS-mu. Tapi tulisan itu ada di baris paling atas. Jadi tanpa aku membuka SMS, aku bisa langsung melihat tulisan itu terpampang di layar ponselmu beserta nama si pengirim SMS.
“Lin, Darren SMS nggak?”
Oh ya ampun, Shil! Kenapa kamu tega banget sih, hah?
“Tuh!” Aku hanya mengarahkan daguku pada ponselmu. Kesabaranku benar-benar habis.
“Lin, mau dateng ke prom bareng siapa besok malem? Pake baju apa juga? Aku pake dress biru pastel yang dulu itu bagus, nggak?”
Shilaaa! Aku menggeram dalam hati.
“Kamu udah cantik, Shil! Mau pake baju gembel pun bakalan tetep cantik kok. Tenang aja,” aku berkata datar dan sedikit sarkasme lalu beranjak pergi masuk ke kamar.
xOx

Kamu sepertinya sedang bersenang-senang atas kemenanganmu. Sebenarnya kamu sengaja atau tidak terus-terusan pamer seperti itu? Aku merasa benar-benar sakit hati. Aku tidak terima.
Lalu ide itu muncul begitu saja. Aku melihat semangkuk mi goreng yang baru saja kamu buat di dapur. Entah apa yang membuatku bertindak begitu, tapi kemudian aku menaburi mi gorengmu dengan garam pencuci perut. Alhasil di malam prom kamu kesakitan hingga tidak bisa menghadiri acara mahameriah itu. Haha… rasain!
Waktu itu aku tertawa menang. Lalu karena kamu tidak datang, Darren yang sudah terlanjur datang ke kos untuk menjemputmu malah menawariku ke prom. Tentu saja aku terima. Dia berubah jadi prom date-ku. Selama di prom kami duduk bersama, ambil makan bersama, dan menikmati semua acara bersama. Kami juga tertawa-tawa membicarakan banyak hal. Aku merasa menang darimu dengan mendapatkan Darren. Tapi kemudian aku berpikir, semudah inikah Darren melupakanmu yang sedang kesakitan di kos, dan malah bersenang-senang denganku yang sudah ia ketahui sebagai sahabatmu.
Aku merasa ada yang salah. Dan aku semakin menyadari sesuatu ketika Darren didekati oleh Vero. Kamu pernah bilang kan kalau Vero itu cewek genit yang berusaha ngerebut Darren? (Ya, oke-oke. Walaupun aku kesannya acuh tak acuh tiap mendengar celotehmu, tapi aku juga sedikit memperhatikanmu).
Malam itu Vero benar-benar memanfaatkan kesempatan emas itu. Begitu tahu kamu tidak datang, Vero langsung pasang tak-tik. Dia pura-pura sakit dan minta tolong antarkan pulang oleh Darren yang rumahnya searah. Cewek genit itu juga minta dipapah sepanjang perjalanan dari tempat prom sampai tempat parkir.
Aku melihat dengan kedua mataku sendiri. Aku melihat cowok yang kusukai, yang sampai harus merusak persahabatanku sendiri itu dimanfaatkan oleh si genit itu. Tapi anehnya aku sama sekali tidak merasakan apa-apa. Bukannya aku seharusnya cemburu? Bukannya aku seharusnya marah seperti ketika Darren dekat denganmu?
Aku benar-benar bingung. Aku seperti mati rasa dengan Darren. Bukannya aku menyukainya?
xOx

Ada yang salah. Aku tidak tahu di mana letak kesalahan itu. Tapi ada yang salah. Aku merasa pikiranku benar-benar terbebani. Aku membencimu dan membenci Darren. Bahkan hingga sekarang semua kebencian itu masih. Tapi kemudian aku bingung.
Aku berdiskusi dengan hatiku sendiri. Aku memulai dengan pertanyaan simpel. Kenapa aku membencimu? Aku terdiam. Aku tidak menyangka menjawabnya butuh perenungan mendalam.
Lalu alam bawah sadarku berkata, karena aku iri padamu. Kamu begitu sempurna. Cantik, baik, dan bisa bersikap dewasa. Ketika aku ada di sampingmu, semua orang pasti akan melihatmu. Semua orang seolah-olah mengaburkanku, menganggapku tidak ada. Padahal kalau ditelisik, aku jauh lebih pintar darimu. Tapi kalau dipikir-pikir, bagaimanapun juga kamu jauh lebih sempurna dariku.
Aku hanya pintar di bidang akademik. Sedangkan kamu, pintar bersosialisasi, dan membaur di masyarakat. Aku semakin membanding-bandingkan diriku dengan dirimu. Dan lagi-lagi kalau dipikir-pikir, kamu yang menang.
Manusia hidup berdampingan. Orang yang ahli bersosialisasi sepertimulah yang akan bisa mencapai hidup sejahtera kelak. Bukan aku yang hanya pitar di bidang akademik. Menjadi juara kelas atau juara umum sekali pun bukan hal penting. Yang penting adalah menjadi juara dalam bermasyarakat. Sepertimu. Kamu dicintai banyak orang dengan sikapmu yang selalu hangat kepada semua orang.
Lalu aku berpikir lagi. Siapa yang salah kalau begitu? Alam bawah sadarku berkata, aku. Awalnya aku tidak terima. Tidak mungkin aku yang salah. Kenapa hatiku begitu tega menuduh aku yang salah? Tapi lagi-lagi aku mendengar alam bawah sadarku berkata bila memang aku yang salah.
Aku iri. Kita terlanjur sering disama-samakan, hingga ada kemauan dalam diriku untuk berkompetisi. Aku ingin mengalahkanmu dari segala sudut. Aku ingin memiliki apa yang kamu miliki. Termasuk Darren. Aku baru menyadari bila aku tidak menyukainya dengan sepenuh hati. Aku hanya ingin merebutnya darimu karena ingin menang darimu. Aku… minta maaf.
Selama ini aku selalu percaya bila tidak ada orang yang benar-benar jahat. Kalaupun ada pasti orang itu jahat karena sedang dalam masalah. Dan ternyata, akulah orang bermasalah yang menjadi jahat itu.Lalu bagaimana sekarang? Aku ingin menjadi orang yang baik lagi.
Aku harus memaafkan diriku sendiri, alam bawah sadarku kembali menjawab. Aku sadar aku yang salah selama ini. Orang salah akan menerima sanksi. Lalu orang itu harus meminta maaf dan memperbaiki kesalahannya untuk mencapai kehidupan bahagia lagi.
Dan aku orang yang bersalah, sudah menerima sanksi. Berarti sekarang aku harus meminta maaf. Aku harus meminta maaf kepada diriku sendiri, dan memperbaiki kesalahanku.
Aku tidak lagi memandangmu sebagai sainganku. Aku tidak lagi membencimu ataupun Darren. Aku minta maaf. Dan aku juga berterima kasih. Aku telah mendapatkan sebuah proses pendewasaan yang luar biasa karena semua ini. Aku ucapkan terima kasih padamu, dan terima kasih pada Darren.
xOx

Tepat pukul 00.00. Aku masih mengenakan dress prom-ku. Aku baru saja selesai menulis surat permintaan maaf untuk sahabatku. Lalu aku keluar dari kamar kosku. Aku berjalan ke kamar kos Shila. Kuselipkan di bawah pintunya berlembar-lembar kertas berisi semua perenunganku malam itu.
Malamnya, aku tidur tidak begitu nyenyak. Semua masalah ini membuatku stress. Dan pukul 4 pagi, aku terbangun. Aku benar-benar tidak bisa tidur. Lalu aku dikagetkan dengan berlembar-lembar kertas yang terselip di bawah pintu kosku. Kertas apa itu? Jangan-jangan Shila tidak mau membaca dan mengembalikannya ke kamarku.
Aku berjalan sedikit ketakutan. Kuambil kertas itu. Betapa terkejutnya aku setelah kulihat bila ternyata itu adalah tulisan Shila. Shila balik mengirimiku surat! Kubaca semua isinya runtut dari atas hingga selesai. Dan air mataku menetes. Shila juga meminta maaf kepadaku.
Ia juga merasa bersalah. Ia juga merasa ingin menang dariku. Ia menganggapku selalu lebih pintar darinya. Ia iri. Ia ingin sekali-kali mengalahkanku. Dan yang paling mengejutkan adalah, ia mengira aku menyukai Darren. Lalu karena ingin mengalahkanku, dia berusaha membuat Darren lebih memilihnya daripada aku. Ternyata dia juga tidak menyukai Darren! Darren hanya alat balas dendamnya.
Saat itu juga aku keluar dari kamar kosku. Kuketuk pintu kamar Shila. Begitu Shila membuka pintu kamarnya, aku langsung memeluknya. Eraaaat sekali. Aku tidak mau kehilangan sahabatku lagi.
“Shil, aku minta maaf…” isakku di bahunya.
“Udah, Lin. Aku udah maafin kamu. Aku juga minta maaf, Lin. Aku ngerasa bodoh banget!”
Sejenak kami berdua menangis. Aku benar-benar merasa bersalah pada Shila. Dan Shila juga merasa demikian. Lalu aku teringat Darren. Kalau Shila tidak menyukai Darren, bagaimana nasib Darren yang menyukai Shila.
“Shil, kalau kamu nggak suka Darren, Darren mau kamu kemanain?”
“Darren? Ah biarin! Aku putusin juga langsung dapet cewek baru. Aku baru tau dia itu playboy!”
Playboy?
“Yups! Udah ah! Ngapain sih ngomongin cowok kelinci?!”
“Hahaha… cowok kelinci. Sebutan baru tuh. Hahaha…!”
xOx